Filipina sudah berada di barisan bawah dalam tingkat kepiawaian siswa membaca, matematika, dan sains secara global. Kondisi itu diperkirakan bisa semakin parah akibat pandemi Covid-19.
Oleh
Benny D Koestanto
·4 menit baca
Pandemi tengah menggerogoti masa depan siswa di Filipina, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin. Di tengah deraan pandemi, negara itu kini berhadapan dengan krisis pembelajaran pada siswa sekolah selama pandemi Covid-19.
Kebijakan penutupan atau penguncian wilayah mengharuskan sekolah-sekolah ditutup, memaksa para siswanya untuk belajar dari rumah. Sayangnya, sistem belajar daring dimulai terlambat saat tahun ajaran sudah berjalan. Selain itu, cara belajar tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk peserta didik.
Andrix Serrano terlihat belajar sendirian di dalam gubuk kumuh yang dia tinggali bersama neneknya di pinggiran Manila, akhir pekan lalu. Sang nenek sehari-hari bekerja sebagai penyapu jalan. Andrix duduk di kelas IV sekolah dasar. Seperti banyak teman sekelasnya, dia tidak memiliki akses pada jaringan internet untuk mengikuti pelajaran daring dari sekolahnya.
Pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte memang tidak mau mengambil risiko terkait penyebaran wabah Covid-19. Ruang kelas di seluruh negeri itu tetap kosong dan anak-anak masih diharuskan berada di rumah. Duterte menolak untuk mencabut pembatasan sampai vaksinasi mencakup sebagian besar wilayah, sesuatu yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Program ”pembelajaran campuran” yang melibatkan kelas daring, materi cetak, serta pelajaran yang disiarkan di televisi dan media sosial diluncurkan pada Oktober tahun lalu. Itu adalah empat bulan setelah tahun ajaran sekolah seharusnya dimulai. Di tengah keterlambatan itu, gangguan lain secara teknis menjadi tantangan seluruh negeri. Banyak siswa di Filipina tidak memiliki komputer atau gawai dan juga fasilitas internet di rumah.
”Aku tidak bisa melakukannya, sebuah kondisi yang sulit bagiku,” kata Andrix. Ia duduk di gubuknya yang berada di samping sungai yang tercemar. Sebuah foto dirinya mengenakan seragam saat kenaikan kelas tergantung di dinding di belakangnya. ”Menyenangkan di sekolah. Lebih mudah belajar di sana.”
Seorang guru sains yang telah mengajar selama sembilan tahun, Kristhean Navales, mencoba menjalankan kelas melalui Facebook Messenger. Namun, tidak semua anak didiknya dapat bergabung di kelasnya. Kurang dari separuh dari total 43 siswanya memiliki akses ke fasilitas itu. Mereka tidak selalu memiliki jaringan internet. Jika ada, data mereka juga tidak cukup untuk mengikuti panggilan video. ”Bagaimana kita bisa melakukannya di messenger atas mata pelajaran yang membutuhkan aktivitas langsung, seperti sains dan matematika,” kata Navales.
Bagaimana kita bisa melakukannya di messenger atas mata pelajaran yang membutuhkan aktivitas langsung, seperti sains dan matematika. (Kristhean Navales)
Anak didik Navales yang tidak dapat bergabung secara daring hanya mengandalkan bahan cetakan yang telah disederhanakan oleh sekolah untuk meringankan beban anak-anak. Setelah berakhirnya sesi kelas daring, Navales harus mengunjungi murid seperti Serrano dan siswa lainnya. Tidak semata soal pelajaran, Navales kerap juga membawa sekantong sayuran untuk keluarga murid-muridnya.
Navales khawatir murid-muridnya tidak dapat belajar secara optimal. Dia pun tampak frustrasi dengan pemerintahnya yang dianggapnya gagal dalam mempersiapkan sekolah untuk kembali ke sistem kelas tatap muka. ”Hak mereka atas pendidikan tidak boleh dihambat oleh pandemi ini,” katanya.
Menurut data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), anak-anak usia 15 tahun di Filipina sudah berada atau hampir berada di posisi terbawah dalam kepiawaian membaca, matematika, dan sains. Kondisi itu diperkirakan bisa semakin parah akibat pandemi Covid-19.
Para ahli khawatir banyak siswa yang kemampuannya semakin mundur atau tertinggal. Bahkan, mereka yang putus sekolah pun mungkin tidak akan kembali ke kelas. ”Covid-19 memengaruhi semua sistem sekolah di dunia, tetapi di sini bahkan lebih buruk,” kata Isy Faingold, Kepala Bidang Pendidikan di Unicef Filipina.
Faingold mengatakan, penutupan kelas juga membuat anak-anak berisiko lebih besar mengalami kekerasan seksual, kehamilan remaja, dan perekrutan oleh kelompok bersenjata. Perintah untuk tinggal di rumah bagi anak-anak di bawah 15 tahun kerap kali membuat mereka tidak lepas dari bahaya. Banyak orangtua yang melanggar perintah tersebut dengan membiarkan anak-anak mereka bermain di taman atau di jalan.
Aturan itu sempat dicabut untuk sejumlah kelompok umur anak pada Januari lalu. Namun, Duterte dengan cepat menerapkannya kembali dan memerintahkan mereka untuk lebih baik menonton televisi. Rencana pembukaan kembali sekolah secara terbatas pada Januari itu dibatalkan setelah varian virus korona tipe baru yang lebih menular ditemukan di Filipina.
Penutupan sekolah telah memengaruhi semua siswa, tetapi kesenjangan kaya-miskin yang menghancurkan negara itu telah membuat dampaknya tidak setara. Orangtua dari kalangan kelas menengah ke atas dapat menyewa tutor untuk anak-anak mereka—atau bahkan guru yang dapat mengajar secara daring. Hal seperti itu nyaris mustahil dilakukan keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah.
Pejabat ekonomi Duterte telah memperingatkan tentang ”luka permanen” pada anak-anak. Kondisi itu dapat merusak potensi mereka jika pembelajaran berbasis daring dari rumah diperpanjang. ”Ketidakmampuan untuk melihat dan berhubungan secara fisik secara langsung dengan teman sekelas dan teman-teman mereka memiliki dampak yang luar biasa pada perkembangan emosi anak-anak,” kata psikolog klinis anak, Maria Lourdes Carandang.
Dia telah melihat tingkat depresi dan kecemasan yang ”mengkhawatirkan”. Orangtua dan kakek nenek juga merasakan ketegangan. Setiap pekan, Aida Castillo (65), salah satu warga, harus mengambil materi pelajaran yang telah dicetak dari sekolah untuk kelima cucunya dan mengawasi proses belajar mereka saat orangtua cucu-cucunya bekerja.
Hanya anak tertua yang memiliki akses untuk ikut kelas daring, itu pun setelah sang ibu pulang dari tempatnya bekerja. (AFP)