PBB Gagal Mediasi Perang Yaman, Harapan Tinggal kepada Oman
Utusan Khusus PBB merasa gagal di Yaman karena kedua pihak yang bertikai keras kepala. PBB berharap ada terobosan positif dalam dialog yang dimediasi Oman.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
NEW YORK, RABU – Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk dialog damai di Yaman, Martin Griffiths, mengaku gagal menjalankan tugasnya. Baik Pemerintah Yaman maupun pemberontak Houthi sama-sama sukar diajak duduk bersama. Harapan untuk perdamaian di negara yang perang saudaranya telah memakan 130.000 korban jiwa itu kini ada di tangan Kesultanan Oman.
“Yaman adalah bukti kesempatan yang dilewatkan dengan sia-sia. Akibatnya, pupus sudah harapan generasi muda untuk bisa hidup damai, bebas, dan tanpa ketakutan terhadap opresi,” kata Griffiths kepada media, Selasa (15/6/2021).
Ia mengemban tugas sebagai Utusan Khusus PBB untuk Yaman sejak tahun 2017. Berbagai tawaran internasional untuk menjembatani dialog damai antara pemerintah dengan pemberontak tidak satu pun digubris kedua belah pihak.
Pada tahun 2011, ketika fenomena Arab Spring atau kebangkitan Musim Semi Negara-negara Arab terjadi, Yaman adalah negara yang turut merayakannya. Mereka mengharapkan hadirnya pemerintahan demokratis yang menjamin hak semua warganya untuk hidup bebas dan aman. Akan tetapi, yang terjadi malah kudeta dan pada tahun 2014 pecah perang saudara terbuka.
Pemberontak yang dipimpin Abdul Malik Al-Houthi berhasil menguasai Ibu Kota Sanaa. Akibatnya, Pemerintah Yaman mengungsi dan membuka ibu kota darurat di kota Aden. Pemberontak Houthi dibantu oleh Iran, sementara Arab Saudi memberi bantuan dana serta persenjataan kepada tentara pemerintah. Gara-gara perang ini, 130.000 penduduk Yaman tewas dan jutaan orang terpaksa mengungsi. Griffiths mengatakan, Perang Yaman ini adalah konflik kemanusiaan terburuk.
Ketika PBB mendekati pemberontak, Al-Houthi mau mengikuti usulan berdialog dengan syarat pemerintah membuka akses ke bandara Sana’a dan pelabuhan Hodeida. Menanggapi permintaan itu, pemerintah merespons akan melakukannya jika dialog selesai dilakukan. Kedua pihak sama-sama keras kepala sehingga proses dialog mandek.
Griffiths kemudian melaporkan perkembangan di Yaman kepada PBB. Turut menerima laporan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz yang kemudian meneruskannya kepada Sultan Oman Haitham bin Tariq Al-Said. Oman selama ini bersikap netral terkait Perang Yaman, tetapi kali ini Sultan Haitham bergerak cepat dan menurunkan tim untuk bertemu kelompok pemberontak.
Media Yaman, Oman, dan Saudi belum melaporkan hasil pertemuan tersebut. Namun, PBB mengharapkan ada terobosan positif mengingat pendekatan yang dilakukan tim dari Oman semestinya lebih akrab dan sesuai dengan budaya Yaman sehingga dialog lebih mulus.
Memecah belah
Dalam tulisan opini di Al Jazeera, wartawan Yaman, Manal Qaed Alwesabi, menuturkan bahwa konflik Yaman menorehkan luka lebih dalam daripada yang diberitakan oleh mayoritas media. Konflik ini bukan antaretnis dan antaraliran agama lagi, melainkan sudah memecah belah keluarga.
”Saya menemukan kasus ayah ikut perang bersama dengan tentara pemerintah, sementara anaknya berperang bersama kelompok pemberontak. Ada juga keluarga yang kedua anaknya berperang bukan karena mendukung ideologi politik kelompok Houthi, melainkan demi memperoleh gaji sebagai tentara dan bisa menafkahi keluarga mereka,” paparnya. Keempat orang yang ia tulis ceritanya itu juga kehilangan nyawa di medan tempur.
Alwesabi mengatakan, apabila konflik ini tidak segera dihentikan, Yaman memasuki status sebagai negara gagal. Hal yang sama juga dikemukakan PBB. Oleh sebab itu, dunia berharap agar pendekatan yang dilakukan Oman setidaknya bisa mencairkan hati pihak pemerintah dan pemberontak agar mau bertemu dan bicara. (AP)