Negara-negara G-7 Tandingi Proyek Infrastruktur China
Negara anggota Kelompok Tujuh menyusun skema infrastruktur global ”tandingan” Inisiatif Sabuk dan Jalan China. Mereka berjanji membantu kekurangan dana 40 triliun dollar AS yang dibutuhkan negara berkembang tahun 2035.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
CARBIS BAY, SABTU — Negara-negara kaya anggota Kelompok Tujuh atau G-7 menyusun skema infrastruktur global baru sebagai ”tandingan” atas Prakarsa Sabuk dan Jalan China. Amerika Serikat juga mendorong negara-negara G-7 lainnya, yakni Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, dan Jepang, untuk menindak tegas China terkait praktik kerja paksa di wilayah Xinjiang. Kritik G-7 terhadap China itu diusulkan masuk dalam komunike bersama.
Rencana skema baru infrastruktur global G-7, yang diberi nama ”Membangun Kembali Dunia yang Lebih Baik” (Build Back Better World/B3W) tersebut diadopsi pada hari kedua Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Cornwall, Inggris, Sabtu (12/6/2021).
Gedung Putih menyebut, Presiden AS Joe Biden dan pemimpin G-7 lain berharap inisiatif baru itu akan memberi kemitraan infrastruktur yang transparan guna membantu menutup kekurangan dana 40 triliun dollar AS yang dibutuhkan negara-negara berkembang pada tahun 2035.
”Ini bukan masalah kami mengonfrontasi atau melawan China. Namun, sampai sekarang kami memang belum memiliki alternatif positif yang mencerminkan nilai, standar, dan cara G-7 bekerja dalam kerangka Prakarsa Sabuk dan Jalan itu,” kata pejabat senior Gedung Putih.
Prakarsa Sabuk dan Jalan China (Belt and Road Initiative/BRI) merupakan skema infrastruktur bernilai multitriliunan dollar AS yang diluncurkan pada 2013 oleh Presiden China Xi Jinping. Di dalam BRI terdapat inisiatif-inisiatif pembangunan dan investasi dari bentang wilayah Asia hingga Eropa.
Lebih dari 100 negara telah menandatangani kesepakatan dengan China untuk bekerja sama dalam proyek-proyek BRI, seperti proyek jalur kereta, pelabuhan, jalan raya, dan infrastruktur lain. Di Indonesia, proyek infrastruktur BRI diwujudkan dalam pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Berdasarkan data Refinitiv, perusahaan AS-Inggris penyedia data pasar finansial global dan infrastruktur, hingga pertengahan tahun lalu terdapat sekitar 2.600 proyek terkait BRI dengan biaya 3,7 triliun dollar AS. Kementerian Luar Negeri China mengatakan, sampai akhir Juni tahun lalu, sekitar 20 persen dari seluruh proyek BRI terdampak pandemi Covid-19.
Usulan skema inisiatif baru ”tandingan BRI” itu sebelumnya dikemukakan Biden kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sebagai penyelenggara KTT G-7. Menurut Biden, negara-negara demokrasi sudah seharusnya mengembangkan skema infrastruktur global seperti BRI.
Sampai saat ini, negara-negara Barat belum menawarkan alternatif lain atas sejumlah kekurangan China dalam proyek BRI, seperti kurangnya transparansi, standar lingkungan dan tenaga kerja yang buruk, serta pendekatan yang memaksa. Pemimpin G-7 ingin memanfaatkan pertemuan di kawasan resort mewah, Carbis Bay, untuk memperlihatkan pada dunia bahwa negara-negara kaya demokrasi mampu menawarkan alternatif selain China.
Kebangkitan China
Kebangkitan China sebagai kekuatan global kerap dipandang sebagai salah satu peristiwa geopolitik paling signifikan akhir-akhir ini, selain bubarnya Uni Soviet tahun 1991 yang mengakhiri Perang Dingin. Pada tahun 1991, ekonomi China lebih kecil daripada Italia. Setelah membuka bagi investasi asing dan memperkenalkan reformasi pasar, ”Negeri Tirai Bambu” itu menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dan pemimpin global dalam sejumlah teknologi-teknologi baru.
Sampai sekarang belum ada penjelasan lebih rinci mengenai sumber dan mekanisme pembiayaan skema infrastruktur global baru G-7 itu. Menurut Gedung Putih, G-7 dan para mitranya akan memanfaatkan inisiatif skema baru itu untuk menggerakkan modal sektor swasta di beberapa bidang, antara lain iklim, kesehatan dan keamanan kesehatan, teknologi digital, serta kesetaraan jender.
Dalam pertemuan KTT G-7, Biden juga akan mendorong para pemimpin negara anggota G-7 untuk mempertegas sikap G-7 terkait praktik kerja paksa. Bagi G-7, praktik kerja paksa merupakan bentuk penghinaan martabat manusia dan contoh mengerikan dari persaingan ekonomi yang tidak adil oleh China. Ini juga untuk menunjukkan ketegasan dan keseriusan G-7 dalam membela pelanggaran hak-hak asasi manusia, seperti yang terjadi di Xinjiang.
Karena KTT G-7 ini juga membahas isu-isu terkait kebijakan luar negeri, sejumlah negara nonanggota G-7 juga diundang, seperti Australia, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan India. Tujuan pertemuan ini sejak awal difokuskan untuk menggalang kesatuan sikap terhadap China yang kian agresif.
Selain isu China, G-7 juga akan mendonasikan satu miliar dosis vaksin bagi negara-negara miskin pada tahun ini. Isu perubahan iklim dan upaya menjaga biodiversitas global juga dibicarakan. Di KTT yang akan berakhir hari Minggu ini, G-7 juga direncanakan akan mengeluarkan Deklarasi Carbis Bay yang berisi tentang serangkaian komitmen untuk mencegah terjadinya kembali pandemi seperti Covid-19.
”Untuk pertama kalinya, G-7 sepakat untuk memastikan agar kita bisa lebih siap mengantisipasi dan menghadapi pandemi. Jangan sampai terulang kesalahan kita selama 18 bulan ini,” kata PM Boris Johnson.
Langkah-langkah kolektif terkait pandemi ini, antara lain, mempercepat waktu pengembangan dan pemberian izin pada produksi dan distribusi vaksin, perawatan, serta diagnostik penyakit-penyakit lain di masa depan menjadi hanya 100 hari. Perlu juga dibuat jaringan pengawasan global atau sistem peringatan dini pandemi.
G-7 juga berjanji akan mendorong kapasitas pengurutan genom dan mendukung reformasi memperkuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). ”Dunia membutuhkan sistem pengawasan global yang lebih kuat untuk bisa mendeteksi risiko epidemi dan pandemi yang baru,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Namun, Manager Kebijakan Kesehatan lembaga Oxfam, Anna Marriott, pesimistis bahwa deklarasi G-7 itu akan bisa menangani persoalan mendasar yang menghambat pemerataan akses vaksin. ”Rencana mempercepat pencegahan dan penanganan jika ada pandemi lagi di masa depan memang bagus, tetapi yang lebih penting itu mengakhiri krisis yang sekarang ini sedang terjadi,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)