Serangan Israel menyebabkan ratusan anak dan perempuan Palestina menjadi korban. Perang ternyata hanya membawa korban warga sipil yang lemah dan tidak berdosa.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Mohamed al-Hadidi adalah seorang warga sipil di Jalur Gaza, dalam waktu seketika kehilangan 10 anggota keluarganya. Mereka adalah istri, empat putra-putri mereka, serta lima anggota keluarga lainnya. Kesepuluh anggota keluarga Hadidi tewas dalam serangan udara Israel. Anak bungsu Hadidi, bayi berusia lima bulan, selamat.
Alkisah, rumah Mohammed al-Hadidi yang terletak di kamp pengungsi al-Shati – Gaza City pada Senin (17/5/2021) tiba-tiba digempur Israel dari udara. Kontan saja, rumah yang Hadidi tinggali bersama keluarganya hancur lebur dihantam bom. Bangunan itu hanya menyisakan puing-puing yang terserak. Meski demikian, mukjizat terjadi, anak bungsu Hadidi terhindar dari petaka. Tangisnya pecah, menyeruak dari antara reruntuhan rumah orang tuanya.
Sehari sebelumnya, Minggu dini hari lalu (16/5), seorang warga sipil di Gaza City, Abu al-Auf, kehilangan 42 anggota keluarganya akibat gempuran Israel secara tiba-tiba tanpa peringatan sebelumnya atas rumah keluarga Abu al-Auf itu yang terletak di jalan al-Wahdah di Gaza City.
Saat Abu al-Auf mengalami shock dan meratapi nasibnya, tim penyelamat sipil Palestina masih berjuang keras mencari dan menyelamatkan puluhan korban lainnya di sepanjang jalan Al-Wahdah – Gaza City yang mendapat gempuran masif dari pesawat-peswata tempur Israel tanpa peringatan sebelumnya kepada penduduk di jalan al-Wahdah itu.
Serangan Israel atas jalan al-Wahdah yang lebih tepat disebut pembantaian al-Wahdah. Serangan terjadi saat penduduk sedang tidur lelap pada Minggu dini hari lalu. Menurut kementerian kesehatan Palestina, dalam serangan itu sebanyak 42 orang, diantaranya 16 perempuan dan 10 anak-anak tewas.
Mohamed al-Hadidi dan Abu Auf serta ratusan keluarga lainnya di Jalur Gaza, adalah warga sipil yang menjadi korban perang Gaza. Perang ternyata hanya membawa korban warga sipil yang lemah dan tidak berdosa. Mereka hanya kaum lemah yang sama sekali jauh hiruk-pikuk bagaimana keputusan diambil, baik itu ekonomi, sosial, politik dan keamanan.
Sehari-hari mereka hanya berjuang ingin mendapatkan sesuap nasi untuk bisa bertahan hidup. Mereka tidak tahu-menahu apa yang terjadi di lingkungannya, karena mereka sadar tidak memiliki kekuatan apapun untuk ikut bersuara.
Inilah yang terjadi di Jalur Gaza saat ini. Wilayah sempit yang berpenduduk sekitar 2 juta warga Arab Palestina itu, sejak 10 Mei lalu mendapat gempuran udara, laut dan udara masif tanpa ampun dari Israel. Dapat digambarkan, Israel menggempur apapun yang ada di Jalur Gaza, mulai bumi, pohon, gedung-gedung hingga manusia.
Menurut laporan kementerian kesehatan Palestina, hingga hari Selasa pagi kemarin (18/5), jumlah korban tewas dari pihak Palestina mencapai 212 orang, diantaranya 61 anak kecil dan 36 perempuan. Dari laporan kementerian kesehatan Palestina tersebut, sudah jelas jumlah korban dari anak kecil dan kaum perempuan akibat gempuran Israel itu jelas cukup besar.
Jika perang Gaza berlanjut beberapa hari lagi, tentu korban tewas terutama anak kecil dan kaum perempuan akan bertambah lagi.
Dalih Israel bahwa memiliki mesin militer dengan teknologi sangat canggih untuk menyasar sasaran, tampaknya tidak berlaku di Jalur Gaza. Buktinya banyak warga sipil, termasuk anak dan kaum perempuan, menjadi korban dari mesin militer Israel yang diklaim sangat canggih itu.
Disini muncul pertanyaan tentang efektivitas teknologi canggih mesin militer Israel dalam memilih sasaran atau sebaliknya memang ada kesengajaan untuk menyasar warga sipil, terutama anak kecil dan kaum perempuan ?
Disini pula muncul isu kemanusian dan HAM (hak asasi manusia) dalam perang Gaza ini. Pada gilirannya dipertanyakan tentang peradaban bangsa Israel yang mengklaim sebagai bangsa paling beradab dan maju?
Jika peradaban bangsa Israel hanya berlaku pada bangsa Yahudi saja bukan warga Arab, maka menjadi benar tentang stigma dan narasi bahwa negara Israel telah mempraktekkan politik apartheid, seperti yang pernah terjadi di Afrika Selatan.