Pemda di India Jual Aset demi Membeli Vaksin Covid-19
Di India, biaya pembelian dan pemberian vaksin Covid-19 dibebankan pada pemerintah daerah yang sudah tertatih-tatih akibat pandemi. Mereka pun berencana menjual aset daerah yang belum tentu juga dilirik investor.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pemerintah negara bagian di India berencana menjual aset-aset publik demi menghimpun dana untuk biaya vaksinasi Covid-19 bagi warga dewasa mereka. Langkah ini semakin memberatkan keuangan pemerintah pusat dan negara bagian yang sudah tertekan akibat pandemi yang tidak berkesudahan.
India mulai memvaksinasi penduduk kelompok usia 18-44 tahun sejak 1 Mei. Sebelumnya, prioritas vaksinasi diberikan kepada para tenaga kesehatan dan penduduk berusia 45 tahun ke atas. Dari 180 juta orang yang telah disuntik, baru 40 juta orang yang sudah lengkap dosis vaksinnya.
Perdana Menteri India Narendra Modi ketika mengumumkan keputusan imunisasi untuk warga berusia 18-44 tahun mengatakan bahwa kewajiban ditanggung pemerintah daerah (pemda), yaitu setiap negara bagian. Di India terdapat 28 negara bagian dengan total 590 juta penduduk berusia 18-44 tahun.
Menurut ekonom Emkay Global Financial Services Ltd, Madhavi Arora, seperti dikutip Bloomberg, Senin (17/5/2021), akan butuh biaya keseluruhan 5 miliar dollar Amerika Serikat (Rp 71,4 triliun). ”Apabila imunisasi Covid-19 diperluas kepada penduduk berusia 17 tahun ke bawah, biayanya naik menjadi 7 miliar dollar AS,” ujar Arora.
Biaya ini memberatkan karena pemerintah negara bagian sudah tertatih-tatih akibat pandemi. Dalam kondisi normal, negara-negara bagian menghabiskan 60 persen dari pengeluaran nasional untuk membangun infrastruktur dan mengumpulkan aset. Dua sektor ini merupakan pembuka lapangan pekerjaan terbanyak dan penggerak ekonomi rakyat.
Berdasarkan data Reserve Bank of India, defisit rata-rata anggaran negara bagian sebelum pandemi Covid-19 sebesar 2,4 persen. Sejak pandemi, defisit anggaran meningkat menjadi 4,6 persen. Di Negara Bagian Bihar, defisit anggaran bahkan mencapai 7 persen.
”Cara memenuhi biaya pembelian dan pemberian vaksin adalah pemda menjual aset daerah, memotong biaya operasional, dan meminjam uang kepada pihak lain,” kata Arora.
Negara Bagian Rajashtan, misalnya, melalui media setempat mengumumkan hendak menjual atau menyewakan lahan serta properti yang belum tergarap. Negara Bagian Telagana juga ingin menjual tanah-tanah milik pemda demi mengumpulkan 145 miliar rupee (Rp 28,2 triliun).
Sejumlah pakar ekonomi lokal dan internasional meragukan langkah itu akan berhasil. Pasalnya, para penanam modal, terutama dari luar negeri, enggan berinvestasi di luar kota-kota besar India. Apabila aset negara, seperti maskapai penerbangan Air India dan perusahaan minyak Bharat Petroleum, saja selama dua tahun terakhir tidak ada peminat, kecil kemungkinan tanah dan properti di pelosok akan menarik perhatian investor.
Pada saat yang sama, India juga terus menambah produksi vaksin. Pilihan yang sejauh ini tersedia ialah AstraZeneca produksi Serum Institute dan Bharat Biotech. Direncanakan, per Juli 2021, Serum Institute akan memproduksi 100 juta dosis AstraZeneca setiap bulan. Sejauh ini kapasitas produknya ialah 60-70 juta dosis per bulan. Sementara Bharat Biotech akan membuat 10 juta dosis setiap bulan.
Selain itu, India juga mulai menggunakan vaksin Sputnik V buatan Rusia. Kota Hyderabad menjadi lokasi pertama penyuntikan vaksin ini. Ada 150.000 dosis yang telah tiba di India pada 1 Mei dan pemesanan berikutnya akan datang bulan depan.
India sudah bersepakat dengan Rusia akan memproduksi Sputnik V secara lokal dengan target 850 juta dosis per tahun. Langkah ini dinilai riskan oleh para ahli kesehatan karena Sputnik V belum lulus uji kelayakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (US Food and Drug Administration/FDA) serta Badan Obat-obatan Eropa (European Medicines Agency/EMA).
Meskipun demikian, masih ada kendala distribusi vaksin mengingat dua pertiga penduduk India tinggal di perdesaan dan tidak mempunyai gawai pintar. Mereka kesulitan mendapat akses informasi terkait pengadaan vaksin, pengetesan Covid-19, dan penelusuran kontak erat.
Kepala Ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Soumya Swaminathan menjelaskan, sejak pekan lalu, memang ada penurunan kasus baru. Pada Minggu (16/5/2021), jumlah kasus baru sebanyak 281.386 kasus. Ini pertama kali sejak 21 April angka kasus harian di bawah 300.000.
”Namun, perlu diingat angka ini adalah fenomena gunung es karena di pelosok sistem pengetesan dan pelacakan kasus masih minim. Tingkat penularan secara nasional juga masih 20 persen. Kita belum bisa santai-santai,” ujarnya. (AFP/Reuters)