Persepsi Hong Kong berkonvergensi ke China dapat menyebabkan penerapan skor risiko atas wilayah itu lebih tinggi. Kebijakan-kebijakan Washington pun menjadi bagian dari pengambilan pilihan bisnis atas Hong Kong.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
Pada Kamis (18/6/2020), tersaji pemandangan menarik, perusahaan raksasa e-dagang China, JD.com, resmi melantai di bursa saham Hong Kong setelah berhasil meraih dana hingga 4 miliar dollar AS lewat penawaran saham perdananya.
Perusahaan teknologi lain asal China, NetEase, juga melantai di bursa saham Hong Kong awal bulan ini. Harga sahamnya melesat hingga 6 persen di awal-awal perdagangan. Manajemen NetEase meraih dana penawaran saham perdana (IPO) hingga 2,7 miliar dollar AS.
”Kami datang ke Hong Kong bukan hanya karena kami ingin berbagi janji dan pengembangan kami dengan lebih banyak klien,” kata CEO Ritel Lever Xu Lei, ”kami memiliki kepercayaan mutlak kepada China dan masa depan ekonomi China.”
Menurut Bloomberg, IPO JD.com adalah penawaran global terbesar kedua tahun ini. Penawaran saham perdana terbesar tahun ini adalah IPO Beijing-Shanghai High Speed Railway pada Januari lalu. Beijing-Shanghai High Speed Railway berhasil meraup 4,3 miliar dollar AS.
JD.com juga tercatat di Nasdaq di New York. Perang dagang China-AS menjadi alasan manajemen perusahaan itu mencatatkan sahamnya di bursa saham Hong Kong. Dual listing diharapkan membantu perusahaan bersaing lebih baik dengan saingan e-dagang lain, termasuk Amazon dan Alibaba. Tahun lalu, Alibaba yang juga asal China itu mengumpulkan dana 12,9 miliar dollar AS dalam IPO sekundernya di Hong Kong.
Dipilihnya bursa Hong Kong dan bukan bursa Shanghai adalah hal yang menarik. Padahal, beberapa waktu terakhir aneka risiko terlihat menimpa Hong Kong.
Kegamangan
Beijing mengumumkan siap memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong. Sebagai responsnya, AS mencabut hak istimewa bisnis dan hukum atas Hong Kong. Asia Times menilai situasi itu berpotensi menempatkan nilai perdagangan di Hong Kong—yang besarannya mencapai ratusan miliar dollar AS—dalam bahaya. Sikap Beijing terhadap Hong Kong dinilai buruk bagi transparansi perusahaan, kebebasan politik, hingga pertumbuhan ekonomi Hong Kong.
Perusahaan raksasa Australia, Macquarie Group, dilaporkan sudah pindah kantor dari kawasan khusus Pusat Keuangan Internasional (IFC) di Hong Kong. Manajemen Nomura Jepang juga merencanakan hal serupa. Langkah itu dinilai menjadi tanda awal bagi sejumlah perusahaan keuangan untuk mulai berpikir kembali tentang Hong Kong sebagai ”zona hijau” bisnis.
The Economist melukiskan cara terbaik untuk melihat peran yang dimainkan Hong Kong dalam sistem keuangan global adalah dengan menganggapnya sebagai transformator listrik yang menghubungkan dua sirkuit dengan voltase berbeda. Salah satunya menerapkan sistem keuangan global dengan aliran modal bebas disertai penyebaran informasi secara terbuka yang didukung dengan supremasi hukum. Sirkuit lainnya adalah sistem keuangan China. Sifatnya luas, terus berkembang, tetapi dengan kendali atas modal, sensor, dan penegakan kontrak yang berubah-ubah.
Selama dua dekade terakhir, ketika China telah bangkit menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, Hong Kong telah dengan terampil mengembangkan perannya di tengah. Ia menjadi pusat keuangan internasional paling penting setelah New York dan London. Bahkan, ketika Beijing semakin mewarnai kebijakan-kebijakan atas Hong Kong, infrastruktur keuangannya tetap serupa dengan ekonomi Barat yang maju.
Formulasi konstitusional ”satu negara, dua sistem” memiliki banyak manfaat yang melampaui aturan hukum di Hong Kong. Lapisan bawah dari peraturan-peraturannya tetap kelas dunia, regulator independen, termasuk otoritas moneter Hong Kong (HKMA), bank sentral, dan regulator sekuritas. Peraturan mereka juga mengharuskan perusahaan di Hong Kong, terutama yang besar, mencapai standar tata kelola perusahaan yang masuk akal.
Penurunan kinerja perekonomian secara lokal dan gerakan anti-pemerintah selama berbulan-bulan di Hong Kong ikut menentukan posisi wilayah itu dalam daftar peringkat IMD World Competitiveness Ranking 2020.
”Hong Kong bertengger di peringkat ke-5. Posisi ini jauh dari peringkat ke-2 yang dinikmati tahun sebelumnya. Penurunan ini dapat dikaitkan dengan penurunan kinerja ekonomi, gejolak sosial di Hong Kong, serta dampak buruk dari ekonomi China,” kata IMD dalam laporannya. (AFP)