Sungai Nil, Mesir, dan Isu Geopolitik Afrika
Situasi menjadi semakin rumit menyusul diberitakan Mesir mengirim pesawat tempur dan pasukan khusus ke Sudan.
Sungai Nil yang melewati 11 negara Afrika lebih banyak menguntungkan Mesir. Kini, para pihak yang berkepentingan memanfaatkan sungai itu mulai bersitegang sehingga jadi isu geopolitik yang panas.
Pada Sabtu siang, 21 November 2020, Kompas sengaja datang ke Kubri al-Jamiah atau Jembatan Universitas yang terkenal memiliki pemandangan terbaik untuk melihat Sungai Nil dan Kairo, ibu kota Mesir. Dinamakan Jembatan Universitas karena menjadi akses langsung ke Universitas Kairo yang legendaris.
Dari atas jembatan itu, tampak dua pemandangan menakjubkan, yaitu kompleks Universitas Kairo dengan simbol kubah besar di halaman depan kompleks itu dan Sungai Nil dengan latar belakang hotel-hotel bintang lima, seperti Sheraton, Semiramis Intercontinental, Four Seasons, dan Ritz-Carlton.
Sepanjang hari biasanya banyak warga Kairo atau turis asing sengaja datang ke Kubri al-Jamiah hanya sekadar mengambil foto-foto dengan latar belakang Sungai Nil atau kompleks Universitas Kairo.
Kalau berdiri di atas Kubri al-Jamiah dan melihat pemandangan Sungai Nil, segera bisa menyadari betapa sungai itu adalah segala-galanya bagi Mesir.
Baca juga: Napas Kota Kairo Bertumpu pada Denyut Nadi Sungai Nil
Sungai Nil memberikan keindahan, romantisisme, dan kehidupan. Pada waktu pagi, sore, dan malam hari, banyak muda-mudi duduk-duduk atau berjalan kaki di sepanjang tepi Sungai Nil sekadar menikmati keindahan dan suasana romantis sungai legendaris tersebut.
Berandil besar
Sungai Nil pun berandil besar dalam mendatangkan devisa pada industri pariwisata Mesir. Pariwisata adalah salah satu dari empat besar pendatang devisa di Mesir, selain minyak, Terusan Suez, dan transmisi gaji warga Mesir di luar negeri.
Pada periode 2018-2019, industri pariwisata Mesir berhasil meraup devisa 12,57 miliar dollar AS atau sekitar Rp 176,9 triliun. Menurut laporan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), turis asing yang mengunjungi Mesir pada 2019 mencapai 13,6 juta wisatawan.
Obyek wisata andalan Mesir yang menarik wisatawan mancanegara adalah peninggalan peradaban kuno yang sebagian besar berada di sepanjang tepi Sungai Nil.
Museum Nasional Mesir yang menyimpan banyak peninggalan mumi berusia ribuan tahun berada di Lapangan Tahrir, pusat kota Kairo yang berada di tepi Sungai Nil.
Kota Luxor (sekitar 504 kilometer arah selatan kota Kairo) yang merupakan ibu kota Mesir pada era Dinasti Ramses (1292-1290 SM) dan banyak terdapat peninggalan kuil berusia ribuan tahun, berada di tepi Sungai Nil. Jutaan turis asing mengunjungi Museum Nasional Mesir dan kota Luxor setiap tahun.
Baca juga: Mesir, dari Era Piramida hingga Pencakar Langit
Lebih dari itu, 85 persen lebih kebutuhan air di Mesir, baik untuk tenaga pembangkit listrik, irigasi, maupun air minum berasal dari Sungai Nil. Maka, ada pemeo terkenal, peradaban Mesir dibangun dari Sungai Nil atau sebaliknya Sungai Nil yang membangun peradaban Mesir.
Sungai Nil memiliki panjang sekitar 6.650 kilometer dan merupakan sungai terpanjang di dunia. Namun, hanya sekitar seperlima panjang sungai itu yang melewati wilayah Mesir.
Sungai Nil melewati 11 negara Afrika, yaitu Kongo, Burundi, Rwanda, Uganda, Sudan Selatan, Kenya, Tanzania, Etiopia, Eritrea, Sudan, dan Mesir.
Sungai Nil mengalir dari tiga karakteristik geografi yang berbeda. Pertama, mengalir dari wilayah ketinggian pegunungan Moon dan Kikizi di Kongo, Rwanda, dan Burundi. Kedua, mengalir dari danau, seperti Edward, Albert, Victoria, dan Danau Kyoga.
Ketiga, bersumber dari pegunungan Etiopia, lalu mengalir melewati sungai-sungai menuju Danau Tana dan kemudian mengalir menjadi Sungai Nil menuju Sudan dan Mesir. Aliran Sungai Nil yang berasal dari pegunungan Etiopia disebut Sungai Nil Biru.
Adapun aliran Sungai Nil dari negara-negara Afrika lain disebut Sungai Nil Putih. Sungai Nil Biru dan Sungai Nil Putih bertemu di Khartoum, ibu kota Sudan. Dua sungai itu menyatu, kemudian mengalir ke Mesir.
Tiga kesepakatan
Terkait pengaturan penggunaan air Sungai Nil, terdapat tiga kesepakatan internasional, yaitu kesepakatan pada 1902, 1929, dan 1959. Semua kesepakatan tersebut cukup menguntungkan Mesir.
Baca juga: Sudan, Mesir, Etiopia Kembali Rundingkan Konflik soal Bendungan Sungai Nil
Dalam kesepakatan tahun 1929, Mesir diberi hak veto memantau penggunaan air Sungai Nil di negara-negara hulu. Dalam perjanjian 1959, Mesir disepakati memiliki jatah air Sungai Nil 55 miliar meter kubik air per tahun.
Ketegangan politik akibat isu Sungai Nil mulai merebak ketika Perdana Menteri Etiopia Meles Zenawi pada 31 Maret 2011 mengumumkan pembangunan bendungan raksasa di Etiopia yang dinamakan Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) dengan biaya sekitar 5 miliar dollar AS atau Rp 70,5 triliun.
Etiopia berdalih, pembangunan GERD sebuah keniscayaan untuk pasokan energi listrik dari pembangkit tenaga air.
Sebelum mengumumkan pembangunan GERD, Etiopia bersama tiga negara sumber air Sungai Nil lainnya, yaitu Uganda, Tanzania, dan Rwanda, pada 14 Mei 2010 di Entebbe, Uganda, menandatangani kesepakatan kerja sama.
Kesepakatan itu menegaskan, meninjau kembali semua kesepakatan tentang Sungai Nil yang dicapai pada masa kolonial dan pentingnya dibuat kesepahaman baru sesuai dengan kebutuhan air Sungai Nil di masa mendatang.
Kenya dan Burundi kemudian bergabung dan mendukung kesepakatan kerja sama baru terkait Sungai Nil itu. Mesir dan Sudan segera menolak pembangunan GERD dan kesepakatan kerja sama di Entebbe itu, yang tanpa melibatkan dua negara Arab tersebut.
Baca juga: Mesir, Sudan, Etiopia Sepakat Berunding Lagi soal Konflik Bendungan Sungai Nil
Mesir dan Sudan menuduh pembangunan GERD dan kesepakatan kerja sama di Entebbe itu dalam upaya Etiopia dan negara Afrika lain ingin mengubah kesepakatan tahun 1959 tentang Sungai Nil.
Menurut kesepakatan tahun 1959, Mesir memiliki jatah 55 miliar meter kubik air Sungai Nil per tahun dan Sudan mendapat jatah 18 miliar meter kubik air Sungai Nil per tahun.
Sedangkan kapasitas GERD mencapai 74 miliar meter kubik air, yakni sama dengan jatah bersama Mesir dan Sudan atas air Sungai Nil. Mesir ataupun Sudan menyebutkan, proses pengisian air GERD yang mencapai 74 miliar meter kubik bisa mengurangi debit air Sungai Nil yang mengalir menuju Mesir dan Sudan. Hal itu akan mengancam kehidupan di dua negara tersebut yang sangat bergantung pada sungai Nil.
Mesir dan Sudan pun menegaskan tetap bersikukuh memegang teguh kesepakatan tahun 1959. Dua negara ini lalu membuka perundingan dengan Etiopia soal pembangunan GERD sejak 2011 sampai saat ini, baik yang digelar secara bilateral maupun melalui mediasi Uni Afrika dan Amerika Serikat (AS), tetapi gagal mencapai kesepakatan kompromi.
Perbedaan pendapat antara Mesir dan Sudan dengan Etiopia diberitakan kini mengerucut pada soal jadwal masa proses pengisian air GERD. Mesir dan Sudan meminta jadwal masa proses pengisian air GERD minimal berlangsung 10 tahun sehingga tak mengganggu aliran Sungai Nil ke Sudan dan Mesir.
Namun, Etiopia meminta masa proses pengisian air GERD antara 6 dan 7 tahun saja supaya GERD bisa cepat beroperasi secara maksimal.
Baca juga: Apakah Dunia Akan Berperang demi Air?
Situasi menjadi semakin rumit menyusul diberitakan Mesir mengirim pesawat tempur dan pasukan khusus ke Sudan. Etiopia juga terlibat perang saudara antara pemerintah pusat dan suku Tigray di Etiopia utara.
Disinyalir, Mesir dan Sudan siap menempuh opsi militer jika perundingan soal GERD mengalami jalan buntu.