Bergandengan Tangan Menembus Dinding Tebal Industri Teknologi
Perempuan dan latar belakang kelompok minoritas kesulitan berperan dalam sektor industri teknologi di Jerman. Algoritma mesin pencari kerja yang dibangun oleh laki-laki, berkulit putih, ternyata memiliki bias rasial.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Jika Anda perempuan dari kelompok etnis minoritas yang tengah berharap bisa bekerja pada bidang teknologi di Jerman, mungkin Anda harus berpikir ulang dengan pilihan kata dan status yang tertera pada resume kerja untuk dikirimkan ke berbagai perusahaan. Perangkat lunak berbasis teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan mudah ”menyingkirkan” Anda dari persaingan bursa kerja yang semakin ketat.
”Jika Anda tidak tahu bahwa Anda perlu fokus pada kata-kata kunci tertentu di CV Anda, tidak menggunakan kata-kata yang bisa memicu teknologi bekerja, seperti menikah, Anda bisa saja terus mengirimkan surat lamaran dan sama sekali tidak mengerti mengapa Anda tidak pernah dipanggil untuk wawancara kerja. Bahkan, (kata-kata kunci itu) membuat Anda tidak menjadi salah satu kandidat yang akan diwawancara oleh manusia,” kata Nakeema Steffblauer, pendiri lembaga Frauenloop, sebuah lembaga pendidikan luar sekolah yang fokus pada penguatan kapasitas perempuan dalam bidang teknologi di Jerman.
Dia menambahkan, jika sebuah algoritma memutuskan bahwa tidak ada kandidat yang pernah mengambil cuti hamil yang dipekerjakan perusahaan untuk peran teknis, hal itu menjadi faktor yang membuat seorang pelamar kerja terdepak dari bursa atau daftar kandidat yang potensial untuk pekerjaan tersebut.
Di Jerman, format baku daftar riwayat hidup (curriculum vitae/CV) untuk lamaran pekerjaan biasanya menyertakan detail pribadi, seperti usia, kebangsaan, dan status perkawinan, sebuah hal yang jarang digunakan di negara lain. Sementara diskriminasi di pasar tenaga kerja bukanlah sesuatu yang baru. Peningkatan penggunaan algoritma dalam proses perekrutan bisa membuat banyak perempuan yang sebenarnya memenuhi syarat terjerembab, terdepak dalam proses saringan awal.
Dari mesin perekrutan AI dengan algoritma tertentu yang membuatnya lebih ramah terhadap calon pekerja laki-laki dibandingkan dengan perempuan hingga perangkat lunak pengenalan yang tidak ramah terhadap kelompok dari ras tertentu karena faktor warna kulit membuat teknologi perekrutan seperti ini bias sosial.
Menurut Stefflbauer, hal ini bisa terjadi karena kaum perempuan dan orang-orang dari etnis minoritas jarang atau bahkan tidak pernah dilibatkan dalam pengembangan produk tersebut.
”Jika kita tidak diwakili secara produktif dan proaktif dalam pengujian calon produk, pembuatan, dan peluncuran perangkat lunak, kita akan diabaikan. Atau kita bahkan mungkin dirugikan oleh perangkat lunak itu,” kata Stefflbauer.
Kesenjangan
Untuk mendapatkan pekerjaan dalam bidang teknologi di Berlin tidak sulit. Berlin, rumah bagi perusahaan rintisan atau start up, berkembang sangat pesat dan mempekerjakan sekitar 80.000 orang.
Akan tetapi, menurut Stefflbauer, dalam industri teknologi seperti ini pekerja laki-laki dan berkulit putih sangat dominan.
Gelavizh Ahmadi, seorang migran berdarah Kurdi Iran yang memegang gelar PhD dalam bidang fisika dari Free University of Berlin, menuturkan, dirinya menerima serentetan penolakan ketika dia mulai mencari pekerjaan pada sektor ini. ”Tidak dapat dipercaya karena kemampuan saya bahkan melampaui persyaratan yang dibutuhkan dalam lowongan pekerjaan. Tetapi, saya tidak lolos penyaringan pertama,” kata laki-laki berusia 40 tahun ini.
Pengalaman itu sempat membuatnya bertanya apakah algoritma yang dibuat untuk proses pengisian lowongan pekerjaan juga memiliki bias rasial atau sebaliknya. Pertanyaan itu terjawab ketika Ahmadi, yang memiliki kewarganegaraan Jerman, menghapus status kewarganegaraan aslinya, yaitu Iran, dari CV miliknya. Hasilnya, dia mendapatkan banyak panggilan. Baru-baru ini dia mendapat pekerjaan sebagai pengembang teknologi kecerdasan buatan dalam industri otomotif.
Kondisi itu memiliki korelasi dengan studi yang dilakukan Asosiasi Industri Internet Jerman Eco. Berdasarkan data Eco, keterlibatan perempuan dalam bidang ini tergolong rendah, hanya sekitar 17 persen. Sementara data keberagaman etnis berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1.200 pendiri perusahaan teknologi di Eropa pada tahun 2019 memperlihatkan, sebanyak 84 persen orang-orang yang berada di industri ini diidentifikasi sebagai orang kulit putih atau kaukasia. Keberadaan pekerja kulit hitam, berdarah Afrika, atau Karibia hanya 1 persen dalam industri itu.
Untuk mengatasi kesenjangan itu, FrauenLoop melatih kaum perempuan dari berbagai latar belakang etnis dan belum memiliki pengalaman di bidang teknologi untuk menjadi pengembang web, analis data, dan spesialis AI. Khusus bagi para pengungsi dan para pencari suaka, menurut Stefflbauer, kursus yang dilakukan pada malam hari selama 12 bulan itu mendapat subsidi. Sementara para peserta kursus lainnya yang tidak berstatus pengungsi atau pencari suaka diminta untuk memberikan sumbangan.
Saat ini, sekitar 40 persen lulusan FrauenLoop, yang baru berdiri tahun 2016, telah mendapatkan pekerjaan. Menurut Stefflbauer, perempuan berdarah campuran Jamaika dan Panama ini, pangsanya tumbuh karena lebih banyak perusahaan teknologi menyadari nilai keberagaman yang pada gilirannya memungkinkan perempuan dan orang-orang dari etnis minoritas untuk memilih apakah suatu perusahaan layak untuk bekerja.
”Apakah Anda akan memilih untuk bekerja di perusahaan yang tim teknologinya laki-laki atau yang tidak pernah repot-repot mempekerjakan orang yang bukan kulit putih?” kata Stefflbauer.
Sara Alkilani, imigran asal Suriah, mengatakan, dirinya bergabung dengan FrauenLoop pada tahun 2020 setelah membaca tentang bagaimana otomatisasi AI akan membuat banyak pekerjaan menjadi mubazir. Gagasan bahwa suatu hari dia bisa kehilangan pekerjaannya karena mesin membuatnya merasa ”sangat tidak aman”. ”Dan, (membuat saya) ingin masuk ke industri teknologi,” kata perempuan yang datang ke Jerman tahun 2015 itu.
Alkilani mengaku kursus itu telah mengubah hidupnya. Selain membekalinya dengan keterampilan yang membuatnya mendapatkan pekerjaan sebagai analis data, ia menemukan ”komunitas yang aman dan suportif” untuk diandalkan.
”Saya merasa menjadi bagian dari kelompok yang peduli dengan saya yang senang jika saya mendapatkan pekerjaan. Jika saya bingung tentang berbagai hal, mereka menawarkan bantuan dan tidak mengharapkan imbalan apa pun, dan tahu bahwa kami lebih kuat ketika kami saling mendukung,” katanya. (Thomson Reuters Foundation)