Hipokrisi AS, Cerita yang Diputar Ulang oleh Biden dalam Konflik Palestina-Israel
Sejumlah anggota Kongres, yang pro-Israel sekalipun, berharap pemerintahan Presiden Joe Biden lebih berimbang mengambil sikap dalam konflik Palestina-Israel. Namun, cukup sulit berharap AS lebih adil dalam isu tersebut.
JAKARTA, KOMPAS -- Selama puluhan tahun, Israel selalu mengandalkan Amerika Serikat sebagai tameng diplomatik dalam menghadapi berbagai krisis, termasuk dalam krisis Palestina. Pada era pemerintahan Donald Trump (2017-2021), tameng Washington terhadap Israel disebut-sebut menjadi dukungan terbesar sejak berdirinya Negara Israel pada 1948: mulai dari pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel hingga pemindahan kedutaan besar AS ke kota itu hingga memfasilitasi normalisasi hubungan beberapa negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko).
Kini, tampuk pemerintahan di Washington telah beralih ke Presiden Joe Biden dari Partai Demokrat yang mengalahkan Trump, lawan dari Partai Republik, dalam pemilu, November 2020. Sempat muncul harapan bahwa pendekatan dan kebijakan pemerintahan Biden dalam isu Timur Tengah, termasuk konflik Palestina-Israel, bisa bergeser lebih ke tengah. Bukan saja agar Washington lebih adil dan imparsial dalam menyikapi isu-isu di kawasan tersebut, tetapi juga untuk membuka peluang agar AS kembali menjalankan peran mediator yang bisa dipercaya dalam konflik Palestina-Israel.
Baca juga: China Desak AS Lebih Adil Soal Palestina
Pertempuran antara kelompok Hamas dan Israel, yang bereskalasi sejak 10 Mei lalu, menjadi ujian awal bagi pemerintahan Biden: apakah Washington mampu bersikap lebih seimbang--setidaknya dibanding pemerintahan sebelumnya--dalam konflik Palestina-Israel. Hingga Selasa (18/5/2021) siang WIB, menurut pejabat kesehatan di Gaza, sebanyak 212 warga Palestina, termasuk 61 anak-anak dan 36 perempuan, tewas. Di pihak Israel, dilaporkan 10 orang tewas, termasuk dua anak-anak.
Sejauh hingga perkembangan saat ini, cukup sulit berharap pemerintahan Biden akan bersikap lebih adil dalam konflik Palestina-Israel. Presiden Biden untuk kedua kalinya dalam tiga hari terakhir, Senin (17/5/2021), mengontak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melalui telepon.
Dalam pembicaraan tersebut, seperti diungkapkan Gedung Putih, Biden menyatakan dukungan atas gencatan senjata antara para pihak yang bertikai di Palestina-Israel. Tetapi, dia tidak menuntut penghentian serangan militer Israel dan Hamas yang telah menimbulkan korban jiwa, terutama di kalangan warga Palestina.
Pernyataan Biden, yang dikeluarkan oleh Gedung Putih mengenai pembicaraannya dengan Netanyahu, tampak disampaikan dengan hati-hati. "Pemimpin AS mendorong Israel untuk melakukan segala upaya memastikan perlindungan warga sipil yang tidak bersalah," kata Gedung Putih dalam pernyataannya.
Baca juga: Israel Hantam Rumah Tokoh Senior Hamas
Seorang pejabat pemerintah AS mengatakan, keputusan untuk mendukung adanya gencatan senjata dan tidak secara eksplisit atau tegas menuntut gencatan senjata adalah tindakan yang disengaja. Meski Biden dan para pembantunya prihatin tentang jatuhnya korban dari kalangan warga sipil, khususnya anak-anak, kata pejabat yang tak mau disebutkan identitasnya, keputusan untuk tidak menuntut penghentian segera permusuhan mencerminkan tekad Gedung Putih untuk mendukung hak Israel untuk membela diri dari Hamas.Tak ada pernyataan dari Gedung Putih bahwa warga Palestina juga berhak hidup aman tanpa tekanan dan represi.
Sejauh hingga perkembangan saat ini, cukup sulit berharap pemerintahan Biden akan bersikap lebih adil dalam konflik Palestina-Israel.
Saat pertempuran antara Hamas dan Israel berkecamuk, kabinet Biden membatasi kritik terbuka hanya kepada Hamas. Washington, bersama-sama beberapa negara dan Uni Eropa, memang menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris. Pemerintahan Biden sejauh ini menolak untuk mengirim utusan tingkat atas ke wilayah tersebut. Mereka juga menolak menekan Israel secara terbuka dan langsung untuk menghentikan operasi militer ke Jalur Gaza, yang ditinggali oleh sekitar 2 juta warga.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken membela sikap dan kebijakan negaranya itu. Ia menyatakan, pihaknya siap membantu jika Israel dan Hamas mengisyaratkan keinginan mengakhiri permusuhan. AS sendiri tidak menuntut mereka melakukannya. “Pada akhirnya terserah pada pihak-pihak tersebut untuk menyatakan keinginan gencatan senjata,” kata Blinken.
Blinken menjelaskan, pilihan itu diambil oleh AS karena mereka memiliki prioritas kebijakan luar negeri lainnya yang juga mendesak. “Ini dunia yang besar dan kami memiliki tanggung jawab," ujarnya.
Kritik dari dalam
Namun, pilihan sikap Biden dan kabinetnya berbeda dari tuntutan sebagian anggota Kongres, termasuk dari Partai Demokrat, yang ingin melihat pemerintah AS lebih aktif mendinginkan suasana di Timur Tengah. Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, Senin (17/5), bergabung dengan puluhan anggota parlemen dari Partai Demokrat, satu dari Partai Republik, serta Senator independen Bernie Sanders, menyerukan gencatan senjata oleh kedua belah pihak. Seorang Demokrat terkemuka, Adam Schiff, Ketua Komite Intelijen DPR, mendesak AS untuk lebih terlibat.
Baca juga: Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina
Sebagian anggota Demokrat dari kelompok progresif lebih blak-blakan dalam menuntut tekanan terhadap Israel. Sebaliknya, sebagian anggota Demokrat konservatif dan mayoritas anggota Partai Republik, memilih diam.
Cori Bush, seorang Demokrat dari Missouri, mengaitkan masalah Palestina dengan orang-orang kulit hitam Amerika. "Kami menentang uang kami untuk mendanai kepolisian militer, pendudukan, dan sistem penindasan, dan trauma kekerasan," cuit Bush di Twitter.
Bahkan, sejumlah anggota Kongres yang pro-Israel sekalipun ingin pemerintahan Biden lebih berimbang dalam mengambil sikap. Senator Bob Menendez, Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS, yang kerap disebut-sebut mewakili suara Demokrat pro-Israel, Sabtu lalu, mengungkapkan bahwa dirinya "sangat terganggu" dengan serangan-serangan Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan warga sipil dan menghancurkan kantor-kantor media. Ia menuntut harus ada "pertanggungjawaban penuh".
Senator Bernie Sanders, pesaing Biden dalam Konvensi Demokrat tahun lalu, melontarkan bahwa AS harus betul-betul melihat kembali pada bantuan militer sebesar hampir 4 miliar dollar AS per tahun kepada Israel. Dalam artikel yang ditulisnya dan dimuat The New York Times, 14 Mei 2021, ia menulis bahwa Netanyahu telah "menanam bentuk otoritarian nasionalisme rasis yang semakin intoleran". Sanders mengakhiri tulisannya dengan kalimat: "Hidup orang Palestina itu penting (Palestinian lives matter)."
"Presiden dan banyak tokoh lain pekan ini menyatakan Israel punya hak membela diri. Tetapi, apakah orang Palestina juga sudah mempunyai hak untuk bertahan hidup?
Anggota DPR AS, Alexandria Ocasio-Cortez, salah satu tokoh penting kelompok progresif di kalangan Demokrat, mendesak ada tindakan terhadap Israel yang "apartheid". "Presiden dan banyak tokoh lain pekan ini menyatakan bahwa Israel mempunyai hak membela diri," kata Ocasio-Cortez dalam sidang DPR, Kamis lalu. "Tetapi, apakah orang Palestina juga sudah mempunyai hak untuk bertahan hidup? Apakah kita percaya hal itu? Jika iya, kita mempunyai tanggung jawab mewujudkannya."
Pemicu krisis
Logan Bayroff dari Wakil Presiden Bidang Komunikasi kelompok J Street, organisasi pro-Israel yang progresif, mengungkapkan bahwa semakin banyak pengakuan bahwa tindakan-tindakan Israel, termasuk upayanya mengusir keluarga-keluarga Palestina dari Jerusalem Timur, telah menyebabkan krisis saat ini. "Anda lihat, semakin luas kesadaran dalam spektrum Partai Demokrat yang mengkritik bukan hanya soal roket-roket Hamas--Hamas terlibat dalam hal ini--tetapi juga pada kebijakan pemerintahan Israel," ujarnya.
Baca juga: Konflik di Sheikh Jarrah, Potret Legalisasi Penggusuran Palestina di Jerusalem Timur
Dalam jajak pendapat Pew tahun ini, lebih dari separoh warga Yahudi AS memberi penilaian negatif terhadap Netanyahu. Selain itu, hampir dua per tiga dari mereka menyuarakan optimisme terkait prospek Israel hidup berdampingan dengan Negara Palestina. Israel secara historis mendapatkan dukungan penuh dari kalangan Demokrat. Status partai itu dikenal sebagai rumah yang disukai kelompok Yahudi AS dan masyarakat akar rumput sosialis Israel.
Kelompok-kelompok progresif di kalangan mereka, termasuk Sanders, melihat konflik Palestina-Israel dengan kacamata lebih luas dalam konteks gerakan keadilan sosial dan cara Netanyahu mencengkeram kekuasaan dengan aliansinya dengan kelompok sayap kanan.
Pemimpin Minoritas Senat Mitch McConnell, saat berbicara dalam sidang Senat, Senin, untuk menyerang anggota parlemen yang memasukkan Israel dalam tuntutan mereka untuk gencatan senjata. McConnel, mitra dekat Trump, menyatakan bahwa AS harus berdiri di belakang sekutunya, Israel, dan Presiden Biden harus tetap kuat melawan suara-suara yang berkembang di dalam partainya sendiri. Dia menilai, anggota Demokrat progresif ingin menciptakan kesetaraan palsu antara kelompok Hamas.
Phyllis Bennis, Direktur Proyek Internasional Baru pada Institute for Policy Studies di Washington, DC, mengatakan bahwa pemerintahan Biden mengikuti jejak-jejak presiden AS sebelumnya yang selalu mendukung Israel di masa-masa krisis. "Washington secara konsisten menanggapi serangan Israel ke Gaza atau Lebanon dengan menolak upaya PBB mendesak gencatan senjata segera... serta mengirimkan senjata tambahan guna memperkuat gudang peluru pasokan AS yang sudah ada," kata Bennis kepada Al Jazeera.
Di Ankara, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Senin, menuding tangan Biden telah berlumuran darah akibat dukungannya terhadap Israel dalam konflik di Jalur Gaza. "Anda sedang menulis sejarah dengan tangan berlumuran darah," ujarnya dalam pidato yang disiarkan televisi. "Anda telah memaksa kami mengatakan hal itu. Karena, kami tidak bisa diam lagi dalam hal ini."
"Hari ini kami melihat tanda tangan Biden menyetujui penjualan senjata ke Israel," lanjut Erdogan, merujuk laporan media AS tentang penjualan senjata baru ke Israel yang disetujui Gedung Putih.
Hadangan diplomatik AS
Sementara itu, seiring jumlah korban yang terus bertambah, Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengeluarkan pernyataan bersama untuk menyerukan keprihatinan besar dan penghentian kekerasan yang terjadi di Palestina. Kondisi ini memicu pertemuan sesi lanjutan tertutup yang baru akan dilaksanakan Selasa (18/5) waktu New York, AS, atau Rabu (19/5) WIB.
Baca juga: Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
Naskah yang dirancang oleh China, Tunisia dan Norwegia itu diserahkan, Minggu malam, untuk disetujui pada Senin (17/5) oleh 15 anggota DK PBB, ketika jet tempur Israel terus menghantam Jalur Gaza. Namun, pemerintah AS untuk ke tiga kalinya dalam sepekan menolak isi rancangan pernyataan itu. Akibatnya, DK PBB tidak bisa mengeluarkan pernyataan sikap melihat konflik terus berlanjut di lapangan.
Menurut seorang diplomat yang mengikuti jalannya pembicaraan di DK PBB, pemerintah AS mengindikasikan bahwa mereka saat ini tidak bisa mendukung lembaga itu untuk mengeluarkan pernyataan sikap. Kabar penolakan AS untuk bersikap juga sebelumnya telah ditulis oleh Times of Israel, Senin (17/5) waktu Indonesia.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric menggarisbawahi pentingnya mengambil posisi yang terkonsolidasi dalam konflik tersebut. "Saya benar-benar ingin menekankan perlu kemunculan suara yang sangat kuat dan satu dari DK PBB, yang menurut kami akan sangat berpengaruh,” kata Dujarric, Senin (17/5).
Baca juga: Dunia Serukan Penghentian Kekerasan, Israel Makin Gencar Menggempur Gaza
Rancangan teks terbaru pernyataan DK PBB, yang dilihat oleh AFP, menyerukan penurunan situasi, penghentian kekerasan dan penghormatan terhadap hukum humaniter internasional, termasuk perlindungan warga sipil, terutama anak-anak. Rancangan teks ini menyuarakan keprihatinan besar DK PBB pada krisis yang terjadi di Gaza serta keprihatinan serius tentang penggusuran warga Palestina dari rumah mereka di Jerusalem Timur, menentang tindakan sepihak yang kemungkinan akan meningkatkan ketegangan lebih lanjut.
Rancangan pernyataan tersebut juga menyambut upaya dunia internasional untuk meredakan situasi dan menegaskan kembali dukungan DK PBB untuk solusi dua negara yang memungkinkan Israel dan Palestina hidup berdampingan dalam damai dengan wilayah perbatasan yang aman dan diakui.
Penolakan AS untuk mendukung pernyataan bersama DK PBB disambut dengan ketidakpercayaan oleh sekutunya. "Kami hanya meminta AS untuk mendukung pernyataan DK PBB yang akan mengatakan hal-hal serupa yang dikatakan secara bilateral dari Washington," kata seorang diplomat tanpa menyebut nama.
Menurut sejumlah diplomat, pemerintah AS bersikeras bahwa mereka memilih jalur diplomasi dan menilai keluarnya pernyataan PBB dapat menjadi bumerang.
Baca juga: Generasi Milenial Palestina Gerakkan Intifada Melawan Israel
Pada konferensi pers di Kopenhagen pada hari Senin, Menlu Blinken membela keputusan menghadang keluarnya pernyataan DK PBB yang menyerukan diakhirinya permusuhan. "Kami tidak menghalangi diplomasi," kata Blinken menekankan.
Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan menyatakan bahwa AS memilih fokus pada diplomasi diam-diam yang intensif. "Perhitungan kami pada titik ini adalah melakukan percakapan di belakang layar adalah pendekatan paling konstruktif yang dapat kami ambil," kata Psaki.
Majelis Umum PBB, menurut jubirnya, Brenden Varma, akan mengadakan sidang membahas konflik Palestina-Israel pada Kamis (20/5) siang waktu setempat. Menurut para diplomat, sidang akan berlangsung di tingkat menteri dan beberapa pejabat pemerintah sudah menyatakan akan ambil bagian. (AP/AFP/REUTERS)