Isu pasokan air dari Sungai Nil menjadi materi yang memanaskan relasi Mesir, Sudan, dan Ethiopia. Bahkan, isu air tersebut berpotensi memicu perang.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Gagalnya perundingan segitiga Mesir, Sudan, dan Etiopia soal Bendungan Besar Kebangkitan Etiopia (GERD) di Kinshasa, Kongo, pada 4 dan 5 April lalu, membuka semua kemungkinan, termasuk meletupnya perang Mesir-Sudan melawan Etiopia. Jika sebelumnya isu minyak menjadi alasan meletusnya konflik di Timur Tengah, kini isu pasokan air di Afrika berpotensi memicu ketegangan hingga perang. Mingguan terkemuka Mesir, Al-Ahram Weekly, edisi Kamis (8/4/2021), menurunkan berita utama dengan judul ”GERD: Last Chance Wasted”.
Perundingan Kinshasa soal GERD adalah salah satu dari sekian puluh perundingan soal GERD selama 10 tahun terakhir ini, yakni sejak Etiopia mengumumkan pembangunan GERD pada April 2011.
Namun, semua perundingan soal GERD gagal mencapai kesepakatan.
Dalam perundingan Kinshasa, pihak Etiopia menolak semua usulan kompromi dari Mesir dan Sudan. Etiopia bersikeras akan melakukan proses pengisian air GERD tahap kedua pada bulan Juli ini meskipun belum tercapai kesepakatan apa pun dengan Mesir dan Sudan.
Perbedaan pendapat antara Etiopia dengan Mesir dan Sudan saat ini bertumpu pada mekanisme dan proses pengisian air GERD. Pengisian itu mengancam pengurangan aliran air Sungai Nil ke Mesir dan Sudan.
GERD dibangun dengan daya tampung 74,5 miliar kubik air untuk pembangkit listrik di Etiopia. Daya tampung itu melebihi jatah air Sungai Nil dari Mesir dan Sudan sesuai kesepakatan antara Mesir dan Sudan tahun 1959. Sesuai kesepakatan tahun itu, Mesir mendapat jatah air sebanyak 55 miliar kubik air per tahun dan Sudan 18,5 miliar kubik air per tahun.
Saat ini, 97 persen kebutuhan air minum dan irigasi di Mesir sangat bergantung pada Nil. Mesir dan Sudan bersikeras menolak jika jatahnya berkurang. Kedua negara menegaskan, jatah sebagaimana diatur dalam kesepakatan 1959 itu sesungguhnya sudah tidak memadai lagi karena ledakan penduduk di kedua negara itu. Penduduk Mesir kini mencapai 101 juta jiwa dan Sudan 44 juta jiwa. Pasokan akan makin berkurang jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan GERD.
Menurut Mesir dan Sudan, jika GERD beroperasi tanpa hukum yang mengikat, di masa mendatang bisa menjadi alat politik Etiopia untuk mendikte Mesir dan Sudan, baik secara politik, ekonomi, maupun keamanan. Etiopia bisa seenaknya mengendalikan aliran Sungai Nil lewat GERD.
Karena itu, Mesir dan Sudan menginginkan ada kesepakatan internasional atas GERD, seperti halnya kesepakatan The Montreux atas Selat Bosphorus di Turki (1936). Kesepakatan itu terkait selat yang menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara, sebagai selat internasional. Turki tidak berhak menutup atau mencegah pelayaran di selat itu.
Mesir dan Sudan menghendaki Sungai Nil seperti Selat Bosphorus, yakni perairan internasional yang tidak boleh ada satu negara mana pun yang memonopolinya. Inilah yang membuat Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi, Rabu lalu, menegaskan, semua opsi terbuka untuk mencegah terganggunya hak Mesir atas air Sungai Nil. Sisi menegaskan, air Sungai Nil adalah garis merah, dan gangguan pada hak Mesir atas air Sungai Nil mengancam stabilitas kawasan.