Perempuan Australia Serukan Penghilangan Tindakan Diskriminatif terhadap Perempuan
Puluhan ribu perempuan Australia bersama-sama bergerak menyerukan penyelesaian kasus kekerasan seksual yang ada di negara itu. Pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison didesak untuk menindaklanjuti berbagai laporan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Puluhan ribu perempuan berkumpul di luar gedung parlemen Australia, Senin (15/3/2021), menyerukan kesetaraan dan keadilan jender bagi para korban kekerasan seksual. Aksi demonstrasi #March4Justice berlangsung serentak di 40 kota besar dan kecil di seluruh Australia, dipicu oleh tudingan pelecehan seksual, diskriminasi, dan perlakuan buruk terhadap perempuan di parlemen, kantor politik tertinggi Australia.
Sebagian besar peserta aksi menggunakan pakaian berwarna hitam yang melambangkan kekuatan sekaligus menggambarkan duka atas peristiwa yang menimpa rekan, kerabat, dan saudara mereka sesama kaum perempuan. Mereka berkumpul di luar gedung parlemen sambil memegang berbagai poster yang bertuliskan, antara lain, ”Kamu Tidak Mendengarkan”, ”Berapa banyak korban yang kamu kenal?”, dan ”Saya percaya padanya”.
Selama aksi, para peserta tidak berhenti meneriakkan ”kami tidak bisa dibungkam”, sebagai pernyataan bahwa perempuan tidak akan berdiam diri melihat kebijakan yang diskriminatif di sekelilingnya. Sementara para pengunjuk rasa di Melbourne, pada saat aksi, membawa sebuah spanduk yang berisi nama-nama perempuan yang tewas di Australia akibat kekerasan jender sejak tahun 2008.
Sejumlah pemimpin aksi mengaku menerima undangan dari Perdana Menteri Australia Scott Morrison untuk berbicara dalam ruang tertutup mengenai persoalan ini. Namun, mereka menolak.
Janine Hendry, salah satu inisiator aksi, mengatakan, puluhan ribu perempuan berdiri hanya 200 meter dari kantor Perdana Menteri dan meneriakkan keinginan untuk mendapatkan keadilan. ”Tidak pantas bagi kami untuk bertemu di balik pintu tertutup, terutama ketika kami berbicara tentang pelecehan seksual yang terjadi di balik pintu yang tertutup,” kata Hendry.
Hendry menyatakan, bila PM Morrison dan pemerintahannya peduli dengan perempuan dan kejadian yang menimpa mereka, seharusnya dia membuka pintu dan datang ke kegiatan ini untuk mendengarkan aspirasi kaum perempuan Australia.
Salah satu peserta aksi, Kathryn Jamieson, yang melakukan perjalanan dari Melbourne untuk ambil bagian, mengatakan, dia sangat marah. ”Saya ingin menjadi bagian dari gerakan. Saya sudah merasa cukup. Kami membutuhkan perubahan segera,” kata Jamieson.
Beberapa skandal, termasuk kekerasan seksual, bermunculan terhadap para pejabat hingga anggota parlemen Australia, termasuk tuduhan bahwa Jaksa Agung Christian Porter melakukan pemerkosaan di tahun 1988. Korban saat itu masih berusia 16 tahun dan keduanya masih berstatus sebagai pelajar.
Alih-alih melakukan penyelidikan terhadap tuduhan tersebut, Porter mengajukan gugatan terhadap dugaan pencemaran nama baik terhadap lembaga penyiaran Australian Broadcasting Corp. yang menayangkan artikel soal dugaan tindakan Porter kala itu di Pengadilan Federal. AB tidak segera menanggapi tindakan hukum yang dilakukan oleh Porter.
Brittany Higgins, mantan pegawai pemerintah, secara terbuka mengaku diperkosa oleh koleganya di sebuah kantor kementerian, tahun 2019. Higgins, yang ikut serta dalam aksi di Canberra mengatakan, kisahnya menjadi pengingat bagi para perempuan bahwa sesuatu bisa terjadi di gedung parlemen, di kantor kementerian, atau di mana saja. ”Kami di sini karena kami masih harus berjuang dalam pertarungan ini,” kata Higgins.
Seorang pejabat, penasihat politik senior Partai Liberal yang dipimpin PM Morrison, juga diduga telah melakukan pemerkosaan atau pelecehan seksual. Sejauh ini belum ada komentar dari terduga pelaku ataupun dari partai.
Kemarahan publik atas cara pemerintah menangani kasus dugaan pelecehan seksual, kekerasan seksual, hingga tindakan yang diskriminatif terhadap perempuan muncul ketika di Inggris juga tengah ramai menggaungkan soal terjadinya kekerasan seksual, yang berujung pada pembunuhan Sarah Everard (33) oleh polisi. Gerakan #March4Justice menuntut pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan serangkaian tindakan termasuk penyelidikan independen atas semua kasus kekerasan jender, peningkatan pendanaan publik untuk pencegahan, dan implementasi rekomendasi dari penyelidikan nasional tahun 2020 terhadap pelecehan seksual di tempat kerja.
Parlemen Australia telah berulang kali dikritik karena budaya tempat kerja yang ”beracun” yang diduga telah memicu penindasan, pelecehan, dan serangan seksual yang terus-menerus. Koalisi yang berkuasa dituduh tidak berbuat cukup untuk mendukung anggota partai perempuan, termasuk setelah serentetan perempuan mundur dari parlemen menjelang pemilu 2019, dengan beberapa mengutip soal perundungan atau bullying sebagai faktor.
Media lokal juga melaporkan bahwa perempuan di partai oposisi Partai Buruh baru-baru ini membuat halaman Facebook yang merinci dugaan pelecehan seksual oleh politisi laki-laki.
PM Morrison telah menikmati peringkat persetujuan publik yang kuat, terutama untuk penanganannya terhadap pandemi Covid-19. Namun, Newspoll yang dilakukan surat kabar The Australian menunjukkan bahwa Partai Buruh, partai kiri-tengah, telah menarik diri dari koalisi pimpinan Morrison meski dia menyatakan bahwa di bawah kepemimpinannya Australia telah membuat langkah besar menuju kesetaraan jender selama bertahun-tahun. Morrison pada saat yang sama juga mengakui bahwa pekerjaan itu ”masih jauh dari selesai” dan dia berbagi keprihatinan para pemrotes.
Higgins, yang dituding oleh Menteri Pertahanan Linda Reynolds sebagai pembohong, berharap aksi puluhan ribu perempuan dan sebagian yang menjadi korban kekerasan seksual dan diskriminasi jender bisa membawa perubahan pada budaya tempat kerja untuk ”memastikan generasi perempuan berikutnya dapat memperoleh manfaat dari Australia yang lebih aman dan lebih adil”.
Deirdre Heitmeyer (68) mengatakan, dia mengemudi selama lebih dari 6 jam untuk menghadiri protes tersebut.
”Saya tidak percaya kami masih harus melakukan ini,” katanya kepada Reuters. ”Kami keluar pada tahun 1970-an untuk menyerukan kesetaraan dan kami masih di sini.”