Pertikaian bersenjata antara aparat keamanan Myanmar dan kelompok milisi bersenjata terus terjadi di berbagai daerah. Namun, kekuatan kerap kali tak berimbang.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
MANDALAY, SELASA — Konflik bersenjata antara pihak militer dan kelompok bersenjata Myanmar seakan tidak berkesudahan. Kali ini, aparat keamanan Myanmar yang diperkuat kendaraan berat terlibat pertikaian sengit dengan kelompok bersenjata di Chan Mya Tharsi, Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar. Akibatnya, empat warga sipil tewas. Sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, bermunculan kelompok-kelompok bersenjata di sejumlah daerah perkotaan dan perdesaan di Myanmar.
Pertikaian terbaru antara militer dan kelompok bersenjata Pasukan Pertahanan Rakyat Mandalay terjadi pada Selasa (22/6/2021) pagi setelah militer menggempur salah satu markas mereka. ”Kami membalas serangan ketika salah satu kamp gerilya kami digempur,” tulis seseorang bernama Mayor Zeekwat dari Pasukan Pertahanan Rakyat Mandalay di media sosial facebook.
Kantor berita Khit Thit menyebutkan, ketika menggempur markas kelompok bersenjata yang berada di sebuah sekolah asrama itu, militer didukung tiga kendaraan berat militer. Dalam menghadapi kelompok-kelompok bersenjata, militer kerap menggunakan artileri dan serangan udara hingga membuat puluhan ribu warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. Padahal, kelompok bersenjata hanya menggunakan senjata rakitan dan granat.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jumat lalu, meminta agar arus masuk persenjataan ke Myanmar dihentikan; mendesak militer menghormati hasil pemilu, November lalu; dan membebaskan semua tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi. Kementerian Luar Negeri Myanmar, Sabtu, mengeluarkan pernyataan tertulis menolak resolusi PBB dengan alasan hanya berdasarkan tuduhan palsu dan sepihak.
Menurut data kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sedikitnya 873 pengunjuk rasa tewas sejak kudeta militer. Pertikaian antara militer dan kelompok bersenjata atau milisi dikhawatirkan akan terus berlanjut di daerah-daerah pinggiran dan diduga akan memicu perang saudara. Kekuatan antara militer dan kelompok bersenjata pun kerap tak imbang karena sebagian besar kelompok bersenjata memakai senjata rakitan.
Meski dari segi persenjataan tak imbang, para pengamat memperkirakan ratusan pengunjuk rasa antikudeta di perkotaan dan perdesaan telah bersembunyi di daerah-daerah yang selama ini dikuasai kelompok-kelompok etnis bersenjata dan menjalani latihan militer.
Sanksi
Mengikuti langkah Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi kepada beberapa pejabat senior dan organisasi di Myanmar, Senin. UE memberlakukan larangan bepergian dan membekukan aset delapan menteri, wakil menteri, dan jaksa agung Myanmar. UE juga membekukan aset tiga ”entitas ekonomi” milik pemerintah dan dikendalikan junta militer serta Organisasi Veteran Perang. UE menuding para pejabat itu merusak demokrasi dan penegakan hukum serta melanggar hak asasi manusia.
”Dengan menyasar sektor kayu dan batu permata, sanksi ini akan bisa membatasi kemampuan junta militer mengambil keuntungan dari sumber daya alam Myanmar yang digunakan untuk melukai rakyat Myanmar,” sebut pernyataan tertulis UE.
Sampai sejauh ini UE telah memberlakukan sanksi terhadap 43 pejabat dan enam organisasi di Myanmar. UE juga telah mengembargo persenjataan ke Myanmar dan melarang peralatan yang bisa digunakan untuk memantau komunikasi dan represi internal. Pada pekan lalu, kantor perwakilan PBB di Myanmar menyatakan kekhawatiran akan meningkatnya pelanggaran HAM setelah menerima laporan bahwa ada 25 warga sipil ditangkap dan militer membakar seluruh desa. (REUTERS/AFP/AP)