Membaca, Meditasi dan Terapi Diri di Tengah Pandemi
Menekuri rangkaian kata dalam buku dapat membantu kita mengelola tekanan akibat pandemi. Novel, puisi, biografi, dan cerita fiksi menjadi pintu bagi jiwa untuk berkelana tatkala raga hanya bisa berdiam di rumah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Menghadapi ”musuh” yang tak kelihatan, membuat siapa pun bisa tertular, apalagi yang telah merenggut jutaan jiwa, adalah hal yang tidak mudah. Apalagi mengetahui bahwa kondisi ini tidak jelas kapan berakhirnya. Sehari, sepekan, satu bulan, setahun, atau dua tahun, atau bahkan lebih. Melelahkan.
Manusia yang ditakdirkan sebagai makhluk sosial terpaksa dan dipaksa untuk menyendiri, mengisolasi diri sendiri dari ”kumpulannya”, untuk mencegah penularan virus SARS-CoV-2, yang kini memiliki beberapa varian dan lebih mematikan. Ruang gerak yang terbatas, hanya di dalam rumah atau mungkin hanya di dalam kamar, membuat seseorang bisa mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk masalah kesehatan mental, yang mungkin tidak disadari.
Survei global yang dilakukan oleh lembaga di AS, Gallup Pool and Lightkeeper Group, memperlihatkan, 40 persen respondennya, yang mewakili sekitar 190 juta penduduk dunia, mengaku stres akhir-akhir ini. Data keseluruhan juga memperlihatkan kenaikan populasi dunia yang mengalami stres dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Kompas, 20 April 2021).
Survei yang dilakukan asosiasi psikolog Amerika Serikat (APA) pada September 2020 memperlihatkan, sebagian responden memperlihatkan gejala kecemasan (anxiety) sebanyak 74 persen dan depresi sebanyak 60 persen sejak pandemi dimulai. Para psikolog juga melaporkan peningkatan yang signifikan pada jumlah pasien yang harus menjalani perawatan karena trauma dan gangguan tidur.
Laporan itu juga menyebutkan, hampir separuh orang dewasa di AS mengaku perilaku mereka telah terpengaruh secara negatif karena pandemi. Paling umum, sekitar 21 persen dari mereka mengalami intensitas kemarahan yang sangat cepat, perubahan suasana hati (mood) yang tidak terduga sekitar 20 persen, atau berteriak kepada orang-orang yang dekat atau dicintainya sebanyak 17 persen.
”Tidak pernah dalam praktik saya, saya memiliki daftar tunggu hingga lima orang,” kata Brooke Huminski, psikoterapis dan pekerja sosial klinis independen berlisensi di Providence, Rhode Island.
Bahkan, Gregory Scott Brown, direktur pada sebuah klinik psikiatri di Austin, Texas, mengaku dirinya harus mencari tenaga tambahan untuk membantunya karena jumlah pasien yang terus bertambah. ”Saya lebih sibuk dari sebelumnya dan tidak punya ruang,” katanya, dikutip dari laman The New York Times.
Melepas ketegangan
Dalam kondisi normal, cara orang-orang untuk menghilangkan stres yang timbul bermacam-macam. Mulai dari kongkow-kongkow bersama teman di tempat makan, bar, kafe, datang ke konser musik, hingga pergi ke pantai atau gunung untuk menghirup udara segar. Atau mereka pergi ke luar kota, bahkan pergi ke luar negeri, dan menghilang untuk sementara waktu dari rutinitas hidup sehari-hari. Meninggalkan semua di belakang.
Akan tetapi, di tengah pandemi seperti sekarang ini, hal itu tidak mudah atau tidak bisa dilakukan. Pertunjukan musik di ruang tertutup, seperti di kafe atau di gedung-gedung, ditiadakan. Tempat makan juga ditutup untuk mencegah infeksi virus. Secara tidak langsung, pintu untuk bersosialisasi melalui tatap muka ditutup rapat.
Sementara konser-konser musik virtual tidak bisa menggantikan perasaan dan kenikmatan menyaksikan langsung performa artis. Pandemi telah menghilangkan banyak hal dalam kehidupan manusia.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS telah mengeluarkan petunjuk yang bisa dijadikan pegangan oleh warga untuk bisa menghadapi atau mengatasi masalah kesehatan mental. Selain berolahraga, bepergian ke luar kota atau kawasan-kawasan yang jauh dari keramaian, menonton, dan membaca adalah cara yang bisa mengatasi stre dan depresi akibat pandemi ini.
Chad Perman, psikoterapis yang berpraktik di Seattle, AS, dikutip dari laman NBC, mengatakan, membaca buku membantu seseorang yang tengah dilanda perasaan cemas tentang jumlah kematian yang terus meningkat, ketidakpastian ekonomi, dan kebijakan karantina total atau lockdown pada masa pandemi.
”Membaca buku yang tepat pada waktu yang tepat dapat membuat Anda merasa diperhatikan,” kata Rosalie Knecht, seorang terapis dan penulis novel. Perhatian adalah sebuah perasaan yang hilang ketika seseorang tidak bertemu secara langsung dengan orang lain, baik keluarga maupun sahabat.
Manfaat terapeutik
Emmanuel Stip, Linda Ostlundh, dan Karim Abdel Aziz dari Departemen Psikiatri Fakultas Ilmu Kesehatan dan Mental Univesrsitas Uni Emirat Arab, pada laman Frontiers in Psychiatry menulis, membaca adalah intervensi yang bisa dimanfaatkan seseorang untuk membantu mengatasi stres dan masalah pribadi. Membaca buku tertentu dinilai sangat membantu individu yang membutuhkan dukungan untuk mengatasi tekanan emosional akibat pandemi, membantu mengungkapkan perasaan mereka secara verbal, atau mengidentifikasi cara baru untuk mengatasi masalah.
Carla Greenwood, seorang penulis, mengatakan, membaca layaknya berolahraga bagi kesehatan tubuh. Greenwood yang pernah mengalami depresi pasca-melahirkan menuturkan, membaca buku atau cerita fiksi bisa membawa dirinya menjauh dari suasana di sekitar. Pada saat yang sama, membaca juga membantu seseorang menyadari bahwa dunia jauh lebih besar dari gelembung yang diciptakannya sendiri saat mengalami depresi itu.
Rangkaian kata di dalam buku, terutama buku yang dicintai dan paling diminati adalah jendela untuk memasuki dunia baru, fantasi tentang sebuah hal yang mungkin tidak nyata. Namun, hal itu bisa membawa kegembiraan dan menjauhkan diri seseorang dari kedukaan.
Stip, Ostlundh, dan Aziz mengatakan, bagi sebagian orang, buku adalah jimat, kepompong pelindung, dan tempat bagi seseorang untuk melemaskan otot-otot dan urat yang tegang di seluruh tubuh. Membaca buku bisa memberikan ketenangan, menjadi pelarian dari kondisi sehari-hari yang tidak jarang menyedihkan.
Greenwood setuju dengan Stip, Ostlundh, dan Aziz. Lebih jauh lagi, menurut dia, membaca bisa membawa otak seseorang ke sebuah suasana yang menyenangkan, mirip situasi saat meditasi. Kondisi seperti ini bisa membuat orang-orang yang membaca memiliki tingkat stres yang lebih rendah, mampu menghadapi depresi, dan masalah psikologis lainnya.
Beberapa psikolog menyarankan jenis-jenis buku yang bisa digunakan sebagai alat terapi di antaranya novel, puisi, biografi dan fiksi. Ada juga beberapa psikolog yang menyarankan agar orang membaca buku-buku psikologi mandiri.
Membaca sebagai terapi psikologis pada akhirnya berdampak pada angka penjualan buku di beberapa negara, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Dikutip dari laman World Economic Forum, penjualan buku fiksi di Inggris naik 16 persen dan buku-buku anak naik 2 persen. Sementara di AS, penjualan buku naik hingga 19 persen.
Stephen Lotinga, Kepala Eksekutif Asosiasi Penerbit Inggris, mengatakan, kenaikan tersebut bisa jadi membuktikan banyak orang kembali menemukan kecintaan mereka pada membaca buku. Selain itu, para penerbit mampu menerbitkan buku-buku yang menghibur dan menggugah pikiran, yang saat ini dibutuhkan oleh banyak orang.