Mendorong Partisipasi Perempuan di Dunia Teknologi Informasi
Perjuangan Kartini semenjak tahun 1800-an untuk membebaskan perempuan dari berbagai penjajahan demi mewujudkan kesetaraan jender, masih relevan hingga saat ini. Sebab budaya patriarki masih menghambat kemajuan perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Setiap tahun di tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Perjuangan RA Kartini lebih dari satu abad yang melawan berbagai praktik penindasan terhadap perempuan, dan memperjuangkan hak-hak perempuan agar mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki, hingga kini masih menjadi perjuangan para perempuan di Tanah Air.
Kendati sejumlah perempuan di Tanah Air telah mendapatkan kesempatan meraih posisi dan kedudukan di berbagai bidang, jumlahnya masih jauh dibandingkan laki-laki. Sementara berbagai diskriminasi, ketidakadilan, dan kekerasan masih lekat dengan kehidupan perempuan di Tanah Air. Budaya partriarki yang langgeng di tengah masyarakat masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak strategis.
Bahkan di zaman teknologi informasi yang semakin canggih, perempuan masih harus berjuang keras untuk meraih berbagai peluang dan kesempatan. Dominasi laki-laki dalam berbagai bidang masih kuat. Tidak banyak perempuan yang menempati posisi-posisi strategis.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan, kendati saat ini berbagai kemajuan terus dirasakan oleh perempuan, masih terjadi ketidaksetaraan jender. Hal itu bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) dalam sepuluh tahun terakhir.
”Berkaca pada semangat Kartini, pekerjaan rumah kita hari ini bukan hanya untuk menutup lubang ketidaksetaraan yang masih ada. Namun, juga berpikir dua, tiga langkah lebih maju dan memastikan perempuan Indonesia tidak lagi tertinggal di masa depan. Untuk itu, cita-cita Kartini, cita-cita seluruh perempuan Indonesia, masih harus kita perjuangkan dengan segala daya dan upaya,” ujar Bintang pada Webinar ”Potensi dan Peran Perempuan di Era Digital” dalam rangka memperingati Hari Kartini 2021, Kamis (22/4/2021).
Dalam webinar yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), ISED (Institute of Social Economic Digital), dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Menteri Bintang mengingatkan perempuan harus bersiap menghadapi era digital. Sebab, dengan visi Indonesia untuk menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur dalam perayaan 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045, ekonomi berbasis inovasi dan transformasi digital tidak dapat ditawar lagi.
Maka, pemberdayaan perempuan, akses, dan penguasaan terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan science, technology, engineering and mathematics (STEM) pun menjadi wajib untuk dimiliki perempuan, baik itu anak perempuan maupun perempuan dewasa.
Jadi di sini perempuan terpanggil dengan teknologi, bukan hanya teknisnya, melainkan sentuhan-sentuhan feminitas itu harus berkembang luas. (Yudi Latif)
”Sayangnya, STEM telah lama didominasi laki-laki karena stereotip maskulinitas dalam bidang tersebut. Hal tersebut bisa dilihat dari angka partisipasi perempuan dalam STEM saat ini masih sangat rendah,” katanya.
Berdasarkan data UNESCO (2017), hanya ada 35 persen mahasiswa STEM perempuan secara global. Saat memasuki dunia kerja, jumlahnya pun menjadi semakin sedikit lagi.
Kesenjangan dalam mengakses internet pun masih jelas terlihat. Berdasarkan BPS (2019), persentase pengguna internet perempuan masih lebih rendah dari laki-laki, yaitu 46,87 persen dibandingkan 53,13 persen.
Angka-angka tersebut cukup mengkhawatirkan. Ketika semua aspek kehidupan akan terhubung pada teknologi dalam waktu dekat, akses dan pengetahuan perempuan yang lebih rendah tentang TIK akan membuat perempuan semakin kehilangan akses, baik terhadap informasi, pendidikan, layanan kesehatan, bahkan jaring pengaman sosial dan pendapatan.
Bahkan, ketika perempuan kurang terwakili di bidang pekerjaan STEM, pandangan dan kebutuhan mereka pun menjadi kurang terwakili. Kondisi tersebut menghasilkan kesenjangan jender yang semakin besar di masa depan.
Sebaliknya, ketika wanita menjadi ilmuwan, teknisi, ataupun pemimpin dalam bidang-bidang STEM, pandangan mereka akan berkontribusi besar terhadap terciptanya dunia digital yang lebih inklusif untuk semua. Selain itu juga memastikan tidak ada yang tertinggal.
Senada dengan Bintang Darmawati, Sri Adiningsih, Founder ISED, mengungkapkan, dari IPM perempuan masih rendah dari laki-laki, dan ketimpangannya masih besar, termasuk di bidang digital. Walakin, Sri Adiningsih optimistis peran perempuan dalam dunia digital akan terus meningkat seiring banyaknya perempuan yang terlibat dalam bisnis digital. Ia mencontohkan kiprah sejumlah perempuan yang tergabung di ISED.
Tantangan perempuan
Eunice Sari, CEO and Co-Founder of UX Indonesia, mengungkapkan meski perempuan memiliki kemampuan, dalam kenyataan sehari-hari perempuan masih menghadapi tantangan, yakni masih merasa sebagai kelompok minoritas. Ia mencontohkan, pengalaman sejumlah perempuan yang menjadi konsultan di bidang teknologi dan bisnis, yang masih dihinggapi perasaan khawatir dan ketakutan saat berhadapan dengan situasi yang didominasi laki-laki.
Bahkan, ada kondisi perempuan menghadapi ketakutan ketika merasa laki-laki seakan-akan menunggu perempuan melakukan kesalahan. Kondisi tersebut kemudian dijadikan sebagai alasan bahwa perempuan tidak mampu dan tidak bisa berpikir seperti laki-laki.
”Mereka ketakutan sendiri, ada perasaan nanti gimana orang memikir saya seperti itu,” ujarnya seraya mendorong perempuan untuk berani mengambil berbagai peluang dan kesempatan untuk maju.
Dia mencontohkan, sebenarnya di Indonesia, terutama di desa-desa, usaha mikro kecil menengah dikuasai oleh perempuan. Akan tetapi ketika ada pertemuan penting, perempuan yang berbisnis langsung tidak datang, dan yang datang laki-laki atau suaminya yang malah tidak paham/mengerti apa-apa tentang bisnis tersebut.
Harapan agar perempuan berperan dalam dunia digital juga disampaikan Giwo Rubianto Wiyogo (Ketua Umum Kowani), Irene Camelyn Sinaga (Direktur Pembudayaan BPIP), dan Julie Trisnadewani (Direktur Eksekutif ISED).
Kekuatan emosi
Adapun Yudi Latif, pakar Aliansi Kebangsaan, saat diminta memberikan pandangannya tentang potensi dan peran perempuan di era digital, mengungkapkan, era teknologi informasi terus berkembang, tetapi perempuan masih dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Padahal, era teknologi digital seharusnya menjadi bagian dari perempuan sebab lebih ramah bagi kaum perempuan karena teknologi digital tidak perlu berbasis pada kekuatan. Sebab, meskipun hal-hal teknis bisa dikerjakan oleh mesin, sebenarnya ada hal-hal yang tidak diambil alih oleh teknologi.
”Hal-hal yang tidak bisa dikerjakan oleh mesin adalah emosi, imajinasi, dan etika. Oleh karena itu semakin kita mengarah pada high tech, kita harus membudayakan high touch. Jadi di sini perempuan terpanggil dengan teknologi, bukan hanya teknisnya tapi sentuhan-sentuhan feminitas itu harus berkembang luas,” kata Yudi.
Situasi yang dihadapi masyarakat, termasuk perempuan menggambarkan situasi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini sebenarya belum banyak bergeser dari apa yang dialami di masa RA Kartini. Selain eksploitasi, kesenjangan sosial, kapitalisme yang merembet di seluruh dimensi, dan legitimasi agama, dominasi laki-laki juga masih terjadi sampai sekarang. Meskipun mulai banyak kemajuan perempuan, dominasi laki-laki masih bertahan.
”Kartini merupakan perempuan yang visioner di zamannya karena mampu merespons tantangan jaman dengan berpikir yang sangat jauh,” katanya.
Karena itu, jika Kartini sudah berpikir visioner, seharusnya perempuan-perempuan saat ini berpikir jauh lebih maju seiring perkembangan teknologi informasi.
Bahkan, Julie Trinadewani mengingatkan kata-kata Kartini lebih dari seabad yang lalu, yakni kecerdasan otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada juga kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat hubungannya dengan orang lain untuk mengantarkan orang ke arah yang ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradapan tinggal di permukaan saja.