Kelompok Perlawanan Myanmar Bentuk Pemerintahan Persatuan Nasional
Di tengah kekacauan politik Myanmar, kelompok perlawanan junta militer mendeklarasikan pemerintahan sendiri, sementara kelompok etnis bersenjata juga menuntut federalisme.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NAYPYIDAW, JUMAT — Kelompok perlawanan terhadap junta militer Myanmar mengumumkan Pemerintahan Persatuan Nasional yang termasuk di dalamnya anggota parlemen, pemimpin gerakan antikudeta militer, dan kelompok etnis minoritas, Jumat (16/4/2021). Tujuan mereka adalah mengakhiri kekuasaan militer dan memulihkan demokrasi.
Sejak kudeta militer 1 Februari 2021 yang menggulingkan pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi, Myanmar berada dalam kekacauan. Menyusul kudeta, warga turun ke jalan-jalan menuntut pemulihan demokrasi dan menentang tindakan kekerasan aparat terhadap para pengunjuk rasa yang menewaskan lebih dari 700 orang.
Pada saat yang sama, para pemimpin politik, termasuk anggota parlemen yang digulingkan dari partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), telah mencoba mengorganisasi diri untuk menunjukkan kepada penduduk dan komunitas internasional bahwa mereka yang memegang otoritas politik yang sah, bukan para jenderal yang melakukan kudeta.
”Mari sambut pemerintahan rakyat,” kata aktivis demokrasi veteran Min Ko Naing dalam videonya yang berdurasi 10 menit saat mengumumkan pembentukan pemerintahan tersebut.
Sambil menetapkan beberapa posisi, Min Ko Naing mengatakan, kehendak rakyat adalah prioritas pemerintahan persatuan ini. ”Kami mencoba mengeluarkannya dari akarnya jadi kami harus berkorban banyak,” ujarnya merujuk kepada junta militer.
Pihak junta belum memberikan tanggapan atas langkah kelompok perlawanan tersebut.
Para jenderal sendiri membenarkan tindakan kudeta militernya dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilu November lalu yang dimenangi oleh partai Suu Kyi. Komisi Pemilu telah menolak argumen tersebut.
Satu tujuan utama Pemerintahan Persatuan Nasional adalah meraih dukungan dan pengakuan internasional. Menteri Kerja Sama Internasional pemerintahan ini, Sasa, mengatakan, Amerika Serikat dan Inggris telah mengakui pemimpin oposisi Venezuela, Juan Guaido, sebagai pemimpin sah negara itu.
”Kami adalah para pemimpin Myanmar yang terpilih secara demokratis,” kata Sasa. ”Jadi, apabila dunia yang bebas dan demokratis menolak kami, itu sama saja dengan menolak demokrasi.”
Peluang
Pada saat yang sama, kudeta militer juga telah membuka jendela peluang tak terduga bagi berbagai kelompok etnis pemberontak yang tidak memiliki loyalitas, baik terhadap junta maupun Aung San Suu Kyi. Bahkan, bagi mereka, pemerintahan Aung San Suu Kyi lebih merupakan musuh daripada teman.
Meski semua kelompok etnis memiliki tuntutannya sendiri, semuanya menghendaki federalisme yang memungkinkan mereka untuk memerintah sendiri. Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pernah menawari itu kepada mereka sebagai imbalan dukungan dalam pemilu.
”Etnis Bamar mayoritas telah disodori janji itu dari waktu ke waktu, tanpa terealisasi,” kata Khu Oo Reh dari Partai Progresif Karenni Nasional (KNPP). ”Itu hanya janji-janji.”
Meski tidak percaya terhadap NLD, sejumlah kelompok etnis juga mengecam tindakan kekerasan, termasuk membunuh lebih dari 700 warga sipil, untuk meredakan gerakan perlawanan kudeta. Setidaknya ada tiga kelompok etnis di wilayah timur Myanmar, termasuk KNPP, yang memberikan perlindungan kepada kelompok antijunta.
Sejarawan penulis buku The Hidden History of Burma”, Thant Myint-U, mengatakan, momen saat ini bisa menjadi kesempatan bagi kelompok-kelompok etnis untuk menuntut federalisme.
”Tindakan mereka dalam beberapa bulan ke depan kemungkinan bisa berdampak besar dalam situasi yang bisa sangat berubah-ubah yang ada saat ini,” tutur Myint-U. ”Tujuh hingga delapan kelompok etnis bersenjata paling kuat kini memegang kendali atas masa depan Myanmar dibandingkan sebelum kemerdekaan.”
Sasa menuturkan, selain mengakhiri kekerasan dan memulihkan demokrasi, Pemerintahan Persatuan Nasional juga bertujuan membentuk ”persatuan demokratis federal.” Sementara militer, sambil mengumbar gagasan federalisme, telah melihat dirinya sebagai kekuatan inti yang menyatukan negara. (REUTERS/AFP)