Jepang Punya Cara Khusus Hadapi China
Sebagai satu-satunya negara Asia yang termasuk dalam G7 alias kelompok negara-negara kaya di dunia, Jepang memiliki cara unik dalam berhubungan dengan China. Jika Barat frontal, Jepang konstruktif dan sopan.
JAKARTA, KOMPAS – Kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam G7 umumnya memiliki pendekatan frontal terhadap China. Jepang, satu-satunya negara Asia yang termasuk dalam kelas itu, punya pendekatan berbeda, yakni konstruktif dan sopan.
Guru Besar Politik Universitas Tokyo, Akio Takahara, pada wawancara daring dengan Kompas, Kamis (8/7/2021), menyatakan, Jepang sebagai bangsa Asia sekaligus anggota G7 memiliki posisi unik. Ketika umumnya negara-negara G7 bersikap keras terhadap China, Jepang memilih kooperatif.
Budaya Barat, Takahara, umumnya frontal mengritik dan begitu mudah menjatuhkan sanksi ekonomi. Menghadapi negara adidaya seperti China dan Rusia, sikap itu justru kontraproduktif. China misalnya, justru semakin gencar mengeluarkan jurus “Pendekar Serigala”, yaitu mengerahkan para diplomatnya untuk menyerang balik semua pengkritik di media sosial. Bukannya medudukkan perkara, yang terjadi kemudian adalah debat kusir antara Barat dan China.
“Jepang menerapkan pendekatan lebih bernuansa. Kasus pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang direspon Barat dengan memberi sanksi ekonomi. Jepang tidak melakukannya karena jika kita telaah, kenapa hanya China yang diembargo sementara ada begitu banyak negara yang melakukan pelanggaran HAM di dalam negeri masing-masing maupun terhadap orang asing? Embargo juga terbukti tidak membuat negara tersebut mengubah kebijakan politik yang dipermasalahkan,” tuturnya.
Sanksi ekonomi, lanjut Takahara, adalah salah satu dari berbagai pilihan diplomatik. Ada situasi yang memang membutuhkan sanksi apabila efektif menurut perhitungan. Namun ada situasi yang memerlukan pendekatan berbeda, seperti dialog berkelanjutan.
Walau demikian, Jepang tetap konsisten memberi kritik kepada China. Hanya caranya disampaikan dengan lebih halus. Takahara menyebutnya sebagai tata krama Asia, yaitu memuji berbagai pencapaian China dan memberikan kritik konstruktif dengan sopan. Hal ini sejalan dengan pandangan China. Presiden China Xi Jinping dalam pidatonya juga pernah mengatakan bahwa jika kritik disampaian secara baik-baik, China juga akan mendengar dan menanggapi.
Sementara terkait persaingan pengaruh oleh Amerika Serikat dan China, Takhara menambahkan, Asia Tenggara dan Jepang sama-sama berada di tengah pusaran persaingan kekuatan besar antara Amerika dan China. Akan tetapi, dialog antara kedua belah pihak masih kurang. Padahal, Asia Tenggara dan Jepang memiliki banyak nilai politik dan budaya yang bisa didialogkan serta dikembangkan untuk kesejahteraan bersama.
“Asia Tenggara dan Jepang berada di atas perahu yang sama mengarungi politik kawasan, antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sudah sewajarnya ada lebih banyak dialog intelektual mengenai kebijakan politik, budaya, dan nilai-nilai bersama yang bisa membawa kedua belah pihak melewati persaingan kedua negara adidaya ini (Amerika Serikat dan China) dengan selamat,” katanya.
Baca juga: Indonesia dan Jepang Sepakat Jaga Stabilitas di Indo-Pasifik
Ia mengemukakan bahwa Indonesia, Asia Tenggara, dan Jepang sesungguhnya sama-sama tidak mengenal satu sama lain secara mendalam. Hubungan selama ini masih dominan di sektor kerja sama ekonomi dan pertukaran teknologi. Padahal, setiap pihak memiliki berbagai kearifan yang bisa diterapkan secara universal. Misalnya, pertukaran pengetahuan mengenai penanganan Covid-19, pembangunan infrastruktur, dan pendidikan.
Sat ini Jepang seolah kalah dalam investasi di Asia Tenggara. Berbagai proyek raksasa, misalnya pembangunan kereta api cepat di Indonesia, dikerjakan oleh China. Menurut Takahara, hal itu adalah sesuatu yang wajar. Jepang berada di puncak ekonomi global pada periode 1960-1990. Saat itu, berbagai investasi dari Jepang pun masuk ke Indonesia.
Produk domestik bruto Jepang masih besar, urutan ketiga setelah AS dan China. “Akan tetapi, dengan pengalaman 20-30 tahun ini, Jepang memilih lebih cermat dalam memberikan pinjaman modal kepada negara lain. Ini adalah perkembangan normal bagi sistem investasi yang sudah matang,” tuturnya.
Hal sama juga mulai dilakukan China. Sebagai kekuatan ekonomi mutakhir di dunia, China berinvestasi di mana-mana. Namun belakangan, negara itu juga mulai lebih berhati-hati dalam memilih mitra investasinya karena sudah memiliki peta dan pola dari pengalaman berinvestasi di negara lain.
Program Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dari China dan Indo-Pasifik Bebas Terbuka (FOIP) dari Jepang, menurut Takahara, sedikit banyak serupa. Perdana Menteri Jepang di 2007, Shinzo Abe, ketika mencanangkan FOIP mengatakan bahwa landasannya adalah keterbukaan semua informasi dan kesehatan fiskal Jepang maupun negara penerima modal. Dengan demikian tidak ada jebakan investasi.
Guna memastikan investasi sehat, Takahara menekankan pentingnya pengawasan global. Sistem ini menyangkut pengawasan modal dari negara mana pun. Asia Tenggara memiliki Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang kuat apabila dijadikan pemantau. Apabila modal ditanam di satu negara, misalnya di Indonesia, ASEAN bertindak memantau dan memastikan segala hal berjalan sesuai kesepakatan.
Negara-negara adidaya, Takahara mengingatkan, memiliki sindrom negara besar yang cenderung memengaruhi. Sementara negara lain yang kecil memiliki sindrom minder. Oleh sebab itu, hubungan antara negara besar dan kecil perlu diletakkan dalam pemahaman bersama agar negara besar tidak memaksakan kehendak sedangkan negara yang lebih kecil tidak terseret arus. Di sini, posisi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara memiliki kelebihan dibandingkan dengan Amerika Utara maupun Eropa.
Siluet pekerja pada proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (22/4/2021). Ditargetkan seluruh trase Kereta Cepat Jakarta-bandung dapat terangkai pada akhir 2021. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer ini adalah salah satu proyek strategis nasional (PSN). KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 22-4-2021Sebelumnya, Takahara menjadi narasumber dalam seminar daring “Kerja Sama ASEAN-Jepang Berdasarkan Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik” yang diadakan oleh Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi). Peneliti Lipi Nanto Suryanto menjabarkan bahwa sifat ASEAN untuk selalu melihat ke dalam diri masing-masing maupun kawasan hendaknya bisa membuat pendekatan terhadap adidaya seperti China dan AS menjadi lebih strategis.
Baca juga: Kerja Sama Indonesia-Jepang Ditingkatkan
Data Sekretariat ASEAN per 2010 dan 2019 menunjukkan bahwa seperempat impor ASEAN berasal dari negara-negara ASEAN sendiri. Artinya, Asia Tenggara bukan hanya pasar besar dan potensial bagi China dan Jepang, tetapi mampu menjaga kedaulatan pikirannya agar tidak terseret arus.
“Baik ASEAN maupun Jepang dan China harus memiliki kesadaran setiap kali ada penerapan program investasi ataupun kerja sama lainnya, yakni harus berlandaskan nilai dan kepentingan lokal. Kalau manfaat investasi tidak bisa dirasakan masyarakat setempat, itu bukan hal baik,” ujarnya. (DNE)