Gerakan prodemokrasi di Myanmar menyita waktu dan perhatian sebagian besar warga, termasuk para pemuda yang menjadi motor gerakan. Di tengah gelora perjuangan mereka, kisah cinta pun turut mewarnainya.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Perjuangan antikudeta Myanmar membawa banyak kisah. Tak hanya kisah sedih dan amarah, tetapi juga kisah kasih yang terjalin di antara anak-anak muda yang ikut berunjuk rasa.
Sejak kudeta militer di Myanmar terjadi, Februari lalu, denyut kehidupan masyarakat di sejumlah kota hampir tidak ada. Apalagi dinamika kehidupan anak muda seperti pada umumnya di negara-negara lain. Bar, kafe, dan restoran yang biasanya menjadi tempat nongkrong anak-anak muda pun tutup. Kampus-kampus sepi dari mahasiswa. Komunikasi antar-anak muda pun semakin susah karena banyak aplikasi yang terganggu gara-gara junta militer memblokir jaringan internet.
Hambatan komunikasi itu membuat banyak anak muda Myanmar menjadi galau karena mau mencari teman atau bahkan pacar menjadi susah. Namun, namanya anak muda, mereka—di mana saja—bisa melihat peluang. Banyak anak muda yang bercerita akhirnya menemukan kekasih hati ketika mereka sedang ikut berunjuk rasa di jalanan, bahkan ketika unjuk rasa itu berakhir ricuh dan bentrok dengan aparat keamanan.
Karena banyak anak muda yang mengalaminya, gerakan perlawanan anak muda itu dianggap juga sebagai ”revolusi cinta” atau taw lan yay puu sar dalam bahasa Myanmar. ”Bertemu dengan seseorang di tempat unjuk rasa itu rasanya beda saja. Lebih seru,” kata Zan (19), seorang siswa yang bertemu dengan pacarnya saat berunjuk rasa, Februari lalu.
Zan bertemu pertama kali dengan pacarnya saat ia menawarkan buah jeruk di tengah-tengah unjuk rasa. Mereka lalu bertukar kontak dan beberapa hari kemudian mereka berkomunikasi aktif melalui media sosial Facebook. Setelah ”jadian”, mereka kemudian selalu bersama saat unjuk rasa dan cinta pun semakin bersemi di balik situasi yang kisruh dengan suara tembakan senapan, ban-ban yang dibakar, dan teriakan orang-orang.
”Tidak mudah karena kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kami selalu takut akan tertembak, ditangkap, ditahan, atau apa. Itu bisa terjadi kapan saja,” kata Zan.
Zan dan pacarnya pernah hampir ditangkap polisi, Maret lalu, ketika polisi anti-huru-hara tiba-tiba mendobrak barikade tempat mereka berlindung. Keduanya lalu segera melarikan diri ke tempat yang aman sampai beberapa jam. ”Kami, kan, selalu berdua. Jadi, kalau saya lari, saya juga harus memastikan dia aman bersama saya,” kata Zan.
Media sosial
Kisah-kisah cinta seperti ini banyak diceritakan anak-anak muda yang ikut berunjuk rasa dan disebarluaskan di media sosial dengan menggunakan tagar #RevolutionLove. Poster gerakan prodemokrasi dan salam tiga jari sebagai simbol demonstrasi antimiliter juga kerap muncul di profil aplikasi kencan Tinder setelah junta memulihkan akses jaringan internet, bulan lalu.
Namun, seperti halnya kisah cinta pada umumnya, tak semuanya indah. Unjuk rasa dan gerakan antimiliter tak hanya bisa menyatukan orang, tetapi juga bisa memisahkan. Seperti Kay (23) dan pacarnya yang malah putus gara-gara unjuk rasa. Politik selalu menjadi topik hangat dan bahasan utama antara Kay dan pacarnya. Sebelum kudeta, Kay mendukung partai yang promiliter, sementara pacarnya mendukung Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Namun, setelah kudeta, Kay memilih untuk ”pindah haluan” mendukung rakyat mengikuti pacarnya dan selalu berangkat berunjuk rasa dengan pacarnya. Namun, tiba-tiba pada pertengahan Maret lalu, Kay mengaku diputus pacarnya tanpa sebab yang jelas. Kay akhirnya tahu ternyata pacarnya bertemu dengan orang lain di lokasi unjuk rasa, akhir bulan lalu. ”Saya sempat depresi dan menangis selama dua bulan penuh karena hubungan kami sudah lima tahun,” ujarnya.
Kisah lain lagi diceritakan Thel Nge (20) yang bertemu dengan suaminya, Ko Kaung, ”berkat” gelombang unjuk rasa antikudeta. Pada pertengahan Februari lalu, Nge merespons ajakan protes Kaung di media sosial Facebook. Mereka janjian, lalu berunjuk rasa bersama di jalanan kota Yangon. Di tengah matahari yang terik dan situasi keamanan yang memanas, Kaung selalu menjaga Nge dan memastikan Nge tak kehabisan air minum serta sampai di rumah kembali dengan selamat. ”Dia selalu menjaga saya saat di jalanan dan itu yang membuat saya suka. Setelah jadian, kami lalu berjanji akan menikah setelah revolusi berakhir,” kata Nge.
Akan tetapi, di sisi lain, kekerasan aparat keamanan tak kunjung berhenti dan malah semakin brutal di Yangon. Aparat keamanan kerap menembak ke segala arah, tak peduli siapa yang kena. Akhirnya Nge memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di wilayah Myanmar selatan. Karena tak mau hidup terpisah, Kaung pun menyusul. Lalu, keduanya pun menikah. Setelah menikah, Kaung terpaksa harus kembali ke Yangon karena mendapat tugas mengumpulkan bantuan untuk para pengunjuk rasa dan warga yang mogok sebagai upaya menentang junta militer.
Kekhawatiran Nge akhirnya terjadi. Kaung ditangkap dan ditahan aparat keamanan, bulan lalu, dan kini kabarnya ditahan di Penjara Insein. Sejak itu, keduanya hanya bisa berkirim kabar melalui surat. ”Sebagai penghibur, saya selalu mengenang saat-saat kami masih pacaran dan harus sering lari dan bersembunyi dari aparat keamanan. Saya selalu berdoa untuknya supaya dia selamat,” kata Nge.
Tahanan dibebaskan
Harapan Nge mungkin akan terwujud karena junta militer berencana akan membebaskan sekitar 700 tahanan di Penjara Insein, Rabu. Kepala Penjara Insein, Zaw Zaw, dalam pernyataan tertulis mengatakan, tahanan yang dibebaskan termasuk mereka yang dituduh memicu pemberontakan setelah berpidato dengan materi menentang kudeta militer. Situs berita The Myanmar Now melaporkan akan ada 2.000 tahanan yang dibebaskan.
Sejak kudeta militer, banyak orang ditahan karena dituduh menyebarkan kabar atau informasi bohong. Ancaman hukumannya bisa dipenjara hingga tiga tahun. Menurut Asosisasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sedikitnya 5.200 orang ditahan dan 883 orang tewas. Namun, data ini dibantah junta militer.
Pada Selasa lalu, junta militer disebutkan telah mencabut tuntutan terhadap 24 selebritas yang dituduh melanggar hukum karena menyebarkan komentar-komentar anti-pemerintah. Selama ini, junta membuat daftar buron khusus aktor, atlet, media sosial influencer, dokter, dan guru yang melanggar hukum yang sama. Di dalam daftar itu termasuk Suu Kyi dan anggota-anggota partai NLD. Suu Kyi dituduh macam-macam, mulai dari kasus penyuapan, pelanggaran protokol kesehatan Covid-19, menyimpan alat telekomunikasi, hingga tuduhan memicu perlawanan terhadap pemerintah. Semua tuduhan ini telah dibantah pengacara Suu Kyi. (REUTERS/AFP/LUK)