Pandemi Berkepanjangan, Penduduk Tanpa Listrik di Afrika dan Asia Bertambah
Pandemi Covid-19 membuat jutaan warga kehilangan pekerjaan. Salah satu dampaknya, akses listrik menjadi berkurang, mayoritas di kawasan Sub-Sahara Afrika. Padahal, listrik adalah tulang punggung pembangunan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
KUALA LUMPUR, SENIN — Pandemi Covid-19 mengakibatkan memburuknya situasi perekonomian di banyak negara dan membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan di seluruh dunia. Salah satu dampaknya, lebih dari 25 juta warga Asia dan Afrika tidak mampu mengakses energi murah, yakni listrik. Situasi ini menjadi tantangan bagi cita-cita pemenuhan listrik untuk seluruh penduduk dunia pada 2030 sebagaimana target Perserikatan Bangsa-Bangsa.
”Akses ke listrik sangat penting untuk pembangunan, terutama dalam konteks mitigasi dampak Covid-19 dan mendukung pengobatan, kesembuhan warga manusia, dan pemulihan ekonomi,” kata Demetrios Papathanasiou, Direktur Global untuk Energi dan Ekstraktif Bank Dunia, Senin (7/6/2021).
Pandemi membuat hilangnya pendapatan dan pekerjaan. Akibatnya, banyak rumah tangga tidak sanggup membayar tagihan listrik untuk kebutuhan sehari-hari, seperti kipas angin, televisi, dan telepon genggam. Pada saat yang sama, pembangunan jaringan listrik juga terhambat.
Pada 2020, jumlah warga yang tidak bisa mengakses listrik di Afrika meningkat tajam. Sebanyak 759 juta orang masih hidup tanpa listrik dan separuhnya berada di negara yang rawan konflik dan kini tengah berkonflik. Situasi serupa terjadi di Asia.
Kondisi ini berisiko menggerus kemajuan elektrifikasi yang sudah tercapai selama satu dekade terakhir. Pada 2010, lebih dari satu miliar penduduk dunia sudah bisa mengakses listrik. Lalu pada 2019, lebih dari 90 persen populasi penduduk dunia sudah terkoneksi dengan jaringan listrik. Ujung-ujungnya, target PBB untuk memastikan seluruh penduduk bumi bisa mengakses listrik pada 2030 berisiko tak tercapai.
Papathanasiou mengatakan, kondisi seperti ini bisa memperburuk dan memperluas ketimpangan akses listrik, terutama karena elektrifikasi fasilitas kesehatan saat ini sangat penting untuk mendukung penyimpanan vaksin Covid-19 dan respons pandemi di negara berkembang.
”Ketiadaan akses ke energi yang andal memengaruhi kualitas kesehatan masyarakat dan akan membutuhkan upaya yang lebih keras untuk menyediakan data, komunikasi, logistik, dan lemari pendingin penyimpanan vaksin,” katanya.
Memasak bersih
Selain masalah berkurangnya akses terhadap listrik, sepertiga dari populasi dunia atau sekitar 2,6 miliar jiwa tidak memiliki akses ke cara memasak bersih pada 2019. Afrika, khususnya di wilayah Sub-Sahara, kembali menjadi perhatian karena menjadi wilayah yang paling akut soal ini.
Menurut laporan Bank Dunia, 900 juta orang atau 85 persen populasi warga di kawasan tersebut masih menggunakan alat-alat memasak yang mengeluarkan asap, seperti minyak tanah, batubara, dan kayu bakar. Hal ini ikut menyumbang terhadap jutaan kematian setiap tahun akibat menghirup zat polutif.
Direktur Lingkungan Perubahan Iklim dan Kesehatan WHO Maria Neira mengatakan, meningkatkan penggunaan energi bersih adalah kunci untuk melindungi kesehatan manusia dan mempromosikan populasi yang lebih sehat, terutama di daerah perdesaan. Badan-badan PBB menyerukan lebih banyak penggunaan energi terbarukan, yang bersih dari hulu sampai ke hilir, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.
”Upaya yang lebih besar untuk memobilisasi dan meningkatkan investasi sangat penting guna memastikan kemajuan akses energi terus berlanjut di negara berkembang,” kata Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional Fatih Birol.
Menurut dia, masa depan energi bersih ini dapat dicapai jika pemerintah bersama-sama membuat kebijakan secara serentak. (Thomson Reuters Foundation)