Ada Titik Terang Gencatan Senjata di Palestina-Israel
Setelah 10 hari pertempuran, tanda-tanda bakal terjadi gencatan senjata antara kelompok Hamas dan Israel menguat. Upaya diplomasi makin intensif guna mendesak agar perang dihentikan.
KAIRO, KOMPAS -- Upaya deeskalasi di Jalur Gaza dengan terwujudnya gencatan senjata mulai memperlihatkan titik terang. Stasiun televisi Israel, Chanel 12, Rabu (19/5/2021), mengungkapkan, kabinet mini Israel urusan keamanan akan menggelar sidang darurat, Rabu malam atau Kamis ini, untuk membahas kemungkinan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Perang Gaza telah memasuki hari ke-10 pada Rabu kemarin. Hingga Rabu malam WIB, Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan, sedikitnya 219 warga Palestina tewas, termasuk 63 anak-anak dan 36 perempuan, serta 1.530 orang luka-luka. Hamas dan Jihad Islam mengatakan, sedikitnya 20 pejuang mereka tewas. Adapun korban tewas di pihak Israel sebanyak 12 orang, termasuk seorang anak dan tentara, serta sedikitnya 300 orang terluka.
Baca juga: Bentrokan Komunitas Arab-Yahudi, Israel Hadapi Situasi Darurat
Sementara gempuran Israel ke Jalur Gaza dan penembakan roket Hamas ke Israel masih berlangsung, Rabu, upaya diplomasi menuju gencatan senjata semakin intensif. Radio Al Aqsa, yang dikelola Hamas, melaporkan seorang reporternya tewas akibat serangan udara di Gaza City. Adapun di Israel, dua pekerja migran asal Thailand yang bekerja di ladang dekat perbatasan Gaza tewas akibat roket dari Gaza.
Hari Kamis ini, PBB dijadwalkan menggelar sidang Majelis Umum di Markas Besar PBB di New York, AS, dengan salah satu agenda membahas krisis di Palestina. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi bakal menghadiri sidang itu, selain bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Presiden Majelis Umum PBB Volkan Bozkir, dan sejumlah menteri luar negeri.
Sebelumnya, Selasa, Perancis—hasil koordinasi dengan Mesir dan Jordania—mengajukan rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB mendesak gencatan senjata. Menurut harian Mesir, Al Ahram, delegasi keamanan Mesir akan kembali mengunjungi Tel Aviv dan Jalur Gaza, Kamis ini atau Jumat besok untuk mediasi lagi dalam upaya mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza.
Zhang Jun, Duta Besar China untuk PBB, mengatakan kepada wartawan bahwa pihaknya telah mendengar usulan gencatan senjata yang diajukan Perancis itu. China menyatakan dukungannya atas usulan resolusi tersebut. Diplomat lain mengatakan, proposal itu akan berusaha untuk mengakhiri pertempuran sekaligus "memungkinkan akses kemanusiaan" ke Gaza.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell mengaku mendukung seruan untuk gencatan senjata dan mendesak militer Israel untuk bertindak secara "proporsional".
Mengutip sumber-sumber di kalangan Palestina, televisi Israel, N12 TV, melaporkan bahwa Mesir melalui ”saluran rahasia” menawarkan penghentian pertempuran Gaza-Israel pada Kamis pagi. Ezzat El-Reshiq, anggota biro politik Hamas di Qatar, mengeluarkan pernyataan bahwa laporan yang menyebutkan terjadi kesepakatan gencatan senjata tak benar.
Rabu, Presiden AS Joe Biden untuk keempat kalinya dalam sepekan menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. ”Presiden menyampaikan kepada perdana menteri bahwa ia mengharapkan ada deeskalasi signifikan hari ini sebagai jalan menuju gencatan senjata,” kata Karine Jean-Pierre, jubir Gedung Putih.
Posisi AS dalam konflik terbaru Palestina-Israel ini menjadi sorotan setelah Washington tiga kali menjegal langkah DK PBB mengeluarkan pernyataan terkait konflik itu. Gedung Putih dinilai condong mendukung hak Israel membela diri dari serangan Hamas tanpa menyebut hak warga Palestina untuk hidup tanpa represi.
Baca juga: Hipokrisi AS, Cerita yang Diputar Ulang oleh Biden dalam Konflik Palestina-Israel
Pertempuran mulai meletus pada 10 Mei saat kelompok Hamas menembakkan roket ke Jerusalem menyusul bentrokan dan kekerasan yang dialami warga Palestina dari polisi Israel pada bulan Ramadhan di Masjid Al Aqsa dan rencana Israel menggusur warga Palestina dari rumah-rumah mereka di permukiman Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dalam forum sidang parlemen Arab di Kairo, Mesir, melalui Zoom pada Rabu menuduh Israel telah melakukan aksi terorisme negara yang sistematis di Jalur Gaza. Ia berjanji membawa para pelaku kejahatan perang di Jalur Gaza ke Mahkamah Kriminal Internasional.
Melunak
Israel mengklaim telah mengerahkan 52 pesawat tempur, hari Rabu, untuk menggempur 122 sasaran di berbagai titik di Jalur Gaza dalam kurun waktu hanya 25 menit. Mereka juga menyebut, milisi Palestina di Jalur Gaza telah menembakkan 50 roket ke berbagai sasaran Israel dekat Jalur Gaza selama kurun waktu dari pukul 19.00, Selasa, hingga pukul 07.00 Rabu pagi.
Israel mulai melunakkan sikapnya, menyusul diplomasi di balik layar dan gerakan protes massa di Tepi Barat, wilayah Israel, dan beberapa negara Arab, Rabu, mendayung bersamaan untuk menekan Israel agar segera menerima upaya gencatan senjata di Jalur Gaza. Unjuk rasa itu terjadi secara simultan di ibu kota Tunis, Tunisia, kota Ramallah, dan Nablus di Tepi Barat. Unjuk rasa digelar sebagai protes atas korban tewas dan luka-luka yang terus berjatuhan di Jalur Gaza akibat gempuran masif Israel dari udara, laut, dan darat.
Baca juga: Kompak Meredam Palestina
Aparat keamanan Israel hari Rabu juga menangkap 12 mahasiswa Arab pada Universitas Ben Gurion di kota Beersheba, Negev, karena menggelar aksi unjuk rasa di kampus tersebut sebagai protes atas perang Gaza.
Di Israel, Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, Hady Amr, yang berada di Israel sejak hari Jumat (14/5/2021) terus melakukan komunikasi dengan para pejabat Israel dan Palestina serta beberapa negara Arab untuk membahas kemungkinan segera terwujud gencatan senjata di Jalur Gaza. Adapun Menlu Jerman, Heiko Maas, dijadwalkan tiba di Israel hari Jumat (21/5/2021) membawa usulan Uni Eropa terkait gencatan senjata di Jalur Gaza.
Menjelang kemungkinan ada gencatan senjata itu, PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menlu Israel, Gabi Ashkenazi, hari Rabu menggelar konferensi pers bersama di depan para duta besar asing menyampaikan tentang hasil perang Gaza itu. Netanyahu dalam konferensi pers tersebut tidak menyinggung kemungkinan tercapai gencatan senjata dalam waktu dekat.
Baca juga: Perang Udara yang Menguras Biaya
Netanyahu hanya mengungkapkan, Hamas dan milisi Palestina di Jalur Gaza telah menembakkan 4.000 roket, sebanyak 25 persen dari roket yang ditembakkan itu jatuh di Jalur Gaza. Netanyahu menuduh Hamas memiliki jaringan bawah tanah di Jalur Gaza dengan luas skala kota. Militer Israel mengklaim, telah berhasil menghacurkan 100 kilometer jaringan terowongan bawah tanah milik Hamas di Jalur Gaza.
Sebelumnya hari Selasa (18/5/201), Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dalam konferensi pers dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron di Paris mengungkapkan, Mesir akan membantu dana sebanyak 500 juta dollar AS untuk keperluan pembangunan kembali Jalur Gaza dan akan mengikut sertakan perusahaan-perusahaan Mesir dalam proyek pembangunan kembali Jalur Gaza itu.
Di tengah bergulirnya berita kemungkinan dicapai gencatan senjata dalam waktu dekat, Israel mengakui masih gagal menyasar tujuh komandan Brigade Izz ad-Din al-Qassam yang merupakan sayap militer faksi Hamas. Israel juga mengakui gagal dua kali melakukan upaya pecobaan pembunuhan atas komandan utama Brigade Izz ad-Din al-Qassam, Mohammed Deif.
Menurut televisi Al Jazeera, salah satu faktor Israel menggempur beberapa gedung tinggi di Jalur Gaza dalam perang saat ini adalah memburu Mohammed Deif yang diduga bersembunyi di salah satu gedung tinggi Gaza City.
Dampak perang
Akibat 10 hari pertempuran, bukan hanya ratusan orang tewas dan ribuan orang luka-luka, serta hancurnya infrastruktur di Jalur Gaza. Wilayah ini sudah 14 tahun terkena blokade. Gempuran Israel menyebabkan gedung-gedung rata dengan tanah, jalan hancur, pasokan medis, listrik, dan air terhenti. Pada awal pekan ini PBB mencatat, 38.000 orang mengungsi dan 2.500 warga kehilangan tempat tinggal.
Seperti dalam konflik lainnya, perang di Gaza menyebabkan anak-anak menjadi korban yang paling parah terdampak. Anak-anak di Jalur Gaza mengalami trauma berkepanjangan. Ini sudah keempat kalinya dalam kurun 12 tahun, yakni tahun 2009, 2012, dan 2014, Israel dan Hamas terlibat konflik bersenjata.
Baca juga: Hentikan Serangan, Demi Masa Depan Anak-anak
Dalam setiap konflik, Israel selalu menyerang lewat udara, membombardir permukiman padat di Jalur Gaza. Kondisi rentan pun terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran serangan itu. Sejak konflik Hamas-Israel terjadi pada 10 Mei lalu, sedikitnya 63 anak tewas dari total 219 warga Palestina yang tewas. Di sisi Israel, 12 orang tewas akibat roket Hamas, salah satunya anak berusia lima tahun.
Seorang ibu yang tinggal bersama tujuh anaknya di Gaza, Randa Abu Sultan (45), mengaku diliputi ketakutan setiap malam. Mereka berkumpul jadi satu dengan anggota keluarga lainnya di tempat perlindungan. ”Kami semua ketakutan dengan suara ledakan, rudal, dan jet tempur,” katanya.
”Anak laki-laki saya yang berumur empat tahun mengatakan kepada saya bahwa dia takut, jika dia tertidur, dia akan bangun dan menemukan kita sudah mati.”
Baca juga: Tangis Warga Gaza
Militer Israel menyerang ratusan titik di Gaza, bahkan ke daerah permukiman padat penduduk. Sementara Hamas menyerang wilayah Israel dengan ratusan roket, tetapi mayoritas berhasil dicegat Iron Dome, sistem pertahanan antirudal Israel.
Militer Israel beberapa kali berjanji akan berusaha semaksimal mungkin mencegah jatuhnya korban dari warga sipil. Sebelum melancarkan serangan, Israel mengaku sudah mengeluarkan peringatan agar warga bisa meninggalkan bangunan yang hendak diserang. Namun, sejumlah keluarga di Gaza mengaku tidak menerima peringatan apa pun.
Dewan Pengungsi Norwegia menyebutkan, dari semua anak yang tewas dalam serangan Israel, 11 anak di antaranya sedang menjalani program pendampingan psikososial untuk membantu anak menghadapi trauma. ”Ini sudah keempat kalinya anak-anak harus mengalami trauma akibat pengeboman di sekitar rumah mereka,” kata Hozayfa Yazji, Manager Lapangan Dewan Pengungsi Norwegia.
Para orangtua di Gaza selama ini berusaha membantu anak-anaknya yang mengalami trauma. Jika ada bom atau roket yang terlihat di langit, para orangtua biasanya menenangkan anaknya dengan mengatakan itu hanya kembang api. Gejolak kekerasan ini, kata Yazji, jelas memengaruhi psikologis anak-anak. ”Jika perang ini terus berlanjut, anak-anak butuh lebih banyak bantuan,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)
*