Anak-anak Keluarga Anggota NIIS Terperangkap di Kamp Tanpa Masa Depan
Kelompok militan NIIS secara institusional telah runtuh, seiring kekalahan mereka di Irak dan Suriah. Tapi, efek destruktif yang ditimbulkan masih dialami puluhan ribu anak-anak keluarga mereka di kamp-kamp pengungsi.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Siang itu, puluhan anak-anak tidak menghiraukan matahari terik yang menyengat ubun-ubun mereka. Mereka asyik bermain di jalanan kamp pengungsi Al-Hol di pinggiran selatan kota Al-Hawl, Suriah utara, dekat perbatasan dengan Irak. Sebagian besar jalanan di kamp ini berupa tanah. Anak-anak itu bermain dengan mengayunkan pedang tiruan dan bendera hitam yang diikat pada sebatang dahan kayu, meniru gaya para anggota milisi kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang sudah dua tahun terguling.
”Kami akan membunuhmu karena kamu kafir,” teriak seorang anak berusia sekitar 10 tahun saat coba didekati dan disapa wartawan Associated Press bersama rombongan yang berkunjung ke kamp tersebut, Mei lalu. ”Kami adalah kelompok NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah),” ujarnya.
Belasan anak lainnya melempari rombongan tamu dengan batu. Beberapa anak melambaikan potongan logam tajam yang menyerupai pedang. Seorang anak di antara mereka memperagakan gestur lain. Tangannya disilangkan pada lehernya, mengisyaratkan gerakan seperti menyembelih, sambil berkata: ”Dengan pisau, insya Allah.”
Sudah lebih dari dua tahun sejak kekhalifahan yang dideklarasikan secara sepihak oleh kelompok NIIS digulingkan, lebih dari 27.000 anak-anak dibiarkan merana di kamp seluas 2,98 kilometer persegi di kamp Al-Hol itu. Anak-anak tersebut menghabiskan masa kecilnya dalam kondisi yang menyedihkan.
Tak ada proses pembelajaran yang layak, tidak ada tempat bermain, dan tampaknya tidak juga ada minat dunia internasional untuk membantu mereka keluar dari kamp pengungsian tersebut.
Di kamp tersebut, lebih dari 64.000 warga Irak dan Suriah tinggal. Sebanyak 80 persen dari populasi di kamp itu adalah anak-anak dan perempuan.
Di bagian tenggara kamp yang lokasinya terpisah dan dijaga ketat oleh petugas keamanan, terdapat lebih kurang 2.000 perempuan yang berasal dari 57 negara. Mereka diletakkan di tempat terpisah karena dianggap sebagai kelompok pendukung NIIS paling keras. Di sana mereka tinggal bersama anak-anak mereka yang berjumlah sekitar 8.000 orang.
Dengan 17.000-an lebih keluarga yang tinggal di tenda-tenda pengungsian, sekat dan privasi menjadi sesuatu yang mahal harganya. Banyak keluarga tinggal berdesakan antar-anggota mereka di dalam satu tenda. Belum lagi dengan fasilitas kesehatan yang minim serta akses air bersih dan sanitasi terbatas.
Propaganda dari orangtua
Nyaris tak ada pihak yang membantu perkembangan diri anak-anak mereka. Satu-satunya pendidikan adalah ajaran dari orangtua mereka yang menanamkan di kepala mereka propaganda-propaganda NIIS.
Ada satu kelompok yang juga membentuk perkembangan mereka, yaitu simpatisan dan sisa-sisa anggota kelompok NIIS yang masih beroperasi di dalam kamp Al-Hol. Mereka masih cukup leluasa bergerak meski kamp itu diawasi dan dijalankan oleh sayap militer kelompok Kurdi yang mengalahkan mereka.
Satu-satunya pendidikan adalah ajaran dari orangtua mereka yang menanamkan di kepala mereka propaganda-propaganda NIIS.
”Anak-anak ini adalah korban pertama NIIS. Anak laki-laki yang masih berusia empat tahun benar-benar tidak memiliki ideologi. Mereka, sebagai anak, memiliki kebutuhan perlindungan dan pembelajaran,” kata Sonia Khush, Direktur Respons pada organisasi amal Save the Children di Suriah.
Tinggal di dalam kamp pengungsi yang sebagian penghuninya diyakini masih tertanam ideologi NIIS, jelas bukan tempat yang layak bagi puluhan ribu anak-anak itu. ”Kamp tidak memungkinkan mereka untuk belajar, bersosialisasi, atau bahkan hanya menjadi seorang anak-anak. Kamp ini tidak memungkinkan mereka untuk sembuh dari semua yang pernah mereka lihat dan alami sendiri,” kata Khush.
Pihak berwenang, kelompok Kurdi, dan lembaga-lembaga bantuan lainnya, khawatir bahwa kamp itu akan menciptakan generasi baru militan. Mereka telah meminta kepada pemerintah negara asal untuk memulangkan kembali kaum perempuan dan anak-anak. Namun, banyak negara asal mereka menolak. Negara-negara itu melihat anak-anak tersebut lebih sebagai ancaman daripada sebagai sosok makhluk hidup yang perlu diselamatkan.
Madina Bakraw, salah satu penghuni di kamp terpisah, mengkhawatirkan masa depan anak-anak penghuni Al-Hol, termasuk putra dan putrinya sendiri. ”Kami ingin anak-anak kami belajar. Anak-anak kami harus bisa membaca, menulis, berhitung. Kami ingin pulang agar anak-anak kami memiliki masa kecil,” kata perempuan paruh baya yang fasih berbahasa Rusia ini.
Indoktrinasi
Saat hampir lima tahun berkuasa di sebagian besar wilayah Irak dan Suriah, kelompok NIIS mendoktrin anak-anak itu dengan interpretasi yang keras tentang hukum Islam. Tidak sekadar didoktrin, anak-anak juga dilatih dan dididik menjadi petempur, diajari membunuh dengan praktik memenggal kepala boneka.
Bahkan, seperti ditayangkan dalam video propaganda yang pernah disebarkan NIIS, anggota NIIS tidak segan-segan menyuruh anak-anak benar-benar membunuh para tawanan.
Sebagian perempuan penghuni di kamp Al-Hol itu mengaku tetap setiap pada NIIS. Namun, tidak sedikit juga yang kecewa dengan ideologinya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Mereka juga kecewa dengan kekalahan kelompoknya dari pasukan Pemerintah Irak. Sebagian dari mereka mengaku tidak memiliki komitmen untuk setia pada NIIS, tetapi mereka dibawa oleh suami atau saudara mereka untuk bergabung dalam gerakan tersebut.
Kamp Al-Hol mulai digunakan untuk menampung keluarga anggota kelompok NIIS mulai akhir 2018. Saat itu, pasukan Kurdi yang didukung Amerika Serikat merebut kembali banyak wilayah Suriah timur. Pada Maret 2019, mereka merebut desa-desa terakhir dari tangan NIIS. Sejak itulah, berakhir pula kekhalifahan NIIS yang dideklarasikan pada 2014.
Pengelola kamp telah berupaya memulangkan para penghuni kamp ke negara asal mereka. Awal tahun ini, misalnya, ratusan keluarga anggota NIIS akhirnya bisa kembali ke wilayah asal setelah ada kesepakatan dengan suku atau kelompok adat untuk menerima mereka. Bulan lalu, 100 keluarga asal Irak dipulangkan. Namun, di wilayah asal, mereka masih belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
Beberapa negara bekas Uni Soviet telah memulangkan beberapa warganya. Namun, negara-negara Arab, Eropa, Asia, dan Afrika hanya memulangkan sebagian kecil warganya dan bahkan ada yang menolak. Indonesia termasuk di dalamnya.
Ted Chaiban, Direktur Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) di Timur Tengah dan Afrika Utara mengatakan, puluhan ribu anak-anak yang ada di kamp tidak seharusnya berada di sana. ”Anak-anak itu ada di sana bukan karena kesalahan mereka. Mereka seharusnya tidak membayar konsekuesi pilihan orangtua mereka,” katanya.
Chaiban mengatakan, apabila negara asal tidak mau memulangkan dan menerima mereka kembali, setidaknya pemerintahnya membantu mendirikan fasilitas untuk meningkatkan kehidupan anak-anak. Shixmus Emed, Kepala Departemen Administrasi Pengungsi, mengatakan, mereka telah berulang kali memberikan saran seperti itu kepada negara asal para penghuni kamp. ”Tetapi, hingga sejauh ini, tidak ada apa-apa,” katanya.
Di bagian utama kamp, Unucef dan otoritas Kurdi mendirikan 25 pusat pembelajaran. Namun, pandemi Covid-19 memaksa fasilitas tersebut ditutup. Sedangkan di kamp khusus, mereka tidak bisa mendirikan pusat pembelajaran. Anak-anak yang ada di sana diasuh dan dididik oleh ibunya yang sebagian besar sudah terkontaminasi dengan doktrin NIIS.
Salah satu bukti yang memperlihatkan masih adanya indoktrinasi ajaran NIIS di kamp itu adalah tertangkapnya 125 orang tersangka NIIS di dalam kamp tersebut, termasuk warga Irak dan Suriah, Maret lalu. Mereka tidak hanya mengindoktrinasi, tetapi juga membunuh warga penghuni lain di kamp yang telah meninggalkan ideologi NIIS. Puluhan orang penghuni kamp menjadi korban sel tidur NIIS di kamp tersebut.
Amal Mohammed, salah satu penghuni kamp asal Irak, menyatakan keinginannya untuk segera keluar dari Al-Hol. Dia ingin putrinya hidup normal, seperti anak-anak lain di luar kamp, yang tumbuh dan berkembang dengan baik. ”Mereka tidak akan memiliki masa depan. Di sini mereka tidak belajar apa-apa,” ujarnya. (AP)