Pekerja Migran Indonesia Disekap dan Diperdagangkan di Irak
Sebanyak 13 perempuan pekerja migran dari Jawa Barat disekap di Duhok yang berada di wilayah Kurdistan Irak. Pekerja migran Indonesia masih rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Luar Negeri beserta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Baghdad tengah menyelidiki kasus tindak pidana perdagangan orang, yaitu penyelundupan sejumlah perempuan asal Indonesia ke Irak dengan iming-iming dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga. Padahal, Pemerintah Indonesia sejak tahun 2015 menutup kerja sama pengiriman tenaga kerja ke semua negara di Timur Tengah.
”Ini jelas pelanggaran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Para pekerja kita diberangkatkan oleh calo atau sponsor di Indonesia,” kata Direktur Pelayanan dan Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha ketika dihubungi di Jakarta, Senin (24/5/2021).
Semua kegiatan pengiriman tenaga kerja di luar koridor UU No 18/2017 dinyatakan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Menurut Judha, KBRI Baghdad sedang berkoordinasi dengan otoritas Irak untuk datang ke lapangan. Dalam laporan yang diterima oleh Kemenlu, sebanyak 13 perempuan pekerja migran dari Jawa Barat disekap di Duhok yang berada di wilayah Kurdistan Irak. Kota ini berjarak 474 kilometer dari Baghdad atau sekitar enam jam perjalanan darat.
”Selain menolong para pekerja migran Indonesia di luar negeri, di dalam negeri juga harus ada hukuman tegas kepada calo-calo ini,” ujar Judha.
Laporan kepada Kemenlu diadukan oleh Ahmad Sofian, pakar hukum sekaligus Koordinator Nasional End Child Prostitution. Ia pertama kali menerima informasi mengenai kasus ini melalui BU, tunangan dari SK, salah satu perempuan pekerja migran Indonesia (PMI) yang kini disekap di Duhok.
BU menghubungi Sofian melalui kanal media sosial pribadi tempat Sofian mengunggah konten-konten pendidikan hukum untuk warganet. Berdasarkan data yang dihimpun Sofian melalui BU, SK didekati seorang sponsor bernama Ebony di kota kelahirannya, Cirebon. Sponsor ini mengiming-imingi SK bisa bekerja di Bahrain dengan gaji besar.
Pada tanggal 5 Mei, BU mengantar SK ke Jakarta untuk diberangkatkan ke Timur Tengah. Di sana ia bertemu dengan Ali, sponsor dari Jakarta. Ali mengatakan SK akan dibawa ke Abu Dhabi. Ketika BU bertanya alasan tempat tujuan berubah, Ali hanya menjawab ”yang penting nanti SK mendapat pekerjaan”. Baik Ebony maupun Ali tidak memiliki izin ataupun bekerja dengan biro penyalur PMI yang terdaftar di pemerintah.
Dalam perjalanan ke Timur Tengah, SK bertemu dengan dua perempuan lain asal Jawa Barat. Salah satu dari teman seperjalanan ini memiliki dua telepon genggam. Ketika mereka mendarat, seorang agen lokal yang menjemput ketiga korban langsung menyita telepon genggam mereka. Akan tetapi, salah satu korban berhasil menyembunyikan telepon ekstra tersebut.
Ketika itu SK menyadari bahwa ia tidak berada di Bahrain maupun Abu Dhabi, melainkan di Baghdad. Ia dan kedua temannya dibawa naik mobil selama berjam-jam. Setelah tiba di sebuah gedung, perempuan itu bergabung dengan sepuluh perempuan lain asal Indonesia di dalam satu ruangan.
”BU mengirimkan saya foto paspor SK, ternyata visa yang dipakai adalah visa wisatawan. SK diiming-imingi akan diberi visa kerja ketika tiba di tujuan,” ujar Sofian.
Melalui telepon yang disembunyikan itu, SK mengontak BU dan memintanya mencari pertolongan. Menurut pemaparan SK, para korban TPPO ini hanya diberi makan satu kali sehari, yaitu nasi yang ditaburi garam. Porsinya pun sepiring berdua. Air minum mereka adalah air keran yang diberi pemutih. Gedung tempat mereka disekap dijaga oleh orang-orang Irak yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Setiap kali salah satu korban hendak ke kamar mandi, selalu ada satu penjaga lokal yang menemani.
Salah satu korban penyekapan mengaku sudah tiga bulan tinggal di tempat itu. Agen dari Irak mengatakan bahwa mereka masih menunggu adanya majikan dari Irak yang mau mempekerjakan PMI sebagai asisten rumah tangga. Sambil menunggu hari itu tiba, korban tersebut disuruh bekerja sebagai tukang bersih-bersih harian di berbagai lokasi.
Menurut korban, setiap kali bekerja untuk panggilan itu, ia selalu ditemani satu penjaga. Penjaga itu pula yang menerima upah harian dari klien, bahkan juga tips yang semestinya menjadi hak korban. Hingga kini korban belum pernah menyentuh sepeser pun hasil keringatnya.
”Saya sudah melaporkan kasus ini ke Kemenlu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Lembaga Bantuan Hukum Bandung yang akan meneruskannya kepada Polda Jawa Barat,” kata Sofian. Di dalam laporan ini BU berposisi sebagai saksi.
Rentan
Pekerja migran Indonesia masih rentan menjadi korban TPPO. Beberapa faktor penyebabnya ialah ketidakpahaman mengenai aturan melamar kerja di luar negeri sehingga mudah diiming-imingi oleh calo. Dalam hal ini, pemerintah harus lebih proaktif mendekati masyarakat, terutama di daerah yang banyak warganya menjadi PMI untuk memberi sosialisasi perlindungan PMI (Kompas, 8/2/2021).
Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, pada tahun 2020 mereka menerima 203 pengaduan TPPO. Pada tahun 2019 ada 176 pengaduan. Modus TPPO ini antara lain sebagai pengantin pesanan, sebagai asisten rumah tangga, pramusiwi, ataupun pekerja di kapal.
Bahkan, Kantor Dagang Indonesia di Taipei mencatat di negara itu ada 12.983 PMI yang bekerja sebagai anak buah kapal di kapal-kapal Taiwan. Sebanyak 60 persen dari mereka direkrut secara ilegal.