RI Termasuk Lima Negara yang Gagas Pembangkit Listrik Batubara Terbesar
Lima negara di Asia berencana membangun lebih dari 600 proyek baru pembangkit listrik tenaga batubara. Mereka adalah China, India, Indonesia, Jepang, dan Vietnam.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
LONDON, SELASA — Lembaga Carbon Tracker menyatakan, lima negara di Asia bertanggung jawab atas 80 persen pembangkit listrik tenaga batubara baru yang direncanakan di seluruh dunia. Kelima negara itu adalah China, India, Indonesia, Jepang, dan Vietnam. Selain sebagian besar tidak ekonomis, pembangkit-pembangkit batubara ini juga dinilai mengesampingkan tujuan iklim internasional.
Kelima negara di Asia itu berencana membangun lebih dari 600 proyek pembangkit listrik tenaga batubara baru dengan kapasitas gabungan lebih dari 300 gigawatt. Penggunaan batubara secara umum telah menurun di Eropa, Amerika Serikat, dan tempat lain. Pemerintah di negara-negara itu berada di bawah tekanan untuk mengurangi emisi karbon dan menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius abad ini.
Banyak investor memilih tidak lagi membiayai proyek-proyek batubara. Namun, beberapa negara berkembang mengatakan mereka masih membutuhkan bahan bakar, termasuk dengan batubara sebagai sumbernya. Carbon Tracker, sebuah lembaga pemikir keuangan independen yang menganalisis transisi dunia ke energi yang lebih bersih, mengatakan dalam sebuah laporan bahwa 92 persen proyek batubara yang direncanakan di lima negara Asia tidak akan ekonomis.
Proyek-proyek itu secara total diperkirakan menghabiskan hingga 150 miliar dollar AS. ”Investor harus menghindari proyek batubara baru, yang banyak di antaranya cenderung menghasilkan keuntungan negatif sejak awal,” kata Catharina Hillenbrand Von Der Neyen, Kepala Tenaga dan Utilitas di Carbon Tracker.
Kelima negara Asia itu kini mengoperasikan hampir tiga perempat pembangkit listrik tenaga batubara global. Lebih dari setengah pembangkit berada di China. Carbon Tracker mengatakan, 27 persen dari kapasitas yang ada tidak menguntungkan dan 30 persen lainnya baru saja mencapai titik impas. Dikatakan bahwa pembangkit batubara yang ada senilai 220 miliar dollar AS dikhawatirkan akan telantar jika target iklim Paris tercapai.
Laporan Carbon Tracker menyebutkan bahwa pada 2024, sumber energi terbarukan akan lebih murah daripada batubara di setiap wilayah utama. Seiring dengan proyeksi itu lebih lanjut pada tahun 2026 hampir 100 persen kapasitas batubara global akan lebih mahal untuk dijalankan daripada membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik terbarukan.
Laporan Carbon Tracker menyebutkan, pada 2024, sumber energi terbarukan akan lebih murah daripada batubara. Seiring dengan proyeksi itu, pada 2026 hampir 100 persen kapasitas batubara global akan lebih mahal untuk dijalankan daripada membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik terbarukan. Badan Energi Terbarukan Internasional mengatakan, pekan lalu, bahwa biaya sumber energi terbarukan akan lebih murah dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga batubara baru.
Pertemuan tingkat tinggi negara-negara Kelompok Tujuh (G-7), beberapa waktu lalu, gagal melangkah cukup jauh untuk menghentikan penggunaan batubara. Namun, kelompok itu berjanji untuk menghentikan pendanaan internasional terhadap proyek-proyek pembangkit listrik batubara baru tahun ini. Para analis menilai komitmen itu dapat membantu mengubah kebijakan sejumlah negara di Asia pada sumber energi berbahan bakar tidak ramah lingkungan.
Pada pertemuan di London, Inggris, para pemimpin G-7 mengatakan, mereka mendukung ”revolusi hijau” dan berkomitmen untuk menghentikan pendanaan internasional baru untuk pembangkit listrik tenaga batubara yang tidak dilengkapi dengan teknologi pengurangan emisi karbon pada akhir 2021. Kelompok-kelompok hijau alias kelompok pendukung ekonomi berkelanjutan menyambut baik langkah tersebut sebagai kelanjutan dari komitmen serupa yang disepakati para menteri lingkungan G-7.
Meski demikian, sejumlah aktivis lingkungan dan penggagas kampanye iklim mengkritik para pemimpin G-7 karena tidak menandatangani target spesifik untuk mengakhiri penggunaan batubara di dalam negeri mereka. Mereka juga dikritik karena menawarkan dana baru yang kecil sehingga tidak cukup untuk membantu negara-negara berkembang beralih ke sumber energi terbarukan. ”Setelah puluhan tahun emisi meningkat, pernyataan tentang pembatasan tenaga batubara oleh G-7 (melalui) pendanaan langsung hampir tidak dapat dilihat sebagai langkah yang cukup jauh,” kata Shobhakar Dhakal, Wakil Presiden untuk Urusan Akademik di Institut Teknologi Asia yang berbasis di Thailand.
Menurut Dhakal, komitmen lebih kuat dengan garis waktu yang jelas dibutuhkan untuk menghapus infrastruktur bahan bakar fosil secara bertahap. Tanpa itu, tidak ada perubahan besar di Asia Pasifik, di mana batubara tetap menjadi andalan untuk pembangkit listrik. Wilayah Asia Pasifik mengonsumsi sekitar 77 persen bat bara dunia pada 2019, naik setengahnya daripada 20 tahun lalu, menurut Tinjauan Statistik Energi Dunia BP.
Dalam penilaian Dhakal, keputusan G-7 untuk mengakhiri pendanaan batubara baru di luar negeri dinilai akan meningkatkan tekanan pada negara-negara Asia. Mulai dari China sebagai raksasa ekonomi hingga negara dengan ekonomi yang berkembang pesat, seperti Bangladesh dan Kamboja, bisa ditekan untuk menjauh dari batubara. ”Tanpa Asia mengubah arah, dunia tidak dapat memenuhi target global yang berarti,” ujarnya.
Namun, muncul juga pandangan sebaliknya. Komitmen G-7 soal pendanaan itu tidak berpengaruh apa-apa bagi Asia. Sebab, negara-negara G-7 itu menghabiskan lebih banyak dana untuk proyek bahan bakar fosil daripada energi bersih antara Januari 2020 dan Maret 2021. Hal itu diungkapkan Danny Marks, akademisi, asisten profesor politik dan kebijakan lingkungan di Dublin City University di Irlandia. ”Mereka tidak akan melihatnya sebagai pengubah permainan, tidak lebih dari kata-kata semata,” kata Marks.
Ia menilai bahwa berakhirnya pembiayaan batubara dari G-7 justru dapat mendorong negara-negara Asia untuk beralih ke China. Khususnya untuk mendanai aneka upaya meningkatkan keamanan energi secara umum. Maka dari itu, komitmen G-7 itu justru dinilai dapat menjadi bumerang terhadap tujuan iklim G-7 dan meningkatkan pengaruh China yang tumbuh di wilayah negara-negara G-7 itu. (AFP/REUTERS)