Filipina Perlu Kerja Keras Atasi Rumor dan Trauma Jelang Vaksinasi Covid-19
Ketakutan bahkan sikap antivaksin menjadi hambatan dalam kampanye vaksinasi Covid-19 di Filipina, seperti halnya di banyak negara lain.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Rumor seputar vaksin Covid-19 dan pengalaman buruk warga Filipina saat menerima vaksin dengue, Dengvaxia, pada tahun 2016 yang dikaitkan dengan kematian lebih dari 100 anak, kini merepotkan negara itu.
Filipina, yang menjadi negara kedua terdampak pandemi paling parah di Asia Tenggara, rencananya akan memulai vaksinasi Covid-19 bulan depan. Targetnya, tahun ini vaksinasi dilakukan pada 70 juta dari 108 juta penduduk.
Sejauh ini lebih dari setengah juta penduduk telah terjangkit Covid-19 dan lebih dari 10.000 orang lainnya meninggal akibat Covid-19 di Filipina.
Namun, para pejabat menyadari bahwa di luar kesulitan distribusi logistik untuk menjangkau seluruh penduduk yang tersebar di 2.000 pulau, ada hal lain yang lebih sulit untuk dilakukan, yaitu meyakinkan penduduk agar mau divaksin.
”Pesannya harus konkret dan berbasis bukti untuk mendorong warga menerima vaksin,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Filipipna Rosario Vergeire. ”Kami juga meyakinkan warga bahwa vaksin apa pun yang disediakan harus melalui proses persetujuan yang ketat,” katanya lagi.
Penerimaan penduduk Filipina atas vaksin masih terpukul oleh kontroversi vaksinasi Dengvaxia, vaksin dengue buatan Sanofi, perusahaan farmasi asal Perancis. Pada tahun 2016, Pemerintah Filipina melakukan vaksinasi dengue pada lebih dari 800.000 anak menggunakan Dengvaxia.
Akan tetapi, jika vaksin itu diberikan pada orang yang belum pernah terinfeksi dengue, ternyata justru bisa memperburuk kondisi tubuh ketika orang tersebut benar-benar terinfeksi. Hal tersebut berujung pada kematian lebih dari 100 anak yang dikaitkan sebagai dampak vaksinasi tersebut dan dua penyelidikan oleh Kongres. Dengvaxia pun akhirnya dilarang.
”Banyak anak jatuh sakit setelah menerima vaksin itu,” cerita Crisanta Alipio (62) mengenang peristiwa setelah vaksinasi massal dengue. Crisanta menambahkan, dirinya takut akan virus korona, tetapi ia lebih takut pada vaksinasi.
Setelah tragedi itu, Filipina, yang semula masuk ke dalam 10 besar negara dengan tingkat kepercayaan pada vaksin yang tinggi, terjun bebas ke peringkat di atas 70. Cakupan imunisasi dasar pada anak pun anjlok dari 85 persen tahun 2010 menjadi 69 persen tahun 2019.
Untuk menghadapi itu, ujar Carlito Galves, jenderal purnawirawan Angkatan Darat kepada Senat, tenaga kesehatan akan dilatih khusus agar bisa menjawab semua pertanyaan warga soal vaksin Covid-19.
Di banyak tempat di bagian Selatan Filipina, di mana perang Duterte melawan gembong narkoba telah menyebabkan 6.000 orang meninggal, beda lagi ceritanya. Ada banyak rumor. Warga di sana menganggap vaksinasi Covid-19 adalah kampanye kematian yang disponsori negara.
”Sejumlah informasi yang beredar di Facebook dan pesan singkat menyatakan bahwa vaksin Covid-19 mengandung cip mikro yang bisa dikendalikan jarak jauh oleh Presiden Duterte. Hanya dengan menekan satu tombol orang yang divaksin akan mati,” tutur Nasser Alimoda, dokter di Provinsi Lanao de Sur.
Apasrah Mapupuno, Ketua Tim Kesehatan Lanao de Sur, mengatakan, dirinya menanyai puluhan tenaga kesehatan dan warga apakah mereka bersedia divaksin Covid-19. Tak ada satu orang pun yang bersedia.
”Ini masalah besar,” ujar Apasrah. ”Bagaimana mungkin tenaga kesehatan meyakinkan masyarakat untuk divaksin jika mereka sendiri tidak bersedia divaksin?”
Keraguan akan vaksin juga dihadapi oleh negara-negara maju yang kini sibuk menggelar kampanye vaksinasi Covid-19. Namun, alasannya bukanlah teori konspirasi, kehalalan, atau disinformasi yang berdasar, melainkan aspek keamanan.
Umumnya warga Eropa khawatir pada aspek keamanan vaksin yang dikembangkan hanya dalam hitungan bulan padahal biasanya vaksin dikembangkan bertahun-tahun.
Sebuah survei akhir Desember 2020 di Polandia di mana ketidakpercayaan terhadap institusi publik begitu dalam, tidak sampai 40 persen responden bersedia divaksin Covid-19.
”Saya tidak mengatakan tidak usah divaksin. Tetapi, saya tidak ingin saya dan keluarga saya diberi vaksin yang belum terbukti aman,” kata Sikorski (41), seorang warga di Warsawa, Polandia.
Hambatan logistik dan distribusi, keraguan, ketakutan, bahkan penolakan terhadap vaksin di banyak tempat menjadi bukti bahwa kehadiran vaksin Covid-19 tidak menjadi jawaban atas pandemi, tetapi justru membawa konsekuensi persoalannya sendiri yang harus dijawab bersama.(REUTERS)