Memanfaatkan Abad Asia
Asia akan menjadi pusat ekonomi global. Dengan populasi mencapai 3 miliar penduduk di China, India, dan Asia Tenggara saja, Asia akan menjadi magnet berbagai kepentingan negara adidaya.
Di Indo-Pasifik, nyaris tidak ada kawasan dengan daya tarik sebesar Asia Tenggara, terutama dari segi militer dan ekonomi. Kekuatan luar berusaha berebut pengaruh. Sementara mayoritas negara di kawasan berusaha keras mempertahankan keseimbangan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Siswo Pramono menyebut, tidak ada negara sevital Indonesia di kawasan. Secara demografis, selain banyak, penduduk Indonesia juga didominasi usia produktif dan kelas menengah yang besar.
Indonesia sekaligus menjadi negara berpenduduk Muslim terbanyak, lebih banyak dibandingkan gabungan seluruh Muslim di Timur Tengah, dan negara berpenduduk terbanyak ke-4 di dunia. Tidak ada pasar sebesar Indonesia di kawasan.
Tidak ada pasar sebesar Indonesia di kawasan.
Dari sisi geografis, Indonesia penting karena berdaulat atas Selat Lombok, Selat Makassar, Selat Sunda, dan bagian tersempit Selat Malaka. Jalur-jalur pelayaran itu menjadi penghubung Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dua samudra yang menjadi dasar pengembangan konsep Indo-Pasifik.
Dalam buku Easternization: Asia’s Rise and America’s Decline, seorang jenderal Amerika Serikat menyebut Asia Tenggara akan menjadi palagan terpenting jika ada perang Beijing-Washington. Laut China Selatan menjadi rute pengangkutan komoditas perdagangan internasional AS bernilai 1,2 triliun dollar AS. Gangguan di Asia Tenggara juga berarti kekacauan serius untuk perdagangan internasional China yang 60 persen komoditasnya diangkut lewat laut.
Pengakuan Uni Eropa
Peran penting Asia Tenggara juga diakui Uni Eropa (UE). Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan UE Josep Borrell Fontelles menyebut, Asia Tenggara seperti jantung bagi visi Indo-Pasifik versi UE.
Dalam lawatan ke Jakarta pada 1-4 Juni 2021, ia mengatakan bahwa masa depan akan ditulis di Indo-Pasifik. Sebab, 60 persen perekonomian dunia bergerak di Indo-Pasifik dan 2,5 miliar jiwa kelas menengah tinggal di kawasan ini.
Jauh-jauh hari, sejumlah pakar hubungan internasional telah menggaungkan istilah ”Abad Asia”. Seperti Gideon Rachman lewat buku Easternization itu, pakar-pakar menyebut Abad Asia sebagai era kebangkitan peran Asia dan penurunan peran AS-Eropa.
Transformasi peran itu dimulai dengan kebangkitan ekonomi Jepang dan Korea Selatan ditambah Singapura. Mengingat jumlah penduduknya tak sampai 200 juta jiwa, kebangkitan tiga negara itu belum terlalu berdampak pada tatanan global. Cerita berbeda kala ekonomi China, India, dan mayoritas Asia Tenggara semakin kuat dan akumulasi penduduknya mencapai 3 miliar jiwa.
Struktur global pun mulai beradaptasi, baik dari sudut pandang kerja sama maupun kompetisi. UE ingin lebih terlibat dalam Abad Asia.
Baca juga : Tantangan Ambisi Seoul di Asia Tenggara
Kini di Laut China Selatan, nilai perdagangan internasional sejumlah anggota UE rata-rata 400 miliar dollar AS per tahun. Nilai ekonomi itu menjadi salah satu alasan Borrell mengumumkan bahwa armada perang anggota UE akan lebih sering hadir di Asia Tenggara, khususnya di Laut China Selatan, dengan tujuan utamanya untuk kemakmuran bersama.
Kini di Laut China Selatan, nilai perdagangan internasional sejumlah anggota UE rata-rata 400 miliar dollar AS per tahun.
Sikap UE tersebut selaras dengan temuan ISEAS Yusuf Ishak pada awal 2021. Hasil jajak pendapat lembaga Singapura itu menyebutkan, ASEAN lebih memprioritaskan perekonomian dibandingkan isu politik. Bagi ASEAN, harapan terbesar terhadap Beijing-Washington adalah terlibat dalam pemulihan dampak pandemi Covid-19.
Soal pandemi, sulit menyangkal bahwa AS tertinggal dibandingkan China. Bahkan, Borrell mengecam AS karena Washington menolak berbagi cadangan vaksinnya dengan negara lain. ”AS-Inggris hampir tidak mengekspor sama sekali. Kami mengekspor hampir 200 juta dosis. Separuh produksi Eropa diekspor,” kata Borrell di Jakarta pekan lalu.
Narasi ekonomi
Lembaga kajian pertahanan AS, RAND, juga merekomendasikan agar AS meningkatkan hubungan ekonomi alih-alih politik. RAND menyebut, AS kalah di Asia Tenggara karena sibuk dengan narasi politik dan keamanan.
Sebaliknya, China terus mendorong narasi ekonomi. Bagi kawasan stabil seperti Asia Tenggara, narasi ekonomi lebih diprioritaskan dan mendapat perhatian.
Narasi itu semakin mendapat perhatian bagi negara-negara yang tengah membangun dan meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu, menurut RAND, Washington nyaris mustahil mengalahkan Beijing di Kamboja, Laos, dan Myanmar yang bergantung pada China.
Baca juga : Hubungan Indonesia-China, Pilar Stabilitas Kawasan
Sebaliknya di Vietnam, Beijing-Washington sama-sama tidak berpeluang berimbang, apalagi menang. Washington masih bisa mengimbangi Beijing di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Syaratnya, AS harus meningkatkan narasi ekonomi dibandingkan keamanan-politik.
Secara terpisah, pekan lalu, Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman dan Panglima Komando Pasifik Angkatan Udara AS Jenderal Wilsbach mengungkapkan narasi politik dan keamanan. Wilsbach memaparkan kesiapan operasi armada AS di Indo-Pasifik, sementara Sherman menekankan pentingnya kerja sama Asia Tenggara-AS menghadapi agresivitas China.
Sherman bertandang ke sejumlah negara Asia Tenggara setelah pertemuan para menteri luar negeri (menlu) AS-ASEAN mendadak batal karena Menlu AS Antony Blinken tiba-tiba terbang ke Israel pada hari pertemuan. Sudah berkali-kali AS batal bertemu ASEAN. Sebaliknya, sudah berkali-kali pertemuan ASEAN-China berlangsung. Pertemuan terbaru dijadwalkan Senin (7/6/2021). Ini sebagai salah satu upaya ASEAN menjaga keseimbangan hubungan dengan AS sekaligus China.
Lawatan Borrell ke Indonesia selama empat hari membawa pesan bahwa UE ingin meningkatkan kerja sama ekonomi dengan kawasan. Hal ini dilakukan dengan latar lamanya perundingan UE dengan enam negara Asia Tenggara. Setelah perundingan selama 12 tahun, UE baru merampungkan perjanjian dagang dengan Singapura dan Vietnam.
Saat ini, UE masih berunding dengan Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Dengan Indonesia, perundingan sudah berlangsung 10 putaran sejak 2016. ”Kita tidak bisa menunggu enam tahun lalu,” kata Borrell soal rangkaian perundingan dagang Jakarta-Brussels.
Borrell bertandang ke Jakarta beberapa bulan setelah perundingan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Uni Eropa putaran 10 selesai. Ditargetkan selesai pada 2018, Indonesia-EU CEPA tidak kunjung rampung pada pertengahan 2021. Bahkan, Indonesia-UE malah tengah bersengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gara-gara sawit dan nikel. Jakarta menggugat Brussels untuk isu sawit, sementara UE menggugat Indonesia karena nikel.
Selain baku gugat di WTO, volume perdagangan Indonesia-UE juga terus susut dalam beberapa tahun terakhir, dari 28 miliar dollar AS pada 2018 menjadi 23 miliar dollar AS pada 2020. ”Untuk meningkatkan hubungan, diperlukan kerangka kerja. Kesepakatan ini (Indonesia-EU CEPA) adalah kerangkanya,” kata Borrell.