Hong Kong Percaya Diri Jadi Pusat Penghubung Investasi di Asia
Pemerintah Hong Kong percaya diri Hong Kong tetap akan menjadi pintu gerbang dan penghubung investasi di Asia. Industri teknologi yang dipadupadankan dengan sektor lain menjadi kesempatan bagi penguatan posisi Hong Kong.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Hong Kong bertekad mempertahankan dan bahkan memperkuat posisinya sebagai pusat pintu penghubung investasi di Asia bagi investor global. Hong Kong juga percaya diri tetap menjadi pintu gerbang investor-investor China untuk berinvestasi di negara-negara lain di Asia yang diproyeksikan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru di masa depan.
Hal itu terungkap dalam webinar bertajuk Resilience in the Post-COVID Era: Indonesian Enterprises to Leverage on Hong Kong Leading Financial Infrastructure yang digelar Rabu (24/3/2021). Kegiatan tersebut diselenggarakan Kantor Perdagangan dan Ekonomi Hong Kong. Acara virtual itu menghadirkan tiga pembicara utama, yakni Menteri Keuangan dan Perbendaharaan Hong Kong Christopher Hui, sebagai pembicara kunci; CEO dan General Manager HSBC Hong Kong Diana Cesar; serta pendiri sekaligus CEO WeLab Simon Loong.
Hui menyatakan, sejumlah pelajaran dapat dipetik Hong Kong secara khusus dengan pandemi Covid-19 selama satu tahun terakhir. Sebagai salah satu pusat industri keuangan global, Hong Kong terdampak langsung oleh pandemi. Namun, seiring upaya-upaya pengendalian oleh Hong Kong dan China, kesempatan-kesempatan atas pertumbuhan ekonomi kembali terbuka. ”Pemulihan dilakukan serta berlanjut dengan aneka upaya dan tawaran oleh Hong Kong. Kami tetap menjadi pintu gerbang dan penghubung investasi di Asia,” kata Hui.
Hui menegaskan, posisi pintu gerbang dan penghubung itu diraih Hong Kong dari dua sisi. Sisi pertama, menjadi jalan bagi pengembangan investasi dari investor di China di Asia. Kedua, melanjutkan posisi sebagai penghubung para investor global yang akan masuk dan berinvestasi ke pasar Asia.
Pasar Asia, khususnya Asia Tenggara, secara luas menjadi pasar berbasis konsumer dan beranjak seiring dengan investasi berbasis teknologi. Selain teknologi, Hong Kong juga dinilai cocok untuk pengembangan industri asuransi sebagai bagian dari diversifikasi usaha. ”Posisi China diharapkan memperkuat akselerasi industri-industri teknologi. Ekosistem di Hong Kong diharapkan mendukung semua itu lewat lembaga-lembaga keuangannya yang tumbuh dengan baik,” kata Hui.
Sisi pertama, menjadi jalan bagi pengembangan investasi dari investor di China di Asia. Kedua, melanjutkan posisi sebagai penghubung para investor global yang akan masuk dan berinvestasi ke pasar Asia.
Pengguna internet di kawasan Asia Tenggara diperkirakan kini mencapai 400 juta orang. Namun, 70 persen dari pengguna internet itu belum memanfaatkan industri perbankan dalam kehidupan mereka. Solusi-solusi teknologi yang notabene sedang dan sudah digunakan di daratan China, menurut Hui, menjadi kesempatan untuk diterapkan juga ke pasar Asia Tenggara.
Hui mengungkapkan, di tengah pandemi 2020, sebanyak 50 kerja sama bisnis dicapai oleh para investor dengan posisi Hong Kong sebagai pintu gerbang atau penghubungnya. Nilai Hong Kong sebagai tempat penawaran saham perdana (IPO) pun berupaya diperkuat, termasuk untuk IPO perusahaan-perusahaan teknologi.
Nilai IPO perusahaan-perusahaan teknologi di Hong Kong sejak diperkenalkan tahun 2018 telah mencapai 54 miliar dollar AS. Pencatatan saham ganda atau kedua bagi perusahaan-perusahaan teknologi, kata dia, terbukti sukses di Hong Kong. Hong Kong telah mengenalkan indeks saham teknologi, yakni Hang Seng Tech Index.
Diana Caesar menyebutkan potensi-potensi ekonomi di Asia Tenggara sebagai modal untuk menarik investasi secara global. Indonesia, misalnya, disebutnya memiliki dasar sebagai negara dengan penduduk yang optimistis dan pertumbuhannya didorong dengan konsumsi domestik yang tinggi. Kerja sama multilateral, seperti RCEP, juga dinilainya penting untuk menyatakan bahwa kawasan Asia Tenggara terbuka.
Hanya saja ia sekaligus mengingatkan bahwa dengan bergabungnya negara dalam kemitraan seperti RCEP, itu artinya negara yang tidak terbuka dan tidak siap akan ditinggalkan dalam percaturan global. ”Negara-negara harus memastikan bahwa mereka siap dan memiliki prioritas-prioritas pembangunan. Misalnya, lewat pengembangan infrastruktur. Semata untuk memberikan tawaran bagi para calon investor atas potensi-potensi pertumbuhan,” katanya.
Simon Loong mengklaim bahwa perusahaannya tidak semata mampu bertahan selama pandemi Covid-19, tetapi mampu tumbuh dan mencapai sejumlah capaian. Pengguna produk perusahaan fintech itu tumbuh 20 persen secara tahunan tahun lalu atau sekitar 10 juta pengguna baru sehingga kini jumlahnya menjadi 50 juta pengguna.
WeLab juga secara resmi meluncurkan WeLab Bank di tengah pandemi di Hong Kong. Di Indonesia, Loong mengungkapkan pertumbuhan penjualannya tumbuh lebih dari enam kali lipat secara tahunan tahun lalu.
Di Indonesia, WeLab memiliki perusahaan patungan kolaboratif dengan PT Sedaya Multi Investama, yang adalah anak perusahaan PT Astra International Tbk. Perusahaan patungan itu bernama PT Astra WeLab Digital Arta. Perusahaan itu merupakan perusahaan yang bergerak di bidang fintech dengan kategori peer to peer lending. Perusahaan tersebut menggunakan big data dan machine learning untuk memberikan nilai kredit serta persetujuan pinjaman bagi para nasabahnya.