Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut Israel mengancam akan menangkap Ketua Komisi Pemilihan Umum Palestina Hanna Nasser jika pemungutan suara tetap digelar di Jerusalem Timur. Kubu Hamas menolak penundaan pemilu.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
RAMALLAH, JUMAT — Setelah 15 tahun menanti, pemilih Palestina bersiap pada kemungkinan penundaan pemilu lagi. Kali ini, selain persaingan faksi politik di lingkup internal Palestina, diajukan alasan penolakan Israel untuk menggelar pemungutan suara di Jerusalem Timur.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan penundaan pemilu parlemen, Kamis (29/4/2021), di Ramallah. ”Kami tidak akan (menggelar) pemilu tanpa (pemungutan suara) di Jerusalem yang diduduki. Saya mau pemilu di Jerusalem dan Tepi Barat,” ujarnya.
Pemilu parlemen Palestina dijadwalkan pada 22 Mei mendatang, sedangkan pemilu presiden pada 31 Juli. Pemilu kali ini untuk memilih 132 anggota parlemen. Palestina menggelar pemilu terakhir kali pada 2006. Selepas itu, tidak ada lagi pemilu karena berbagai alasan. Belum diketahui secara jelas, apakah pemilu presiden juga ikut ditunda akibat penundaan pemilu parlemen tersebut.
”Menghadapi situasi yang sulit ini, kami memutuskan menunda pemilu legislatif sampai kami mendapat jaminan partisipasi warga Jerusalem dalam pemilu ini. Tidak ada kompromi soal Jerusalem, tidak pula ada kompromi soal hak warga kami di Jerusalem untuk menjalankan hak demokrasi mereka,” demikian pernyataan yang dibacakan Abbas, seperti dikutip kantor berita Wafa.
Wilayah Palestina, yakni Gaza dan Tepi Barat, dikuasai secara terpisah oleh Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat. Sejumlah pihak menyebut, Hamas menggalang massa lebih baik dibandingkan Fatah.
Abbas mengatakan, Israel akan menangkap Ketua Komisi Pemilihan Umum Palestina Hanna Nasser jika pemungutan suara digelar di Jerusalem Timur. Ia juga mengatakan sudah berkomunikasi dengan otoritas Israel soal kampanye dan pemungutan suara di Jerusalem Timur. Walakin, menurut Abbas, otoritas Israel tidak bisa menjawab karena secara faktual tidak ada yang bisa membuat keputusan itu.
Sejak November 2018, Israel tidak punya pemerintahan definitif. Benjamin Netanyahu kini berstatus penjabat perdana menteri karena gagal mendapat dukungan mayoritas di parlemen selepas empat pemilu beruntun sejak April 2019.
Isu Jerusalem
Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan bahwa pemilu adalah urusan internal Palestina dan tidak berniat mencampuri. Akan tetapi, Kemenlu Israel menolak berkomentar soal pemungutan suara di Jerusalem Timur.
Israel bersikukuh seluruh Jerusalem adalah ibu kotanya. Sementara mayoritas komunitas internasional mendukung pembagian Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan Palestina.
Kini, hanya Amerika Serikat, Guatemala, Hongaria, dan Kosovo yang mempunyai kedutaan besar di Jerusalem. Adapun Ceko membuka cabang kedutaan besar, bukan konsulat, di Jerusalem. Kedutaan besar Ceko tetap di Tel Aviv, seperti juga banyak negara lain yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pada pemilu 2006, mayoritas pemilih memberi suara di luar Jerusalem. Hanya sebagian pemilih memberi suara melalui kantor pos di Jerusalem.
Penolakan Hamas
Salah seorang tokoh Hamas, Jamal al-Tawil, menolak upaya apa pun untuk menunda pemilu. ”Keputusan itu sangat serius. Keputusan menolak dan menghambat kepentingan terbesar Palestina,” ujarnya seraya menekankan, pemungutan suara di Jerusalem dapat dilakukan tanpa harus berhubungan dengan Israel.
Hamas menyebut penundaan sama saja wujud ketertundukan pada veto Israel. Penundaan juga bisa memicu perpecahan lebih lanjut.
Sejumlah pemuda Palestina juga mendesak pemilu tidak ditunda. ”Kami tidak pernah tahu makna pemilu. Generasi ini berhak memilih pemimpin,” ujar salah seorang pengunjuk rasa di Ramallah, Tariq Khudairi.
Pemilu Palestina terutama akan menjadi persaingan Hamas-Fatah dan faksi-faksi internal Fatah. Di Fatah, antara lain, ada faksi Abbas, Nasser al-Kidwa, Mohammed Dahlan.
Kidwa merupakan keponakan mendiang Yasser Arafat, pemimpin PLO. Kidwa disokong Marwan Barghouti, tokoh perlawanan Palestina yang kini dipenjara Israel. Adapun Dahlan pernah menjadi pemimpin unit keamanan Fatah. Dahlan menjadi tokoh kunci dalam vaksinasi Covid-19 di Palestina. (AFP/REUTERS)