Angin segar demokrasi berembus di langit Palestina, menyusul kesepakatan mekanisme penyelenggaraan pemilu oleh faksi-faksi politik Palestina dalam pertemuan yang berakhir pada Selasa (9/2/2021) di Kairo, Mesir.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Angin segar demokrasi berembus di langit Palestina, menyusul kesepakatan mekanisme penyelenggaraan pemilu oleh faksi-faksi politik Palestina dalam pertemuan yang berakhir pada Selasa (9/2/2021) di Kairo, Mesir. Seperti dimaklumi, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas pada pertengahan Januari lalu telah mengumumkan akan menggelar pemilu presiden, parlemen, dan dewan nasional.
Pemilu parlemen Palestina akan digelar 22 Mei 2021, pemilu presiden digelar pada 31 Juli, dan pemilu Dewan Nasional Palestina (PNC) pada 31 Agustus. Hasil kesepakatan faksi-faksi politik Palestina itu cukup menjanjikan akan terlaksananya pemilu Palestina yang demokratis. Pada gilirannya juga akan membantu terciptanya situasi politik, sosial, dan keamanan yang lebih baik di internal Palestina dan dunia Arab.
Di antara kesepakatan yang dicapai adalah bahwa mereka berkomitmen dengan jadwal waktu penyelenggaraan pemilu yang diumumkan Presiden Abbas. Faksi-faksi politik Palestina juga sepakat menjamin bagi terciptanya kebebasan dalam melakukan kampanye politik, pertemuan politik, serta penyebaran baliho dan spanduk kampanye politik.
Mereka menjamin pula bagi netralitas aparat keamanan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta tidak ikut campur atau memihak kepada salah satu kandidat atau faksi politik dalam kampanye pemilu.
Pemilu parlemen Palestina terakhir digelar pada Januari 2006 yang dimenangi Hamas. Pemilu presiden Palestina terakhir diselenggarakan pada Januari 2005 yang dimenangi Mahmoud Abbas. Adapun PNC terakhir melakukan pemilihan bagi anggotanya pada 1996.
Pemilu parlemen dan presiden tersebut diakui masyarakat internasional digelar sesuai dengan koridor demokrasi. Maka, dalam catatan sejarah, rakyat Palestina cukup memiliki budaya demokrasi dalam menyelenggarakan pemilu mereka.
Namun, konflik faksi Fatah dan Hamas sejak tahun 2007, yang merupakan dua faksi politik terbesar di Palestina, menyebabkan pemilu presiden dan parlemen Palestina tidak dapat dilaksanakan selama 15 tahun terakhir. Kesepakatan rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah pada September 2020 berujung pada persetujuan penyelenggaraan pemilu presiden, parlemen, dan dewan nasional pada 2021 ini.
Jika pemilu Palestina itu bisa digelar dengan lancar dan memuaskan sesuai dengan koridor demokrasi yang diharapkan, Palestina akan menambah dan memperkuat daftar ekosistem demokrasi di dunia Arab setelah Tunisia. Apabila demokrasi Palestina terwujud, dampaknya tidak hanya mengharumkan citra Palestina, tetapi juga cukup membantu mengangkat citra bangsa Arab yang saat ini sering mendapat stigma bahwa demokrasi tidak cocok dengan budaya Arab.
Bagi rakyat Palestina, terciptanya ekosistem demokrasi di panggung politik tentu sangat membantu tercapainya cita-cita perjuangan mereka, yakni berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967, dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Sebab, terciptanya ekosistem demokrasi di panggung politik Palestina akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat internasional akan kemampuan rakyat Palestina membangun negara modern dan demokratis. Perhatian masyarakat internasional yang beberapa waktu terakhir mengalami penurunan akan kembali pulih.
Hal ini bisa sangat membantu semakin kuatnya dukungan internasional terhadap perjuangan rakyat Palestina serta konsep solusi dua negara, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan secara damai.
Selama ini, konflik Hamas-Fatah sangat menghambat tercapainya cita-cita perjuangan Palestina. Israel sering memanfaatkan konflik itu dengan membangun opini di masyarakat internasional, khususnya dunia Barat, bahwa Palestina tidak layak memiliki negara sendiri.
Kepercayaan masyarakat internasional pun cukup merosot terhadap Palestina akibat konflik Hamas-Fatah itu. Oleh karena itu, rekonsiliasi Hamas-Fatah dan kesepakatan menggelar pemilu Palestina pada 2021 diharapkan menjadi lembaran baru hubungan Palestina dan masyarakat internasional. Pada gilirannya, menjadi daya tawar yang kuat bagi Palestina dalam perundingan damai dengan Israel.
Berembusnya angin demokrasi di Palestina memiliki momentum yang tepat dengan datangnya pemerintahan baru di AS di bawah Presiden Joe Biden. Menteri Luar Negeri AS yang baru, Tony J Blinken, dalam wawancara dengan CNN pada Senin, 8 Februari 2021, menegaskan, mendukung solusi dua negara dalam konflik Israel-Palestina.
Pemerintah Presiden Biden juga memutuskan membuka komunikasi lagi dengan Palestina dan memberi lampu hijau dibukanya kembali kantor PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Washington DC. Biden juga berjanji akan kembali mengucurkan dana kepada UNRWA (lembaga PBB untuk urusan pengungsi Palestina).
Pada era Presiden Donald Trump, hubungan AS-Palestina sangat buruk. Palestina membekukan komunikasi dengan AS sebagai protes atas pengakuan pemerintahan Trump terhadap kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. Trump membalas dengan menutup kantor PLO di Washington DC pada September 2018 dan menghentikan bantuan dana AS kepada UNRWA pada September 2018.
Adapun bagi bangsa Arab, khususnya kubu prodemokrasi, berembusnya angin demokrasi di Palestina bisa dianggap bagian dari tercapainya cita-cita gerakan musim semi Arab yang memimpikan terwujudnya kebebasan dan demokrasi di dunia Arab. Bergulirnya demokrasi di Palestina bisa membantu menumbuhkan harapan lagi bahwa budaya demokrasi masih bisa dibangun di dunia Arab.
Kandasnya gerakan musim semi Arab akibat berlarut-larutnya perang saudara di Suriah, Yaman, dan Libya telah menumbuhkan rasa keputusasaan akan lahirnya keadaaan yang lebih baik di dunia Arab, sesuai dengan cita-cita gerakan musim semi Arab itu.
Aksi unjuk rasa di Irak dan Lebanon yang dianggap gelombang kedua dari gerakan musim semi Arab juga belum menemukan titik terang ke arah tercitanya keadaan yang lebih baik di kedua negara.
Bahkan, Tunisia yang dinobatkan sebagai satu-satunya negara Arab yang berhasil membangun sistem demokrasi sampai saat ini masih dilanda ketidakstabilan politik dan ekonomi. Maka, bisa disebut, jalan masih panjang bagi dunia Arab untuk mencapai cita-cita gerakan musim semi Arab.
Berita baik dari Palestina yang akan menggelar pemilu pada 2021 ini bisa menjadi obat atas kekecewaan publik Arab dalam melihat situasi umum di dunia Arab yang karut-marut saat ini.
Kini, semua pihak, baik internal Palestina, dunia Arab, maupun masyarakat internasional, sangat berkepentingan bagi suksesnya penyelenggaraan pemilu Palestina itu jika mereka ingin membantu segera tercapainya solusi konflik Israel-Palestina.
Harapan semua faksi politik Palestina, dunia Arab, dan masyarakat internasional menghormati hasil pemilu Palestina mendatang, siapa pun yang memenangkan pemilu nanti. Pengakuan atas hasil pemilu ini merupakan langkah awal niat baik menuju proses penguraian problema isu Palestina yang lain.