Intelijen: Pencapaian Perempuan Bisa Mundur Selepas AS Keluar dari Afghanistan
Laporan Lembaga Intelijen Nasional Amerika Serikat mengkhawatirkan kemunduran kondisi dan hak kaum perempuan setelah pasukan AS dan koalisi keluar dari Afghanistan meski Taliban berjanji tidak akan menguranginya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
WASHINGTON, RABU — Badan intelijen Amerika Serikat memperingatkan, kemajuan yang telah diraih kaum perempuan Afghanistan, terutama soal hak-hak yang mereka rasakan selama hampir dua dekade terakhir, terancam setelah militer AS dan koalisi keluar pada September nanti. Pendekatan kelompok Taliban yang restriktif terhadap kaum perempuan, meski sejauh ini belum ada kepastian bahwa kelompok ini akan berkuasa di Afghanistan, memutar kembali jarum jam hak-hak kaum perempuan negara itu kembali ke masa 1990-an saat kelompok ini memegang tampuk kekuasaan.
Sebuah laporan yang dirilis Lembaga Intelijen Nasional AS yang dipimpin Avril Haines, Selasa (4/5/2021), menyebutkan, Taliban tetap secara luas konsisten menggunakan pendekatannya yang restriktif atas hak-hak perempuan dan akan memutar kembali berbagai hal yang telah dinikmati oleh perempuan Afghanistan selama dua dekade terakhir jika kelompok itu kembali memegang kekuasaan nasional.
Substansi laporan ini adalah peringatan terbaru tentang konsekuensi yang akan muncul dari penarikan pasukan AS dan koalisi di Afghanistan, yang kini tengah berlangsung. Substansi ini juga menguatkan pernyataan Jenderal Mark Milley, Kepala Staf Gabungan, Minggu (2/5/2021), yang menyebutkan mungkin ada beberapa perubahan dramatis dan buruk apabila militer Afghanistan dibiarkan sendirian melawan Taliban dan kelompok bersenjata lainnya.
Pernyataan senada juga pernah disampaikan Direktur CIA William Burns di depan Kongres, April lalu, yang menyebutkan kemampuan AS untuk mengumpulkan informasi dan bertindak jika ada ancaman akan berkurang apabila meninggalkan Afghanistan secara penuh.
Demografi Afghanistan sekarang masuk dalam kategori muda dengan dua pertiga atau 66 persen populasi berusia 25 tahun atau bahkan lebih muda. Dengan komposisi demografi seperti ini, mereka tidak memiliki ingatan tentang pemerintahan Taliban pada akhir 1990-an.
Sementara Afghanistan, dalam penilaian banyak kalangan di dunia internasional, tetap menjadi salah satu negara terburuk dalam memperlakukan kaum perempuan, terutama di daerah perdesaan.
Regenerasi kepemimpinan Taliban juga sempat memberi angin segar setelah mereka membuat komitmen publik untuk menghormati hak-hak perempuan. Bulan lalu, Taliban mengeluarkan pernyataan yang menjanjikan bahwa kaum perempuan bisa berpartisipasi melayani masyarakat dalam bidang pendidikan, bisnis, kesehatan, dan sosial sambil mempertahankan penggunaan hijab atau jilbab yang benar.
Namun, menurut laporan itu, jika Taliban kembali menjadi kekuatan dominan di Afghanistan, prospek untuk memoderasi kebijakan Taliban terhadap kaum perempuan akan terletak pada kemampuan etnis minoritas untuk mempertahankan variasi lokal dan perkembangan teknologi, terutama dengan masuknya teknologi, khususnya gawai, ke negara itu.
Skeptisisme terhadap janji Taliban, menurut laporan itu, lantaran sepanjang proses perundingan damai, kelompok tersebut memperlihatkan posisi negosiasi yang tidak fleksibel dan menerapkan batas sosial yang ketat di wilayah yang sudah dikuasainya.
Menteri Luar Negeri Antony Blinken telah mengakui bahwa pengambilalihan negara oleh Taliban dimungkinkan setelah penarikan militer AS dan koalisi. Namun, dia juga menegaskan bahwa kelompok tersebut tidak ingin menjadi paria dan harus merangkul atau setidaknya menoleransi hak-hak perempuan, anak perempuan, dan minoritas jika ingin dipandang sah oleh komunitas internasional.
Masalahnya, kata para kritikus, Taliban tidak pernah menunjukkan minat untuk diterima komunitas internasional dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkuasa pada 1990-an dan awal tahun 2000-an dijauhi hampir setiap negara di bumi.
Senator AS Jeanne Shaheen mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia akan bekerja dengan pemerintahan Biden untuk memastikan setiap upaya dilakukan guna menjaga kemajuan yang dibuat dan mendukung mitra di lapangan mengamankan sebuah kestabilan dan pemerintahan transisi yang inklusif.
Konflik
Kekhawatiran meningkatnya konflik pascapenarikan mundur pasukan AS dan koalisi mulai terlihat ketika ribuan warga meninggalkan rumah saat pertempuran pecah di Provinsi Helmand. Pertempuran terjadi tidak lama setelah militer AS menyerahkan pangkalan militer kepada pasukan pemerintah di provinsi tersebut.
Menurut Sayed Mohammad Ramin, Direktur Pengungsi Pemerintah Provinsi Helmand, 1.000 keluarga telah meninggalkan rumah mereka untuk menghindari pertempuran yang meletus di pinggiran kota Lashkar Gah, ibu kota Helmand, dan beberapa bagian lain di provinsi itu. Dia mengatakan, banyak pengungsi belum menemukan tempat berlindung.
Kementerian Pertahanan menyatakan, 100 anggota Taliban tewas dalam pertempuran itu setelah mereka menyerang sebuah pos pemeriksaan. Selain itu, 22 anggota Al Qaeda yang terlibat dalam pertempuran itu juga tewas.
”Musuh sekarang telah kehilangan semua daerah yang direbutnya dan menderita banyak korban,” kata Attaullah Afghan, Ketua Dewan Provinsi Helmand.
Sebaliknya, kubu Taliban mengklaim mereka telah menewaskan puluhan anggota pasukan Afghanistan. Kedua belah pihak diketahui membesar-besarkan korban yang diderita di pihak lain.
Emergency, sebuah lembaga penyedia perawatan medis yang berbasis di Inggris dan beroperasi di Helmand, menyatakan, mereka telah menerima banyak pasien yang terluka karena pertempuran di Helmand. Rumah sakit yang dikelola lembaga tersebut di Helmand menerima 106 pasien dan sebanyak 65 orang di antaranya harus menjalani rawat inap karena luka-luka yang dideritanya.
”Ini adalah hari-hari yang sangat sulit di Lashkar Gah. Kami juga telah meletakkan tempat tidur di ruang fisioterapi untuk menampung semua pasien yang terluka,” kata Viktor Urosevic, koordinator medis rumah sakit, dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Emergency.
Koordinator Emergency Afghanistan Marco Puntin mengatakan, pertempuran di Helmand bukanlah peristiwa yang terisolasi. ”Kami telah menyaksikan eskalasi konflik di Afghanistan,” katanya.
Pertempuran juga dilaporkan terjadi di beberapa provinsi lain sejak militer AS secara resmi mulai menarik 2.500 tentaranya yang tersisa.
Pentagon menilai eskalasi konflik itu tidak akan memengaruhi penarikan pasukan AS di Afghanistan. ”Kami sejauh ini tidak melihat apa pun yang memengaruhi penarikan atau memiliki dampak signifikan pada misi yang ada di Afghanistan,” kata Juru Bicara Departemen Pertahanan AS John Kirby, Senin.
Dalam laporan pembaruan mingguan tentang penarikan pasukan dan logistik militer AS disebutkan, Pentagon telah menarik 2-6 persen pasukan dan peralatan tempurnya dari Afghanistan. Angka ini setara dengan pesawat kargo yang sejauh ini telah dipindahkan dari Afghanistan.
Komando Pusat AS mengatakan, 1.300 peralatan telah dikirim untuk dihancurkan dan satu fasilitas militer di Provinsi Helmand diserahkan kepada militer Afghanistan. (AP/AFP)