Alih-alih Jaga Stabilitas, Junta Dorong Myanmar Makin Dalam Terperosok Kekacauan
Diamputasi oleh gagasan yang salah tentang nonintervensi, ASEAN belum menjatuhkan sanksi apa pun kepada junta Myanmar. Rakyat Myanmar menjadi korban dari tindakan represif junta dan lambannya aksi ASEAN.
Dunia terus disuguhi krisis politik Myanmar. Junta yang berkuasa tidak mengelola krisis dengan baik agar segera berakhir. Tidak ada ruang negosiasi dan komunikasi politik dengan pihak lawan, kecuali membui mereka. Upaya dari luar belum kuat menekan junta agar krisis politik dan kemanusiaan diakhiri, termasuk dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Junta militer tidak sedang melawan kelompok-kelompok etnis minoritas bersenjata setelah merebut kekuasaan sipil pada 1 Februari lalu. Mereka sedang melawan ”kelompok mayoritas rakyat sipil tidak bersenjata” yang ingin mengembalikan pemerintahan sipil demokratis. Namun, rakyat bisa apa melawan tangan-tangan ”kelompok kecil junta militer yang sangar berpeluru tajam”?
Militer yang diharapkan rakyat menjaga stabilitas malah terus membuat situasi semakin tidak stabil, mendorongnya ke dalam kekacauan saat bayi demokrasi mulai mekar di bawah pemerintahan sipil. Namun, kini ada sandaran baru bagi rakyat sipil yang kecewa dan sakit hati atas kelakuan junta.
Rakyat yang tadinya lugu dan tidak pernah pegang senjata sebagian kecil di antaranya kini telah melarikan diri ke hutan-hutan. Warga sipil di jantung negara itu mengambil senjata untuk membela diri. Mereka menjadi sukarelawan, bergabung dengan kelompok etnis bersenjata, untuk melawan junta militer. Pertempuran etnis melawan rezim telah berkobar kembali di perbatasan Myanmar.
Meski demikian, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta yang merebut kekuasaan sejak kudeta empat bulan lalu, menegaskan bahwa militer—yang dikenal sebagai Tatmadaw – adalah satu-satunya yang menyatukan Myanmar. ”(Tidak ada yang bisa) menyangkal bahwa Tatmadaw telah berusaha mencegah disintegrasi negara,” kata Hlaing seperti dilaporkan Foreign Policy, 7 Juni 2021.
Baca juga: Junta Myanmar Susun UU Baru untuk Kekang Kebebasan Sipil
Alih-alih menjaga stabilitas negara, junta malah mendorong Myanmar semakin dekat ke ambang perang saudara. Junta militer juga terus membunuh warganya sendiri setiap hari. Hingga Kamis (10/6/2021), awal bulan kelima sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, lebih dari 800 orang tewas dan ribuan terluka akibat kekerasan senjata junta seperti dirilis kantor berita AFP.
Menyesatkan
Di tengah terus melonjaknya korban kekerasan senjata, junta masih terus mengklaim bahwa tindakan itu untuk menjamin perdamaian dan stabilitas di dalam negeri. Propaganda ini menyesatkan menurut rakyat sipil prodemokrasi di Myanmar.
Kita semua, terutama para pembaca yang mengikuti situasi di negara itu, tentu ingat kekerasan saat Myanmar memperingati Hari Angkatan Bersenjata, beberapa waktu lalu. Junta menindak pengunjuk rasa damai sehingga lebih dari 100 orang tewas dalam sehari itu.
Ada juga laporan tentang kekejaman militer yang mengejutkan, di antaranya kekerasan saat tentara membakar hidup-hidup seorang pria berusia 40 tahun dan menembak mati seorang remaja berusia 17 tahun. Remaja itu sedang mengendarai sepeda motor dan tidak terlibat dalam demonstrasi.
Meskipun tidak ada lagi ratusan ribu pengunjuk rasa di jalan-jalan, demonstrasi yang lebih kecil terus berlanjut dan sejumlah warga sipil beralih untuk bergabung dengan kelompok pemberontakan bersenjata. Myanmar rentan mengalami perpecahan.
Sebagian besar negara tetangga Myanmar mendorong solusi untuk krisis yang mencakup Tatmadaw. Sementara gerakan prodemokrasi ingin menyingkirkan militer dari politik. Keterlibatan dengan junta, menurut mereka, hanya menguatkan rezim dan melegitimasi kekuasaannya.
Baca juga: Kebrutalan Junta Myanmar Makin Menjadi-jadi, Upacara Pemakaman Pun Ditembaki
Mereka trauma dengan pemerintahan lima dekade militer, sampai akhirnya Myanmar dipegang pemerintahan sipil demokratis hasil pemilu 2015. Rekam jejak militer buruk. Ketika para biksu Buddha memimpin protes atas pencabutan subsidi bahan bakar pada tahun 2007, junta bertindak represif. Demonstrasi dibubarkan dengan kekerasan senjata yang brutal. Banyak biksu ditahan, beberapa diyakini disiksa hingga meninggal.
Para petinggi ASEAN mengaku takut akan potensi kekacauan yang dapat ditimbulkan oleh pencopotan Tatmadaw dari kekuasaan dan mengesampingkan kekerasannya. Menteri Luar Negeri Filipina Teddy Locsin Jr, Februari lalu, mengatakan, tentara amat diperlukan bagi persatuan Myanmar. Filipina sadar akan peran militer menjaga integritas teritorial dan keamanan nasionalnya.
Demikian pula diplomat veteran Singapura, Bilahari Kausikan, menulis di Foreign Affairs pada April 2021 bahwa militer memiliki ”sejarah menyatukan negara pascakolonial yang fissiparous (mudah terbelah) itu”. Kata dia, tanpa militer, Myanmar dapat terperosok dalam konflik seperti Irak, Libya, atau Suriah.
Dapat dimengerti para diplomat dan pengamat regional khawatir bahwa kekosongan kekuasaan di Myanmar dapat memicu konflik yang lebih besar. Di Negara Bagian Shan, misalnya, pertempuran di antara kelompok-kelompok etnis minoritas terus berlanjut setelah kudeta, mereka bukannya bersatu untuk melawan kekuatan junta militer yang represif.
Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS) telah berulang kali bentrok dengan Tentara Pembebasan Nasional Taang—keduanya mencari otonomi yang lebih besar—dan Partai Kemajuan Negara Bagian Shan, kelompok nasionalis Shan lainnya. Warga Taang, kepada Andrew Nachemson, jurnalis politik yang menulis untuk Foreign Policy, menyebut RCSS adalah penjajah mirip Tatmadaw.
Tatmadaw sendiri dilaporkan seperti ingin menyeret Myanmar ke dalam periode ketidakstabilan yang besar. Gerakan protes menentang kudeta kali ini mungkin merupakan yang terbesar dalam sejarah Myanmar, tetapi mereka disambut dengan kekerasan senjata secara luas. Di Yangon, kota terbesar di negara itu, ledakan bom yang menargetkan pejabat militer telah menjadi keseharian.
Baca juga: Indonesia Desak ASEAN Bertindak Nyata Atasi Krisis Myanmar
Di seluruh Myanmar, administrator lokal junta dan informan yang dicurigai telah sering menjadi sasaran pembunuhan di luar proses hukum. Orang-orang yang terluka akibat senjata militer tidak mau dirawat di rumah sakit karena khawatir akan dijemput paksa.
Sejarah penindasan dan kekerasan Tatmadaw terhadap kelompok etnis minoritas mendorong militerisasi mereka sebagai tujuan pertama. Selama beberapa dekade, militer telah mengirim ribuan pengungsi Karen yang melarikan diri melintasi perbatasan Thailand. Sekitar 100.000 orang Myanmar tetap berada di kamp-kamp pengungsi sejak 2019.
Pada tahun 2009, militer menyerang markas Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar di Negara Bagian Shan. Serangan itu mendorong sekitar 30.000 pengungsi ke China. Pada 2017, kampanye Tatmadaw di Rakhine telah membunuh ribuan warga sipil Rohingya dan memaksa lebih dari 700.000 orang lari ke Bangladesh— salah satu krisis pengungsi terburuk dalam sejarah modern.
Kudeta itu hanya menyulut kembali konflik antara kelompok etnis bersenjata dan pemerintah yang mengancam akan mengacaukan petak-petak perbatasan Myanmar dengan China, Thailand, India, dan Bangladesh. Saw Kapi, analis konflik etnis Karen dan Direktur Institut Kebijakan Publik Salween, mengatakan, ”Politik internal Myanmar telah sangat terpecah selama ini”, sebagian besar konflik disebabkan perlakuan militer terhadap etnis minoritas.
Menurut Saw Kapi, Tatmadaw mungkin merupakan ”lembaga paling kuat” di Myanmar. Namun, dia menolak untuk sependapat dengan pihak yang menyebutkan bahwa Tatmadaw menyatukan Myanmar. ”(Tatmadaw) telah mampu menahan diri untuk mengorbankan negara,” kata Saw Kapi.
Menyandera negara
Tatmadaw sebenarnya tidak melindungi Myanmar, tetapi menyandera negara itu, mencegah pembangunan ekonomi dan politik untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya sendiri. Tatmadaw menggunakan kekerasan untuk mengancam warga sipil dan mencegah intervensi asing.
Meskipun banyak negara tetangga Myanmar di ASEAN telah secara vokal mengecam kudeta dan kekerasan berikutnya, mereka bergeming saat junta secara bertahap memperkuat kendali. Diamputasi oleh gagasan yang salah tentang nonintervensi dan fakta bahwa sebagian besar anggotanya juga merupakan rezim otoriter, ASEAN belum menjatuhkan sanksi apa pun.
ASEAN juga menolak untuk mengakui Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan mengundang Hlaing hadir dalam KTT darurat ASEAN, April di Jakarta, untuk membahas krisis politik Myanmar. Rakyat sipil Myanmar yang memilih pemerintahan demokratis pada 2015 kehilangan sandaran. Tiada lagi blok yang dapat diandalkan. Gajah di ”pelupuk mata” ASEAN seperti tak tampak nyata.
Baca juga: ASEAN Didorong Lebih Berani Selesaikan Krisis Myanmar
Krisis Myanmar yang terus berlanjut semakin membuktikan bahwa ”lima poin konsensus” yang dicapai di KTT ASEAN di Jakarta itu mandul dan tidak efektif. Konsensus pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. Itu tidak terjadi hingga sekarang.
Konsensus kedua, yakni dialog konstruktif di antara semua pihak terkait, harus ada untuk mencari solusi damai bagi kepentingan rakyat Myanmar dan itu juga belum berjalan. Konsensus ketiga, yakni utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan delegasi ASEAN, berjalan meski tidak sempurna. Utusan dari Brunei Darussalam (Ketua ASEAN saat ini), yakni Menteri Luar Negeri Kedua Erywan Yusof, bersama Sekjen ASEAN Lim Hock Joi baru bertemu dengan pihak Tatmadaw, tetapi tidak menghindari pertemuan dengan NUG.
Konsensus keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Humanitarian Assistance (AHA) Center, sudah mulai berjalan. Namun, konsensus kelima agar menunjuk utusan khusus untuk bertemu dengan para pihak terkait di Myanmar, hingga kini belum terealisasi.
Menlu RI Retno LP Marsudi telah mendesak ASEAN untuk segera menunjuk utusan khusus ini. Myanmar, selama ASEAN tidak bertaring, akan tetap seperti itu dan bahkan semakin dekat ke perang saudara.