Imbauan Tak Dipatuhi, Kasus Covid-19 di Turki Melonjak
Peningkatan kasus Covid-19 di Turki membuat warga cemas dan pemerintah kembali melakukan pengetatan. Banyak pihak berharap warga disiplin menjaga protokol kesehatan dan pemerintah lebih optimal mengendalikan wabah.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
”Tinggal di Rumah Saja”. Imbauan itu terpasang dengan tulisan berhuruf besar dan berwarna merah di dalam bus yang dikendarai Fikret Oluk. Tidak mungkin tidak terbaca oleh penumpang. Tetapi, menurut Oluk, para penumpang mengabaikan imbauan itu. Bahkan, warga Turki kerap mengabaikan keharusan mengenakan masker dan tidak berkerumun. Seperti jumlah penumpang bis yang dibatasi maksimal 69 orang untuk rute dalam kota. Jika sudah mencapai batas itu, Oluk menolak penumpang.
”Tetapi, orang tetap tidak mau dengar. Mereka malah marah-marah dan memojokkan,” kata Oluk, yang sudah menjadi sopir bus selama 10 tahun itu.
Padahal, kasus Covid-19 naik terus bahkan jumlah kasus baru hariannya termasuk tertinggi di Eropa dan Timur Tengah. Akibat kasus yang meningkat, pemerintah memperketat lagi kebijakan pembatasan fisik dan sosial pada pekan lalu.
”Bagaimana kami bisa tenang? Hidup kami bergantung hanya pada masker. Tetapi, orang seperti tidak memikirkan diri mereka sendiri, apalagi memikirkan orang lain,” kata Oluk.
Warga Turki baik yang sudah mendapatkan vaksin Covid-19 maupun yang sedang menunggu giliran takut dan frustrasi dengan jumlah total kasus mencapai 3.798.333 kasus dan kasus baru dalam satu hari saja mencapai 56.000 kasus. Kepala Asosiasi Medis Turki Sebnem Korucu Fincanci mengatakan, kesalahan terbesar pemerintahan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan adalah ketika melonggarkan pembatasan pada Maret lalu ketika jumlah kasus hariannya turun di bawah 10.000 kasus.
”Itu pembunuhan sosial karena pemerintah sudah tahu penyebab kematian, tetapi tidak melakukan langkah antisipasi apa pun,” ujarnya.
Ia juga mendesak agar pemerintah segera menghentikan semua perjalanan antarkota, pabrik, dan transportasi publik. Erdogan dan pemerintahannya dikecam karena bulan lalu mengadakan kongres partai yang dihadiri ribuan orang yang mayoritas tidak mengenakan masker dan tidak menjaga jarak fisik. Partai-partai oposisi dan para pengkritik menuding pemerintah tidak serius menekan penyebaran Covid-19.
Kepala Dokter di Rumah Sakit Khusus Pandemi di Istanbul, Nurettin Yigit, mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah berhasil menangani gelombang pertama pandemi, tetapi tidak beruntung pada gelombang kedua. ”Di saat sudah mulai bisa mengendalikan Covid-19, ada mutasi-mutasi Covid-19 lain yang masuk dari sejumlah negara. Kenaikan kasus baru ini, antara lain, karena orang tetap bepergian meski di dalam negeri,” ujarnya.
Turki menuding varian-varian baru Covid-19 sebagai penyebab kenaikan kasus baru Covid-19. Sekitar 85 persen dari total jumlah kasus yang ada di Turki berasal dari varian baru yang pertama kali diidentifikasi di Inggris. Selain itu, penyebab lain adalah kurangnya komitmen pada kebijakan pembatasan fisik dan sosial serta imbauan mengenakan masker.
Menurut Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca, satu-satunya cara untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 adalah mempercepat vaksinasi. Pemerintah menargetkan seluruh warga usia di atas 20 tahun sudah divaksinasi pada Juli mendatang.
Fincanci menilai target vaksinasi Turki itu tidak realistis dan laporan jumlah kasus dan kematiannya tidak akurat. ”Pemerintah harus realistis dan transparan,” ujarnya.
Turki sejauh ini sudah memiliki 18 juta dosis vaksin Covid-19 dan cukup untuk memvaksin 11 persen dari jumlah penduduknya. Pemerintah Turki menampik kritikan publik mengenai pengelolaan pandemi yang tidak tepat. Pemerintah menegaskan sudah memberlakukan aturan untuk tetap tinggal di rumah pada akhir pekan dan akan meminta semua restoran tidak menerima konsumen mulai Selasa bertepatan dengan bulan puasa Ramadhan.
Meski demikian, banyak kantor masih aktif beroperasi sejak akhir Juni lalu dan banyak warga yang tetap saja keluar rumah dan datang ke kafe dan restoran. Ini membuat warga yang tinggal di rumah saja khawatir. ”Saya belum minum teh di kafe lagi sejak 11 bulan lalu. Saya tidak pernah meninggalkan rumah,” kata Mehmet Tut (62) saat sedang antre vaksinasi.
Tut juga berkomitmen akan tetap berada di rumah sampai vaksinasi kedua meski orang lain tidak melakukan hal yang sama. ”Jangan berharap dan bergantung pada pemerintah. Kita harus menjaga diri sendiri. Kalau kita berhati-hati dan menjaga diri, tidak akan sakit,” kata Tut. (AFP)