Pengumuman penutupan Motley Fool disampaikan oleh manajemen perusahaan itu dalam unggahan di lamannya pekan ini. Penerapan UU Keamanan Nasional disebut dalam alasan penutupan perwakilannya di Hong Kong.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
HONG KONG, KAMIS — Kondisi bisnis di Hong Kong semakin diwarnai ketidakpastian, memaksa sejumlah perusahaan asing hengkang dari wilayah itu. Kasus terbaru, misalnya, situs berita investasi Motley Fool yang berpusat di Amerika Serikat akan menutup operasinya di Hong Kong karena prospek politik yang tidak pasti di Hong Kong.
Pengumuman penutupan Motley Fool disampaikan oleh manajemen perusahaan itu dalam unggahan di lamannya pekan ini. Hayes Chan, analis utama Motley Fool di Hong Kong, menyatakan langkah China menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang direspons AS dengan penerapan sanksi atas beberapa sosok kunci di Hong Kong adalah sumber ketidakpastian kondisi bisnis di wilayah itu di masa depan.
Motley Fool membuka kantor perwakilannya di Hong Kong pada 2018. ”Dengan semua ketidakpastian itu, sulit membuat keputusan yang dapat diprediksi untuk mengembangkan bisnis kami di sini selama 3-5 tahun ke depan,” kata pernyataan itu tanpa menyebutkan waktu penutupan kantor perwakilan di Hong Kong.
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam pernah menyatakan jurnalis atau lembaga pers dapat melaporkan dengan bebas informasi yang ada selama mereka tidak melanggar UU Keamanan Nasional. Namun, hal itu menimbulkan ketidakpastian mengingat tidak ada patokan terkait apa yang boleh maupun apa yang tidak boleh dilakukan.
Sebelum Motley Fool, pada Juli lalu media AS lainnya, The New York Times, mengatakan akan memindahkan sekitar sepertiga stafnya ke Seoul. Alasannya adalah juga karena ketidakpastian politik dan kesulitan yang dialami para stafnya untuk mendapatkan izin kerja.
Soal izin kerja itu terkait langsung dengan aksi saling balas Beijing-Washington yang berlarut-larut, mulai dari tarif impor, teknologi, hingga pada warga masing-masing yang bekerja di kedua negara itu. Tokyo adalah satu-satunya kota di Asia lainnya tempat Motley Fool saat ini beroperasi.
Perusahaan dengan layanan penasihat investasi itu sebelumnya telah menutup bisnisnya di Singapura tahun lalu karena persyaratan peraturan membuatnya tidak dapat menjalankan bisnisnya secara komersial.
Di tengah perkembangan yang terjadi di Hong Kong, kota-kota Asia lainnya berharap untuk memikat bisnis keuangan dari Hong Kong. Namun, lembaga-lembaga keuangan, sejauh ini, belum membuat langkah publik yang besar. Seperti diberitakan Kompas sebelumnya, bank-bank internasional yang membukai gerai usaha di Hong Kong mengalami kebingungan.
Mereka merasa terjebak dalam perselisihan hukum antara AS dan China, terutama terkait masa depan kota itu. Para analis memperingatkan bahwa manajemen perseroan-perseroan itu seperti dipaksa untuk segera menentukan pilihan.
Para pengacara yang bekerja atau disewa jasanya oleh bank-bank di Hong Kong pun sibuk. Klien mereka semakin khawatir dengan dua UU yang mulai berlaku Juli lalu itu. Aturan-aturan itu secara radikal dapat mengubah cara berbisnis perusahaan-perusahaan di kota semi-otonom tersebut.
Aturan pertama adalah rancangan undang-undang AS yang dapat digunakan untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat China dan Hong Kong yang dinilai bertanggung jawab terhadap kondisi kebebasan politik di kota itu.
Adapun aturan kedua adalah UU Keamanan Nasional yang diberlakukan Beijing di Hong Kong. Bank-bank kebingungan, aturan atau UU manakah yang akan diacu.
Kondisi ketidakpastian iklim bisnis di Hong Kong juga antara lain tergambar dari pengajuan kebangkrutan perusahaan. Pengajuan kebangkrutan usaha di Hong Kong naik ke level tertinggi 17 tahun pada tengah tahun ini.
Pandemi Covid-19 memberikan pukulan telak lanjutan setelah wilayah itu didera kerusuhan sosial beberapa waktu. Hingga Mei tahun ini terdapat 2.079 petisi yang diajukan, tertinggi sejak Mei 2003.
Angka tersebut muncul karena tingkat pengangguran di Hong Kong naik menjadi 5,9 persen pada periode Maret hingga Mei, tertinggi dalam lebih dari 15 tahun. Jumlah pengajuan penutupan wajib perusahaan mencapai 68 di bulan Mei, tertinggi sejak Juli 2009.
Menghadapi aturan-aturan yang beragam di Hong Kong, sejumlah perusahaan ada yang memilih merekrut pegawai-pegawai baru dan melatihnya agar operasional sesuai dengan aturan yang ada.
Ada pula yang melatih karyawan-karyawan yang ada sebelumnya. Yang lain memilih menyediakan teknologi baru agar sesuai dengan aturan. Permintaan staf kepatuhan pun telah meningkat sebanyak sepertiga dari beberapa bulan sebelumnya.
”Dalam tiga bulan terakhir, kami mendapat permintaan dari manajer aset tingkat atas yang mencari pengacara kepatuhan peraturan karena mereka membutuhkan ahli di tempat ketika AS dan China terus memberikan sanksi satu sama lain,” kata Olga Yung, Direktur Regional Perekrutan Michael Pages di Hong Kong.
Mengingat sanksi adalah ”area khusus”, maka perusahaan pun mempekerjakan pengacara dengan beberapa keahlian sanksi dan atau melengkapi dengan firma hukum eksternal. (AP/REUTERS)