Ketika semakin banyak perempuan menjadi terdidik, berpengetahuan, berketerampilan, dan memasuki dunia kerja profesional, narasi menarik perempuan ke ruang domestik muncul kembali. Isu ini diperlantang media sosial.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·4 menit baca
Partisipasi perempuan di dunia kerja terbukti melalui banyak penelitian meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga. Bagi negara sumbangan kerja perempuan di ruang publik meningkatkan kemakmuran.
Di sisi lain, muncul narasi menarik kembali perempuan ke ranah domestik, seperti temuan penelitian Rumah Kita Bersama (Kitab) tahun lalu. Pekan lalu dalam diskusi daring Perempuan Bekerja, pendiri Yayasan Puan Amal Hayati Dr (HC) Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid menyebut, salah satu tantangan perempuan memasuki dunia kerja yakni adanya pemahaman keagamaan sempit dan dangkal. Pemahaman sempit tersebut menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai ranah.
Penelitian Rumah Kitab di Jakarta dan sekitarnya, Bandung, dan Yogyakarta menemukan, muncul narasi di komunitas-komunitas menggunakan pendekatan agama. Narasi menekankan pembagian kerja biner: laki-laki bekerja di luar rumah dan perempuan di dalam rumah mengurus rumah dan anak-anak; perempuan bekerja di luar rumah menimbulkan fitnah. Beberapa responden kemudian memilih meninggalkan pekerjaan di pabrik, berhenti kuliah lalu menikah, hingga melepaskan usaha yang tengah berkembang.
Konstruksi sosial peran jender yang timpang merugikan perempuan dan laki-laki serta bertolak belakang dengan kenyataan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan ada 15,46 persen rumah tangga dikepalai perempuan. Persentase ini bertambah dari tahun ke tahun. Perempuan kepala rumah tangga bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rumah tangga, termasuk nafkah keluarga.
Perempuan menjadi kepala rumah tangga, antara lain menurut Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), karena tidak menikah, suami meninggal, bercerai, suami difabel atau sakit, suami pergi tanpa kabar, suami terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau menganggur.
Pandemi diperkirakan meningkatkan jumlah perempuan yang memasuki kerja informal dan berusaha mikro atau kecil untuk mengompensasi pengurangan jam kerja atau bahkan PHK yang dialami pasangan.
Terlibat utuh
Di Banda Aceh, Raihal Fajri (39), MPd, tidak mengalami hambatan dari keluarga maupun masyarakat untuk berkarier di ruang publik. Sebagai Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal fokus pada tata kelola pemerintahan dan advokasi kebijakan.
Dia diminta menjadi tenaga ahli Komisi I DPR Kota Banda Aceh sejak 2019. Tugasnya memberi saran, masukan, dan menyiapkan rancangan qanun atau perda sesuai tupoksi Komisi I DPRK Banda Aceh.
“ Keluarga, suami, dan lingkungan tidak mempermasalahkan. Secara khusus Aceh, terutama lingkungan saya, menaruh respek yang sama terhadap laki-laki dan perempuan bekerja,” tutur Raihal.
Bila ada yang mempermasalahkan perempuan bekerja di luar rumah, menurut alumni Summer School Melbourne University, Australia, tahun 2019 untuk pelatihan perempuan dan politik, hal itu karena pengaruh budaya patriarkhi. Menurut Raihal, perempuan belum punya ruang cukup untuk terlibat dalam perumusan kebijakan dengan perspektif keadilan jender.
Keluarga, suami, dan lingkungan tidak mempermasalahkan. Secara khusus Aceh, terutama lingkungan saya, menaruh respek yang sama terhadap laki-laki dan perempuan bekerja.
Perempuan yang bekerja memiliki kemandirian yang akan membantu agensinya di dalam keluarga dan masyarakat. Bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, termasuk kekerasan dari pasangan, perempuan memiliki jalan untuk sintas.
Pengusaha Rina Zoet dalam webinar Perempuan Bekerja menyebut, bekerja membuat perempuan merasa berharga, tidak menggantungkan nasib pada orang lain, dan menjadi peran model masyarakat.
Perempuan sangat berperan untuk menyejahterakan masyarakat. McKinsey Global Institute dalam “The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential” (2012) menganalisis, agar menjadi negara ekonomi terbesar nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 Indonesia membutuhkan tambahan 60 juta tenaga kerja produktif. Sebanyak 20 juta di antaranya diharapkan dari perempuan. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada 2020 baru 53,13 persen perempuan yang bekerja, jauh di bawah partisipasi laki-laki sebesar 82,41 persen.
Survei Smeru Research Institute dan Prospera pada Oktober-November 2020 tentang dampak sosial ekonomi Covid-19 terhadap rumah tangga Indonesia menunjukkan, separuh dari para perempuan terlibat dalam pekerjaan untuk mendukung keluarga.
Hasil survei terhadap 12.216 rumah tangga yang sebelumnya juga diwawancarai Badan Pusat Statistik sebagai sampel Survei Sosial Ekonomi Nasional dan diluncurkan 4 Maret 2021 memperlihatkan pula para ibu tiga kali lebih sering mengasuh anak dibandingkan dengan para ayah.
Para ibu yang bekerja bertambah berat beban kerjanya dan kesulitan menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan serta tambahan tanggung jawab mengurus anak dan rumah tangga karena anak-anak harus belajar dari rumah.
Konstruksi sosial bahwa lak-laki sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga menjadi beban bagi para ayah ketika pendapatan berkurang atau bahkan kehilangan pekerjaan sama sekali.
Media sosial
Narasi untuk menarik kembali perempuan ke ranah domestik dengan menggunakan alasan keagamaan diperlantang oleh media sosial (medsos). Kanal youtube, misalnya, menampilkan narasi-narasi sangat konservatif secara populer dan disukai banyak audiens.
Pendiri Islami.co Savic Ali mengingatkan perlu ada narasi tandingan yang mengusung kesetaraan dan keadilan jender menggunakan media sosial. Apalagi kajiannya menunjukkan, audiens yang mengikuti media konservatif cenderung tidak membaca media umum dan media lain. Akibatnya mereka tidak membandingkan agar lahir pemikiran kritis.
Zakhrufah dari Commcap juga melihat peluang menggunakan media sosial yang populer seperti Facebook dan Instagram untuk mengampanyekan perempuan bekerja. Melalui analisis data dapat diketahui profil perempuan pengguna medsos dan narasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan audiens.