Menteri Urusan Islam Saudi Pertahankan Kebijakan Pembatasan Mikrofon Masjid
Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Arab Saudi Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh menuding pihak-pihak yang menentang kebijakan pembatasan penggunaan mikrofon masjid sebagai ”musuh-musuh kerajaan”.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
RIYADH, SELASA — Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh, Senin (31/5/2021), mempertahankan kebijakannya dalam membatasi penggunaan pengeras suara atau mikrofon masjid. Ia menuding pihak-pihak yang menentang kebijakan tersebut sebagai ”musuh-musuh kerajaan”.
Pada 23 Mei lalu, Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan mengeluarkan instruksi bahwa penggunaan pengeras suara luar (eksternal) di masjid-masjid hanya diperbolehkan untuk azan dan ikamah, bukan untuk mengumandangkan shalat berjamaah dan khotbah secara keseluruhan. Selain itu, volume pengeras suara harus diatur tidak melebihi sepertiga dari volume maksimal.
Melalui video rekaman yang ditayangkan melalui televisi pemerintah, Al Ekhbariyah, Senin, Sheikh Abdullatif menjelaskan bahwa kebijakan tersebut dikeluarkan untuk merespons keluhan masyarakat atas terlalu kerasnya volume suara pengeras suara masjid hingga mengganggu tidur orang lanjut usia dan anak-anak.
”Mereka yang ingin menunaikan salah (berjemaah di masjid) tidak perlu menunggu... panggilan imam untuk salat,” kata Sheikh Abdullatif. ”Mereka seharusnya sudah berada di masjid sebelumnya (sebelum ada panggilan imam).”
Ia menambahkan, sejumlah saluran televisi juga telah menyiarkan shalat dan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Hal ini menunjukkan penggunaan pengeras suara di masjid bisa difungsikan secara terbatas.
Azan adalah seruan untuk mengajak orang melakukan shalat berjemaah bagi umat Islam. Dalam Islam, shalat wajib dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam. Adapun ikamah adalah panggilan atau seruan segera berdiri untuk shalat, termasuk berjemaah. Ikamah dikumandangkan beberapa saat sebelum shalat berjemaah dimulai.
Dalam panduan yang dilansir laman harian Saudi Gazette, Sabtu (30/5/2021), Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan memperbolehkan penggunaan mikrofon luar untuk mengumandangkan khotbah dan shalat berjamaah dalam shalat Jumat dan shalat dua hari raya. Hal ini dimaksudkan agar jemaah yang biasanya membeludak hingga luar area utama masjid bisa mendengar isi khotbah dan rangkaian shalat berjemaah yang dipimpin imam.
Data resmi terbaru yang dikutip laman Riyadh Bureau menyebutkan, terdapat lebih dari 98.000 masjid di Arab Saudi. Dilaporkan, tidak jarang dalam satu kompleks permukiman di kota-kota besar terdapat tiga atau empat masjid, yang satu sama lain bisa ditempuh dengan jalan kaki. Suara imam, yang diperdengarkan melalui mikrofon dalam shalat berjemaah, kerap bercampur aduk antara satu masjid dengan masjid lainnya hingga membingungkan jemaah maupun warga penghuni rumah-rumah terdekat.
Pro dan kontra
Kebijakan baru terkait pembatasan penggunaan mikrofon di masjid-masjid di Arab Saudi menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan warganya. Banyak warga menyambut gembira kebijakan tersebut. Tetapi, muncul juga kemarahan yang diungkapkan di media sosial terhadap kebijakan pembatasan mikrofon masjid, melalui tanda pagar (tagar) berisi seruan agar suara musik keras di restoran-restoran dan kafe-kafe juga dilarang.
”Bersamaan dengan (kebijakan bahwa) bacaan ayat Al Quran melalui pengeras suara dimatikan karena mengganggu sebagian warga, kami berharap agar perhatian juga diberikan pada banyak kalangan yang terganggu dengan suara keras di restoran-restoran dan pasar-pasar,” cuit pemilik akun media sosial Twitter yang menyebut dirinya Mohammad al-Yahya.
Saat ini masih terlalu dini untuk menilai secara pasti, bagaimana kebijakan baru tersebut dijalankan di masjid-masjid. Empat warga Arab Saudi yang dihubungi kantor berita Reuters, Senin (31/5/2021), mengungkapkan bahwa sebagian—tetapi tidak semua—masjid terlihat lebih tenang dalam penggunaan mikrofon luar. Setidaknya satu masjid, kata mereka, yang masih mengumandangkan shalat berjemaah secara keseluruhan dengan volume suara yang sama seperti sebelumnya.
Perdebatan seputar penggunaan mikrofon di masjid-masjid di Arab Saudi, sebagaimana ditulis Riyadh Bureau, telah muncul dua tahun lalu. Namun, saat itu tidak ada keputusan tegas dari pemerintah.
Pihak yang mendukung kebijakan pembatasan penggunaan mikrofon masjid mengacu pada fatwa-fatwa sejumlah ulama terkemuka, antara lain, almarhum Sheikh Mohammed bin Saleh al-Othaimeen dan Sheikh Saleh al-Fozan, anggota Dewan Ulama Senior. Kementerian Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan pada pekan lalu juga menyebutkan, instruksi yang mereka keluarkan sesuai dengan fatwa almarhum Sheikh Mohammed bin Saleh al-Othaimeen, yang menegaskan bahwa pengeras suara luar tidak boleh dipergunakan, kecuali untuk azan dan ikamah.
Adapun pihak yang menentang pembatasan penggunaan mikrofon masjid menyatakan, suara kumandang salat dan ayat-ayat suci Al Quran membuat mereka tenang. Menurut mereka, suara kumandang salat dan ayat-ayat suci Al Quran melalui mikrofon masjid itu seharusnya tidak dimatikan ketika pemerintah juga menyelenggarakan konser-konser dan acara-acara panggung musik, yang belakangan semakin marak di restoran-restoran dan tempat-tempat umum di negara itu.
”Musuh-musuh kerajaan”
Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Bimbingan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi Sheikh Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh menyatakan, kritik atas kebijakan pembatasan penggunaan mikrofon masjid itu disebarkan oleh ”musuh-musuh kerajaan” yang ”ingin menggerakkan opini publik”.
”Musuh-musuh kerajaan ingin menggerakkan opini publik, membangkitkan keraguan terhadap kebijakan pemerintah, dan merusak kesatuan nasional melalui pesan-pesan mereka,” ujarnya.
Kebijakan pembatasan penggunaan mikrofon masjid di Arab Saudi muncul di tengah kebijakan pemimpin de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang mendorong liberalisasi di negaranya. Ia mendorong era baru keterbukaan, sejalan dengan apa yang dikemukakan para pengamat sebagai era yang tidak terlalu menekankan aspek keagamaan.
MBS dalam beberapa tahun terakhir telah melonggarkan batasan-batasan sosial di negara kerajaan berhaluan ultra-konservatif itu. Ia, misalnya, mencabut larangan memutar film di bioskop-bioskop, mengizinkan warga perempuan menyetir kendaraan sendiri, serta memperbolehkan percampuran di satu tempat antara laki-laki dan perempuan di acara-acara konser musik dan olahraga.
Pelonggaran norma-norma sosial itu disambut gembira oleh banyak warga Arab Saudi, yang saat ini dua pertiga di antaranya merupakan warga berusia di bawah 30 tahun. MBS berjanji untuk menampilkan wajah Arab Saudi yang moderat, bersamaan dengan langkah-langkahnya yang lain untuk membungkam pihak-pihak yang berlawanan pandangan dengannya. Dalam tiga tahun terakhir, Kerajaan Arab Saudi menangkap puluhan aktivis perempuan, jurnalis, serta beberapa anggota keluarga kerajaan. (AFP/REUTERS)