Indonesia Bukan Primadona Investasi China di ASEAN
Bagi investor China, ASEAN dianggap sebagai pangsa pasar yang besar dan lahan potensial untuk menambah keragaman produk yang ingin dipasarkan. Namun, bukan Indonesia pilihan utama mereka, melainkan Vietnam dan Malaysia.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara Asia Tenggara tetap menarik minat pengusaha dari China untuk dijadikan basis produksi dan pasar. Akan tetapi, Indonesia dinilai bukan merupakan pilihan pertama bagi para penanam modal. Vietnam diprediksi menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat karena dinilai lebih menjanjikan sebagai basis produksi ataupun pengembangan pangsa pasar baru.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Bisnis Tanpa Perbatasan: Menangkap Peluang Perdagangan ASEAN dengan China” yang diadakan oleh media berbasis di Inggris, The Economist, Kamis (27/5/2021). ASEAN, meskipun mengalami berbagai kesulitan pada masa pandemi Covid-19, tetap dinilai mempunyai daya lenting serta kemampuan untuk bangkit kembali mengejar ketertinggalan ekonomi.
Kekuatan ekonomi ASEAN terletak pada kemitraan regional ataupun global. Kemitraan global yang dimaksud ialah Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang kini berubah menjadi Kesepakatan Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). Empat dari 11 negara penanda tangan kemitraan itu adalah negara ASEAN. Adapun kemitraan regional di kawasan itu ialah Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang beranggotakan ke-10 negara ASEAN plus China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
RCEP diperkirakan menyumbang pendapatan domestik bruto global sebesar 186 triliun dollar AS. Perkiraannya, dalam satu dekade ke depan ASEAN bisa mengambil alih status ekonomi terbesar dunia dari Uni Eropa.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut adalah salah satu Direktur Wilayah Asia Standard Chartered Heidi Toribio. Ia menjelaskan riset yang dilakukan oleh perusahaannya mengenai koridor perdagangan ASEAN-China. Terungkap bahwa 60 persen responden yang merupakan perusahaan ataupun perseroan dari China berminat untuk meningkatkan produksi dan penjualan mereka di Asia Tenggara untuk satu tahun ke depan. Mereka mengejar target peningkatan minimal 10 persen.
”ASEAN dianggap sebagai pangsa pasar yang besar,” ujar Toribio. ”Selain itu, ASEAN sangat unik karena merupakan satu komunitas raksasa dan di saat yang sama terdiri dari negara-negara dengan kekhasan masing-masing. Hal ini membuat perusahaan China menganggap ASEAN bisa menjadi lahan mereka untuk menambah keragaman produk yang hendak dipasarkan.”
Penelitian Standard Chartered itu mengungkapkan, bidang-bidang yang berpotensi untuk dikembangkan adalah teknologi, seperti pengolahan mahadata dan barang-barang elektronik untuk kebutuhan sehari-hari; transportasi, seperti pembangunan infrastruktur ataupun pembuatan kendaraan bermotor; serta energi baru dan terbarukan.
Dari survei tersebut, negara Asia Tenggara yang paling banyak menarik minat perusahaan-perusahaan China adalah Malaysia (65 persen), Singapura (60 persen), Thailand (53 persen), Filipina (44 persen), Indonesia (37 persen), dan Vietnam (30 persen).
Dari survei, negara Asia Tenggara yang paling banyak menarik minat perusahaan-perusahaan China adalah Malaysia, kemudian disusul Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Vietnam.
Dalam diskusi daring itu juga dilakukan jajak pendapat secara langsung dengan responden para pengusaha. Mereka diminta memilih negara Asia Tenggara yang paling berpotensi untuk dijadikan tempat investasi dengan pilihan, yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Ternyata, hampir 60 persen responden memilih Vietnam, disusul oleh Malaysia, Thailand, dan baru Indonesia.
”Vietnam memang belum semantap Malaysia dari segi ekosistem bisnis. Akan tetapi, (negara itu) telah menunjukkan potensi yang tinggi dengan pangsa pasar yang besar dan dinamis. Dari sisi produksi, Vietnam juga menjanjikan karena ongkos produksinya relatif terjangkau dan stabil,” kata Daniel Tan, Direktur Eksekutif Lenovo Asia Pasifik.
Daniel Tan menjelaskan, keragaman negara-negara Asia Tenggara sesungguhnya tidak membuat minder para pengusaha China. Justru, mereka melihat hal itu sebagai kesempatan untuk inovasi dan menciptakan produk-produk yang khas di wilayah ASEAN. Ia mencontohkan, e-dagang di ASEAN sangat berbeda dengan di China ataupun belahan lain di dunia karena di Asia Tenggara e-dagang sudah merangkul usaha mikro, kecil, dan menengah yang di negara lain umumnya masih asing dengan teknologi digital.
Faktor pertimbangan
Pernyataan Tan sejalan dengan penelitian Standard Chartered. Jumlah pangsa pasar memang menjadi salah satu pertimbangan perusahaan China mau menanam modal di salah satu negara Asia Tenggara. Indonesia tetap diakui sebagai pasar paling besar.
Namun, ada faktor-faktor lain yang menentukan. Bagi para investor, dukungan serta insentif dari pemerintah lokal sangat dibutuhkan. Dukungan ini yang memberi jaminan bahwa produksi dan penjualan akan berkelanjutan.
Faktor kedua adalah keberadaan basis pemasok bahan baku di negara tersebut. Apabila perusahaan asing hendak membuka pabrik di Indonesia, misalnya, Indonesia sudah harus memiliki sistem yang bisa menjamin ketersediaan bahannya, baik diproduksi secara lokal maupun impor. Dalam hal ini, Toribio menekankan pentingnya mengembangkan sistem suplai cadangan.
”Selama pandemi, salah satu penyebab penurunan produksi adalah karena pabrik kehilangan pemasok langganan mereka. Harus ada kelenturan bagi pabrik untuk mencari penyedia bahan baku darurat,” tuturnya.
Faktor ketiga adalah negara-negara Asia Tenggara itu memiliki akses ke pasar global. Adapun faktor keempat, yaitu negara-negara tersebut memungkinkan produsen untuk menambah keragaman produk yang bisa merambah pasar lokal, regional, dan global.
Direktur Eksekutif Sekretariat Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) Rebecca Fatima Santa Maria memaparkan, ada banyak kejadian investor tertarik untuk menanam modal di satu negara, tetapi ditolak oleh pemerintah setempat. Sejumlah alasannya, antara lain, adalah investasi itu meminta pemerintah menyediakan modal atau insentif yang terlalu banyak sehingga dinilai tidak sepadan dengan omzet yang akan diperoleh.
Selain itu juga ada kendala pemerintah lokal tidak bisa menyediakan sumber daya manusia sesuai standar industri dan memilih menolak investor daripada mendatangkan tenaga kerja dari luar.
”Ini pekerjaan rumah untuk kedua belah pihak, investor ataupun negara tujuan. Pemahaman mengenai aturan lokal, kajian risiko, serta menciptakan jembatan komunikasi antarbudaya,” ucap Maria.
Direktur Eksekutif Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad beberapa waktu lalu mengatakan, kajian risiko investasi di Indonesia dilakukan oleh pemerintah pusat yang kerap tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Pemerintah daerah masalahnya juga belum mempunyai kapasitas untuk melakukan kajian risiko yang layak. Di samping itu, juga ada berbagai hambatan, seperti pungutan liar dan risiko keamanan (Kompas, 23 Februari 2021).