Populasi Menua, Tak Cukup dengan Tunjangan Melahirkan Saja
Di bawah bayang-bayang populasi menua, Taiwan mendorong warganya mau memiliki anak dengan kebijakan tambahan tunjangan kehamilan dan melahirkan. Namun, persoalannya bukan uang saja.
Momok menjadi masyarakat menua mungkin terasa lebih mencekam di Taiwan. Jumlah penduduknya mayoritas di atas usia 40 tahun.
Pemerintah Taiwan mengeluarkan kebijakan baru terkait cakupan tunjangan kehamilan dan melahirkan yang ditanggung asuransi nasional agar warganya bersedia punya anak. Sayangnya, masyarakat Taiwan menganggap kebijakan ini justru salah arah.
“Menambah jumlah tanggungan pemeriksaan kehamilan memang membantu, tapi tidak akan membuat saya berpikir punya anak lagi. Saya punya anak karena tergolong beruntung memiliki orangtua yang mau membantu mengasuh mereka,” kata Claire Chen, karyawan swasta di Taipei ketika dihubungi melalui pesan pendek, Sabtu (8/5/2021).
Dua hari sebelumnya, parlemen Taiwan mengumumkan perubahan aturan terkait pemeriksaan kehamilan dan cuti melahirkan yang biayanya ditanggung pemerintah. Aturan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2021 menggantikan undang-undang yang sudah ada.
“Pemerintah mengucurkan dana 9,1 miliar dollar Taiwan (sekitar Rp 4,62 triliun) yang akan dicairkan sebesar 1,25 miliar dollar Taiwan per tahun,” kata Juru Bicara Parlemen Taiwan Lo Ping-cheng seperti dikutip Central News Agency.
Baca juga: China yang Menua, Penurunan Penduduknya Mencemaskan
Aturan sebelumnya menjabarkan, asuransi kesehatan nasional menanggung sepuluh kali pemeriksaan kehamilan dengan izin cuti pemeriksaan paling banyak lima hari kerja. Sekarang jumlah pemeriksaan kehamilan yang ditanggung negara menjadi 14 kali dengan izin cuti tujuh hari kerja. Tidak hanya itu, cek kehamilan juga termasuk pemeriksaan diabetes gestasional, anemia, dan dua kali pemindaian ultrasonografi.
Subsidi terapi kesuburan pun akan diberikan kepada pasangan suami istri dari kalangan ekonomi lemah dengan syarat keduanya warga Taiwan dan usia istri tidak melebihi 45 tahun. Negara akan menanggung 100.000 dollar Taiwan untuk terapi pertama dan 60.000 dollar Taiwan untuk setiap terapi kesuburan.
Pemerintah memberi lebih banyak subsidi untuk cuti melahirkan. Sebelumnya, perempuan hamil memperoleh delapan pekan cuti yang harus diambil empat pekan sebelum melahirkan dan empat pekan sesudah melahirkan. Apabila perempuan itu sudah bekerja melebihi enam bulan di perusahaan swasta atau kantor pemerintahan, ia berhak dibayar gaji penuh selama cuti melahirkan. Jika ia bekerja kurang dari enam bulan, ia berhak atas setengah dari gaji total.
Suami yang istrinya melahirkan diberi cuti lima hari. Suami atau istri boleh bersama-sama atau sepihak mengajukan cuti pengasuhan anak selama dua tahun penuh. Jika sebelumnya setiap individu yang cuti pengasuhan anak dibayar 60 persen gaji per bulan untuk enam bulan pertama, kini dinaikkan menjadi 80 persen. Sisa biaya untuk 1,5 tahun harus ditanggung pasangan itu. Syarat cuti orangtua ialah kedua pasangan terdaftar sebagai pekerja dan anak mereka berusia di bawah 3 tahun.
Kelangkaan anak
Lahirnya aturan baru lantaran Taiwan mengalami penurunan jumlah penduduk dalam waktu cepat. Per tahun 2021, sensus penduduk menunjukkan jumlah warga Taiwan sebanyak 23,8 juta jiwa. Akan tetapi, mulai tahun 2022 diperkirakan terjadi penurunan. Jika tidak segera ditindaklanjuti, akan menimbulkan efek bola salju. Penurunan terbanyak bakal terjadi tahun 2030. Apabila terus dibiarkan, pada 2099 diperkirakan penduduk Taiwan tinggal 16 juta jiwa.
Angka kelahiran di negara ini kian menurun dengan 165.000 kelahiran pada 2020. Aangka kelahiran setiap tahun sebanyak 8,409 kelahiran per 1.000 penduduk. Angka itu menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni 2020 (8,417), 2019 (8,417), dan 2018 (8,425). Selama lima tahun terakhir angka kelahiran tidak pernah mencapai 200.000.
Kementerian Dalam Negeri Taiwan pada September 2020 bahkan mengeluarkan data, jumlah binatang piaraan lebih banyak daripada jumlah anak usia 0-14 tahun. Tercatat di negara ini ada 3 juta hewan piaraan, sementara jumlah anak usia tersebut kurang dari 3 juta jiwa. Kecemasan akan terus menyusutnya generasi muda itu bisa dimengerti karena dari 23,8 juta penduduk Taiwan, sebanyak 20 juta adalah orang dewasa dan setengahnya berusia di atas 40 tahun.
Kembali ke pengalaman Claire, menurut dia, subsidi pemeriksaan kehamilan dan tambahan tunjangan cuti pengasuhan anak tampak indah di permukaan. Namun, tak menjawab permasalahan sebenarnya, yaitu waktu, energi, dan biaya membesarkan anak.
Pontang-panting
Claire dan suaminya memiliki karier yang membuat mereka hidup berkecukupan. Namun, ketika punya anak, mereka tetap pontang-panting memenuhi segala kebutuhan. “Butuh dua sumber pendapatan untuk mengasuh anak, membayar kontrakan apartemen atau mencicil hipotek, belum lagi biaya makanan dan kebutuhan lain. Jarang ada orang yang mau mengambil cuti pengasuhan anak dua tahun penuh karena gajinya hanya selama enam bulan, itu pun cuma 60 persen. Sisa 1,5 tahun tidak akan bisa hidup hanya dari tabungan,” tuturnya.
Baca juga: Bayang-bayang Depopulasi
Claire merasa beruntung ketika kembali bekerja setelah cuti melahirkan, orangtuanya mau mengasuh anaknya. Kebetulan mereka juga tinggal di Taipei. Teman-teman dan rekan kerjanya tidak seberuntung itu karena orangtua mereka tinggal di kota lain. Kalaupun berada di Taipei, orangtuanya sibuk bekerja atau sudah terlalu tua untuk dititipi anak kecil.
Sekarang anak Claire sudah di usia aktif. Kakek dan neneknya tidak kuat lagi untuk menjaga. Ia pun mencari penitipan anak yang ternyata jarang sekali. Di universitas negeri dan kantor-kantor pemerintahan tidak ada layanan penitipan anak. Akibatnya, ia dan suami menyisihkan biaya ekstra 90.000 dollar Taiwan per bulan untuk membayar pengasuh anak dari pagi hingga petang.
Cheng, pria pegawai swasta di Taichung dan belum menikah, berpendapat serupa. Salah satu keengganannya menikah lantaran merasa pekerjaannya belum pada taraf bisa memiliki penghasilan lebih, apalagi untuk membesarkan anak. Di usia pertengahan 30-an ia masih menyewa apartemen studio. Jika gajinya digabungkan dengan gaji pacarnya, mereka hanya mampu menyewa apartemen dengan satu kamar tidur.
“Nanti bayinya mau ditaruh di mana? Kehidupan seperti apa yang bisa diberikan dengan biaya sangat terbatas?” ujarnya.
Ia tidak anti terhadap anak, tetapi sebagai orang dewasa harus ada tanggung jawab memberi nafkah yang layak bagi keturunannya. Kenyataannya biaya hidup mahal, gaji relatif rendah, dan fasilitas pengasuhan anak terbatas. Cheng tidak mampu membayar pengasuh. Jika menikah dan punya anak, guna menghemat biaya, istrinya harus berhenti bekerja. Beban hidup akan kian berat. Mau tidak mau, memilih tidak mempunyai anak menjadi bentuk pertanggungjawaban.