Hasil pemilu dini parlemen Israel menunjukkan semakin kuatnya tren populisme di negara itu. Tren itu memperberat upaya rakyat Palestina mewujudkan cita-cita berdirinya negara Palestina.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·6 menit baca
Hasil pemilu dini parlemen Israel (Knesset) ke-24, Selasa (23/3/2021), menunjukkan semakin kuatnya tren populisme di negara itu. Tren tersebut tentu membuat semakin berat perjuangan rakyat Palestina dalam upaya meraih cita-citanya, yakni berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Hasil pemilu Knesset Israel menunjukkan kubu kanan, ultra kanan, dan agama meraih mayoritas suara atau kursi, yaitu 72 kursi. Partai kanan Likud meraih 30 kursi, partai kanan Yisrael Beiteinu 7 kursi, partai kanan New Hope 6 kursi, partai kanan Yamina 7 kursi, partai ultra kanan UTJ (United Torah Judaism) 7 kursi, partai ultra kanan Religious Zionism 6 kursi, dan partai agama Shas 9 kursi.
Jika partai kanan, ultra kanan, dan agama kompak bersatu, dengan mudah membentuk pemerintahan kuat dan dengan mudah pula meloloskan semua agenda mereka. Suatu hal yang cukup mengejutkan adalah lolosnya partai ultra kanan Religious Zionism masuk Knesset dengan meraih 6 kursi.
Religious Zionism mengadopsi ideologi gerakan radikal Yahudi, Kach, yang bertekad mengusir seluruh warga Arab dari wilayah Israel sekarang, Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Pemimpin Religious Zionism, Bezalel Smotrich, dikenal sangat mengagumi pemimpin gerakan radikal Kach, Meir Kahane, yang seorang rabi Yahudi ekstremis. Kahane tewas di New York, Amerika Serikat, pada tahun 1990.
Ekstremis Yahudi, Baruch Goldstein, yang membantai 29 warga Palestina di Hebron, Tepi Barat, tahun 1994 terinspirasi ideologi Meir Kahane. Bahkan, Goldstein disebut pengikut gerakan radikal Kach. Maka bisa disebut, Partai Religious Zionism adalah duplikat gerakan radikal Kach yang berhasil masuk pentas politik Israel dan kini memiliki kursi di Knesset.
Selain Partai Religious Zionism, masih banyak partai ultra kanan dan agama yang anti-Arab, anti-negara Palestina, dan sangat rasialis terhadap warga Arab Palestina, yaitu UTJ, Yamina, dan partai agama Shas.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu selama ini merasa nyaman berkoalisi dengan UTJ, Yamina, dan Shas. Bahkan, dalam pentas politik Israel, UTJ, Shas, dan Yamina dikenal pendukung setia PM Netanyahu.
Netanyahu pun sering memanfaatkan narasi agama dan radikal zionis dari mitra koalisinya itu, untuk bersikap keras dan tanpa kompromi dalam menghadapi isu Palestina. Ini yang cukup aneh bagi negara Israel yang sangat maju dalam semua aspek kehidupan, tetapi dalam ranah politik cenderung konservatif dan bahkan radikal.
Partai-partai ultra kanan dan radikalis serta partai agama sangat mendapat tempat yang mapan dan terus berkembang di pentas politik Israel. Partai-partai radikalis dan agama di Israel itu yang menggerakkan narasi populisme di Israel. Dengan kata lain, populisme sangat berkembang berkat partai-partai ultra kanan dan agama. Populisme di Israel adalah suara yang menggaungkan narasi Arabfobia.
PM Netanyahu sebagai politikus ulung yang sangat berpengalaman dengan cerdik dan cepat membaca tren rakyat Israel yang cenderung semakin ke kanan. Hal itu ditunjukkan oleh perolehan suara partai-partai kanan dan ultra kanan yang cukup signifikan pada setiap pemilu.
Sebaliknya, perolehan suara partai-partai beraliran kiri terus anjlok, seperti partai kiri Buruh dan Meretz. Inilah yang mendorong PM Netanyahu terus bersikap keras terkait isu Palestina dalam upaya meraih simpati rakyat Israel yang tren aspirasi ideologinya semakin ke kanan.
Manuver PM Netanyahu itu cukup berhasil dengan ditunjukkan oleh perolehan Partai Likud yang stabil pada kisaran 30 kursi pada setiap pemilu. Dalam waktu yang sama, perolehan partai-partai nasionalis zionis yang lain, baik yang beraliran kanan, tengah, dan kiri, sering mengalami kemerosotan.
Kini, kemungkinan besar atau bisa dipastikan, partai ultra radikal Religious Zionism akan bergabung pula dalam koalisi PM Netanyahu jika pemerintah koalisi baru berhasil dibentuk oleh Netanyahu. Maka, semakin kuat barisan partai-partai anti-Arab dan anti-negara Palestina dalam pemerintahan koalisi PM Netanyahu nanti.
Kehadiran Partai Religious Zionism dalam pentas politik di Israel saat ini tak pelak lagi semakin memperkuat narasi populisme di Israel yang notabene adalah Arabfobia. Fenomena populisme atau Arabfobia tentu menjadi tantangan terbesar bagi Palestina, bangsa Arab, dan masyarakat internasional.
Tren semakin kuatnya populisme di Israel itu bertolak belakang dengan tren pentas internasional yang bertekad mewujudkan two state solution (solusi dua negara) dalam konflik Israel-Palestina.
Tren di pentas internasional itu justru menuju ke arah peluang baru bagi solusi Palestina. Hal itu ditunjukkan, pertama, kemenangan kandidat Partai Demokrat, Joe Biden, dalam pemilu presiden AS pada 3 November 2020. Presiden Biden pada masa kampanye pemilu telah menyampaikan dukungannya atas solusi dua negara dan kenginannya menghidupkan lagi perundingan damai Israel-Palestina.
Kedua, gerakan forum Muenchen dalam upaya menghidupkan kembali perundingan damai Israel-Palestina. Forum Muenchen yang beranggotakan dua negara Arab penting, yakni Mesir dan Jordania, serta dua negara Eropa utama, yaitu Perancis dan Jerman, dibentuk di Muenchen, Jerman, pada Februari 2020.
Forum Muenchen telah bebrapa kali mengadakan pertemuan tingkat menteri luar negeri, yaitu di Paris pada 11 Maret 2021, di Kairo pada 11 Januari 2021, di Amman pada September 2020, dan di Muenchen pada Februari 2020.
Ketiga, lahirnya Abraham Accord (Kesepakatan Ibrahim), yakni gerakan sejumlah negara Arab yang memilih membuka hubungan resmi dengan Israel tanpa harus menunggu selesainya isu Palestina. Dimulai dari Uni Emirat Arab yang membuka hubungan resmi dengan Israel pada Agustus 2020, disusul Bahrain-Israel pada September 2020, Sudan-Israel pada Oktober 2020, dan Maroko-Israel pada Desember 2020.
Meskipun dikritik oleh Palestina, negara-negara Arab yang terlibat dalam Abraham Accord masih menyampaikan komitmennya untuk terus membantu perjuangan rakyat Palestina.
Keempat, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas pada pertengahan Januari lalu telah mengumumkan akan menggelar pemilu presiden, parlemen, dan dewan nasional. Pemilu parlemen Palestina akan digelar pada 22 Mei 2021, pemilu presiden Palestina pada 31 Juli 2021, dan pemilu Dewan Nasional Palestina (PNC) pada 31 Agustus 2021.
Jika Palestina berhasil melaksanakan pemilu demokratis dan melahirkan pemimpin baru yang terpilih secara demokratis, tentu akan memperkuat legitimasi Palestina dan dayar tawar di mata masyarakat internasional. Hal itu bisa membantu rakyat Palestina meraih cita-citanya karena masyarakat intrenasional semakin percaya bahwa rakyat Palestina mampu membangun dan mengendalikan negara.
Tren pentas internasional kelima, kuartet AS, Rusia, Uni Eropa, dan PBB telah kembali menggelar pertemuan pada hari Selasa (23/3/2021), di New York, dalam upaya menghidupkan kembali perundingan Israel-Palestina atas dasar solusi dua negara. Keenam, China seperti dilansir stasiun televisi Al Arabiya yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu (24/3/2021), dengan mengutip Menteri Luar Negeri China Wang Yi, berencana mengundang Israel dan Palestina untuk menggelar perundingan di China.
Kini yang ditunggu upaya internasional tersebut mampu menembus dinding kokoh populisme Israel. Rasa optimistis masih ada jika upaya internasional tersebut tidak sekadar retorika, tetapi disertai ancaman nyata bahwa masyarakat internasional kompak akan mengenakan sanksi kepada Israel jika menolak memberi konsesi yang memadai kepada Palestina demi tercapainya kesepakatan solusi yang diterima oleh kedua pihak.