Fenomena ”All Male Panel” Hambat Perempuan untuk Berkembang
Fenomena ”all male panel” di mana peran laki-laki mendominasi berbagai macam lini kehidupan berpotensi melanggengkan budaya patriarki di masyarakat.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena all male panel atau biasa disingkat ”manel” menyebabkan perspektif laki-laki mendominasi produksi pengetahuan. Selain tidak mengakomodasi keberagaman cara pandang, manel bisa mengekalkan budaya patriarki.
Fenomena manel masih kerap terjadi di dalam dan luar negeri. Hal ini, salah satunya terlihat dari dominasi laki-laki sebagai narasumber, baik dalam pemberitaan media, seminar, maupun kegiatan diskusi.
Representative and Liaison to ASEAN UN Women Jamshed M Kazi mengatakan, mulanya dia belum terpikir bahwa manel sebagai fenomena yang keliru. Namun, seiring berjalan waktu, saat bekerja di UN Women, dia menjadi paham. Ketika dia diminta menjadi panelis, dia selalu bertanya lebih dulu porsi narasumber perempuan dan laki-laki sebelum menyetujui atau menolak.
Apabila dia mengetahui porsi panelis dominan laki-laki, dia akan menawarkan kepada perempuan untuk menggantikan dirinya. Dia senang bahwa organisasi tempatnya bekerja, UN Women, mengambil prakarsa menentang manel. Sejumlah duta besar dan sektor swasta terlibat mendukung.
Ketika merancang diskusi, seminar, ataupun lokakarya, gerakan menentang fenomena manel akan mengajak orang berdasarkan substansi kegiatan. Pengembangan kegiatan yang mengikuti topik akan membuat perempuan dengan kompetensinya bisa dapat tempat.
Fenomena manel menghambat akses perempuan, (perempuan) dianggap tidak ahli, tidak punya kemampuan, dan sering kali hanya dijadikan penerima tamu di seminar atau diskusi. Perempuan menjadi tidak punya prospek karier yang cerah. ( Jamshed M Kazi)
”Fenomena manel menghambat akses perempuan, (perempuan) dianggap tidak ahli, tidak punya kemampuan, dan sering kali hanya dijadikan penerima tamu di seminar atau diskusi. Perempuan menjadi tidak punya prospek karier yang cerah,” ujarnya saat menghadiri webinar ”Voicing the Silenced: Memperkuat Suara dan Kepemimpinan Perempuan”, Kamis (25/3/2021), di Jakarta.
Webinar ini didahului dengan peluncuran kembali laman womenunlimited.id. Laman ini berisi pusat data nama-nama perempuan yang memiliki kepakaran keilmuan ataupun keahlian khusus. Untuk sekarang, sudah ada sekitar 200 nama. Ditargetkan, laman ini akan memiliki basis data 500 nama.
Menurut Jamshed, fenomena manel masih kerap terjadi karena di antara sesama perempuan ikut melanggengkan. Misalnya, sesama perempuan menghalangi perempuan lainnya punya kompetensi untuk bertumbuh.
Research Fellow La Trobe Law School Australia Dina Afrianty mengatakan, dia akan marah kalau menjumpai kegiatan seminar, diskusi, ataupun pemberitaan yang semua panelisnya adalah laki-laki. Perempuan hanya menjadi narahubung atau pembawa acara.
Di lingkungan institusi pendidikan tinggi, misalnya, fenomena manel juga berkembang. Akademisi perempuan dan laki-laki sebenarnya sudah memahami kesetaraan dan keadilan jender. Namun, saat mengelola panel, mereka lupa mengenai hal itu.
”Pengaruh budaya patriarki. Forum ataupun podium panggung selalu dianggap hanya untuk laki-laki. Kalau di lingkungan kampus, fenomena manel didukung dengan budaya senioritas,” kata Dina.
Menyikapi fenomena itu, dia berpendapat, perempuan akademisi bisa membangun jaringan dari luar kampus. Mereka dapat juga memanfaatkan laman womenunlimited.id. Dengan demikian, perempuan tetap bisa berkarya.
Dina menyampaikan, fenomena manel bukan hanya isu di Indonesia, tetapi global. Masalah ini terjadi di bidang profesi manapun.
Adanya pandemi Covid-19 membuat kegiatan panel dominan berlangsung secara daring. Dina memandang, situasi itu memberi peluang bagi perempuan mencari ataupun memperoleh ajakan panel yang sensitif jender.
Perempuan Adat dan Aktivis Muda, Olvy Tumbelaka, menceritakan, dirinya lahir dan besar di lingkungan suku Dayak di mana pembagian kerja tidak ada yang berbasis jender. Anak perempuan mencari kayu dan air. Namun, saat dia harus merantau kuliah di luar lingkungannya, dia menemukan teman-teman perempuannya kerap hanya diminta sebagai petugas kebutuhan konsumsi di acara seminar atau diskusi.
Industrialisasi yang terjadi di Kalimantan, lanjut dia, membuat perempuan bekerja di ladang dan mengurus rumah, sedangkan laki-laki bekerja di perusahaan. Semakin dia bertumbuh dewasa, dia mengetahui bahwa persoalan-persoalan perempuan semakin nyata, salah satunya tentang hak atas tanah.
Bersama teman-temannya, Olvy mendirikan sekolah bersama bagi perempuan adat. Menurut dia, perempuan adat yang ikut kini menjadi berani terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa. Perempuan adat mengorganisasi dirinya dan sesama perempuan untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk Pambudy berpendapat, memperbanyak jurnalis perempuan bisa membawa perubahan dalam ruang redaksional. Selain itu, secara struktur organisasi, porsi perempuan juga mesti ditambah. Dengan demikian, institusi media massa menjadi mendukung kesetaraan jender.
Menurut dia, kesetaraan jender di industri media massa semakin membaik. Kini, sudah ada perkumpulan perempuan pemimpin redaksi.
”Hal terpenting adalah ketika perempuan berhasil menduduki struktur jabatan tertentu di organisasi, perempuan jangan menjadi queen bee. Perempuan harus bersikap inklusif dan mau membantu perempuan lainnya,” paparnya.