Myanmar di Ambang Perang Saudara
Situasi politik Myanmar yang memburuk membangun api dalam sekam. Jika gagal dikelola, potensi perang saudara menjadi ancaman serius.
Seiring makin besarnya tekanan internasional, Tatmadaw justru kian brutal menghabisi demonstran prodemokrasi di seluruh penjuru Myanmar. Di tengah situasi yang memburuk, milisi-milisi dari golongan minoritas yang juga antipemerintah melihat celah untuk meraih simpati massa. Tak ayal, api dalam sekam di Myanmar bisa tereskalasi menjadi bara perang saudara dalam waktu yang singkat.
Cara militer Myanmar menekan demonstrasi memang sangat mengerikan. Hingga saat ini, lebih dari 550 orang meninggal dan ribuan lainnya terluka atau ditahan oleh Tatmadaw. Bahkan, pada puncaknya, para tentara membunuh lebih dari 100 masyarakat sipil dalam sehari, tak terkecuali anak-anak berusia 5 tahun.
Sampai saat ini, kelanjutan krisis ini pun masih tak jelas. Di satu sisi, tekanan dari PBB dan puluhan negara tak membuat pihak militer Myanmar gentar. Di sisi lain, makin berjatuhannya korban jiwa di pihak sipil malah justru semakin membakar semangat mereka untuk menentang diktator. Dengan situasi seperti saat ini, tampak kemungkinan konflik mereda jauh lebih kecil dibandingkan dengan eskalasinya.
Ke depannya, tak ada yang tahu pasti bagaimana konflik akan berkembang. Namun, semua pihak pasti setuju, tidak ada yang menginginkan perang saudara. Sayangnya, kemungkinan menjadi salah satu yang paling kuat akan terjadi.
Golongan Minoritas
Meski tergolong negara kecil, Myanmar memang menjadi salah satu negara dengan kelompok etnis yang sangat beragam. Dengan total penduduk sekitar 54 juta, terdapat belasan etnis di negara ini. Tak ayal, meski disebut etnis minoritas, belasan etnis tersebut jika dijumlah setara dengan 40 persen dari total penduduk Myanmar.
Masalahnya, sepanjang sejarah, militer jarang berdamai dengan kelompok minoritas. Pemerintah, yang selama puluhan tahun dicengkeram oleh militer, juga sama-sama kerap merundungi kelompok-kelompok tersebut. Bahkan, gesekan dengan golongan minoritas pun masih menjadi salah satu isu utama di Myanmar pada masa pemerintahan quasi demokrasi Aung San Suu Kyi.
Baca juga: Solusi Alternatif Dunia untuk Myanmar
Hasilnya, terjadilah perang-perang kecil di beberapa bagian negara Myanmar. Semenjak tahun 1940-an, pertempuran-pertempuran ini terus terjadi, menyebabkan ratusan korban jiwa di pihak militer ataupun dari pihak kelompok bersenjata tiap tahunnya.
Saat ini, meski sebagian besar dari kelompok bersenjata telah menandatangani perjanjian gencatan senjata, masih ada sembilan kelompok yang masih aktif ”berperang” dengan militer Myanmar.
Jika dilihat, kesembilan kelompok paramiliter ini hampir semuanya berada di wilayah perbatasan di sebelah utara dan barat. Hanya satu organisasi saja, yakni Arakan Army (AA), yang beroperasi di Provinsi Kayin yang berada di timur Myanmar, berbatasan dengan Thailand.
Pusat operasi para milisi ini memang kebanyakan berlokasi di mana mayoritas etnis yang menjadi payung organisasi mereka berada. Selain itu, operasi di wilayah perbatasan juga memudahkan mereka untuk mencari dana dengan melakukan penyelundupan barang (seperti narkoba, senjata, dan barang terlarang lainnya) dan berjejaring dengan kelompok bersenjata yang berbasis di negara lain.
Dari kesembilan organisasi ini, Kachin Independence Army (KIA) dan Arakan Army (AA) menjadi yang terkuat dari segi jumlah personel. KIA yang beroperasi di Provinsi Kachin memiliki sekitar 8.000 pasukan dan AA yang beroperasi di Rakhine dan Kayin berprajurit di kisaran angka 7.000 pasukan.
Tidak hanya memiliki banyak personel, kedua organisasi ini pun memiliki persenjataan yang cukup mumpuni, seperti senapan serbu seri AK, senapan sniper, peluncur roket, hingga roket dengan kontrol jarak jauh.
Akan tetapi, dari segi persenjataan, Kuki National Army (KNA) dan Ta’ang National Liberation Army (TNLA) cenderung lebih kuat. KNA, dengan personel ditaksir berada di kisaran 600 personel, memiliki persenjataan senapan serbu lengkap dari Seri M, Seri AK, hingga Seri G. Bahkan, mereka pun memiliki mortar yang memiliki daya rusak besar dan jangkauan luas.
Jika bencana ini gagal dicegah, hampir dapat dipastikan akan terjadi eksodus besar-besaran dari Myanmar ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Sementara TNLA dengan pasukan sebanyak 3.500 orang memiliki persenjataan yang lebih mutakhir. Selain senapan serbu, milisi ini juga memiliki senapan mesin yang mampu memuntahkan ratusan peluru dalam semenit. Tak hanya itu, mereka juga memiliki FN6, senjata misil yang mampu menjatuhkan pesawat.
Melihat besarnya jumlah pasukan, persenjataan yang cukup mutakhir, serta bantuan dari donator dan kelompok bersenjata lain, tak mengherankan apabila militer Myanmar kesusahan. Sampai saat ini, Tatmadaw masih belum mampu mengalahkan para milisi ini sampai tuntas. Bahkan, pasca-Tatmadaw naik takhta, serangan paramiliter justru semakin subur.
Perang saudara
Narasi eskalasi krisis Myanmar menuju perang saudara diangkat salah satunya oleh Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener. Dalam sidang DK PBB, ia telah menyerukan kepada DK PBB untuk mengambil segala langkah yang diperlukan untuk mencegah perkembangan situasi di Myanmar menjadi perang saudara besar-besaran. Bahkan, jika tak dicegah, Myanmar berpotensi menjadi negara gagal (failed state), seperti Suriah atau Somalia.
Klaim urgensi Burgener tak mengada-ngada. Pada 12 Maret lalu, KIA melancarkan serangan ke fajar ke pos militer Myanmar di Desa Selzin, Kota Hpakant, Kachin.
Tak hanya itu, di akhir Maret, Karen National Liberation Army (KNLA) juga melancarkan serangan dan menduduki basis militer di bagian timur Provinsi Karen yang menewaskan 10 prajurit Tatmadaw. Aksi ini pun dibalas dengan hujan serangan udara ke KNLA.
Tak lama setelah dua serangan ini, 10 kelompok bersenjata pun buka suara. Kesepuluh kelompok yang sebelumnya telah menandatangani pakta gencatan senjata dengan Pemerintah Myanmar menyatakan akan meninjau ulang kesepakatan tersebut.
Selain karena demonstrasi menyediakan momentum bagi mereka, di mana mereka secara gamblang menyatakan bahwa mereka mendukung gerakan sipil prodemokrasi, mereka juga merasa tak memiliki ikatan dengan pemerintah saat ini mengingat perjanjian gencatan senjata itu dibuat dengan pemerintahan sah yang dipimpin Partai Aung San Suu Kyi.
Maka, dapat disimpulkan bahwa naiknya Tatmadaw dengan kekerasan ini secara otomatis memukul mundur upaya integrasi dan mendorong Myanmar ke jurang disintegrasi dan perang saudara. Bila perang saudara benar-benar terjadi, Myanmar akan terjerembab ke palung krisis kemanusiaan.
Jika saat ini, ketika ”lawan” negara adalah gerakan demonstran sipil prodemokrasi saja tentara bisa bertindak semena-mena, sudah barang tentu pasukan Myanmar tak akan segan menghabisi mereka yang dilabel pemberontak.
Dengan kata lain, munculnya variabel milisi kelompok minoritas ke krisis demokrasi akan memberikan justifikasi tambahan bagi Tatmadaw untuk semakin menggunakan kekerasan.
Dengan begitu, mereka bisa saja berdalih ke dunia internasional bahwa golongan sipil prodemokrasi merupakan bagian dari kelompok bersenjata sehingga sah-sah saja untuk diberangus.
Maka, jika saat ini mereka ”masih” menggunakan peluru aktif, jangan heran apabila militer mulai menggunakan serangan udara dan senjata strategis ketika konflik terseskalasi. Bila ini yang terjadi, korban meninggal akan jauh dari angka ratusan. Bukan mustahil apabila angka tersebut berada di kisaran ribuan hingga puluhan ribu.
Bagi ASEAN, dan khususnya Indonesia, eskalasi konflik di Myanmar merupakan ancaman yang serius. Jika bencana ini gagal dicegah, hampir dapat dipastikan akan terjadi eksodus besar-besaran dari Myanmar ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini dapat terlihat dari peristiwa pembantaian etnis Rohingya yang menyebabkan setidaknya 300.000 orang mengungsi ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, beberapa tahun terakhir.
Hingga 2020 terdapat sekitar 400 pengungsi dari Myanmar akibat pembantaian Rohingya. Jika konflik di Myanmar meledak, bukan tidak mungkin angka tersebut meroket di angka ribuan hingga puluhan ribu. (LITBANG KOMPAS)