Kyal Sin, remaja Myanmar berusia 19 tahun, menjadi simbol baru perlawanan anak-anak muda melawan kebrutalan rezim militer di negara itu. Kegigihannya berjuang menegakkan demokrasi menjadi api penyemangat rakyat Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
”Everything will be OK,” begitu tertulis di kaus Kyal Sin (19), remaja yang tewas ditembak aparat keamanan Myanmar di kota Mandalay, Rabu (3/3/2021). Angel, begitu nama panggilan Kyal Sin, termasuk salah satu dari sekitar 50 pengunjuk rasa korban kebrutalan aparat keamanan saat berunjuk rasa menentang kudeta militer Myanmar.
Lebih dari sebulan terakhir ini militer menguasai Myanmar setelah menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, 1 Februari lalu. Sejak itu pula, unjuk rasa massa antikudeta militer terus bergulir setiap hari di hampir seluruh penjuru Myanmar.
Setiap kali turun ke jalan untuk berunjuk rasa, Angel selalu mengenakan pakaian yang bertuliskan seruan terkait dengan protes. Satu waktu, ia mengenakan jaket hitam dengan tulisan pada bagian belakangnya: ”Kami butuh demokrasi. Keadilan untuk Myanmar. Hormati suara kami”.
Sejak hari pertama kudeta, Angel mengunggah foto dirinya sedang berada di jalanan sambil mengibarkan bendera merah partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Ia juga mengunggah foto dirinya bersama ayahnya ketika ayahnya memasangkan pita merah di pergelangan tangannya.
Pada hari kematiannya, Angel juga sempat mengunggah informasi pribadinya di media sosial Facebook, seperti golongan darah, nomor telepon genggamnya, dan permintaan untuk mendonasikan anggota tubuhnya andaikata ia meninggal. Penari dan juara bela diri taekwondo itu seperti sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk.
”Saya akan mendonasikan organ saya jika saya meninggal. Kalau ada yang membutuhkan bantuan segera, saya akan menyumbangkannya,” tulis Angel.
Angel tetap saja turun ke jalan meski situasi keamanan saat unjuk rasa kian berisiko. Aparat keamanan tidak hanya melemparkan gas air mata, tetapi juga menjadi semakin brutal dengan menembakkan peluru karet dan peluru sungguhan. Seperti Angel, puluhan pengunjuk rasa juga tewas ditembak di bagian kepala.
Seorang dokter mengonfirmasi kepada kantor berita AFP bahwa Angel tewas akibat tembakan di bagian kepala. Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia curiga para korban yang tewas itu sengaja diincar aparat keamanan.
Myat Thu (23), salah seorang pengunjuk rasa yang berada bersama Angel saat unjuk rasa, mengenang Angel sebagai pemberani. Myat Thu ingat saat Angel menendang pipa air hanya supaya para pengunjuk rasa bisa membasuh mata untuk mengurangi rasa pedih akibat gas air mata. Angel juga melempar balik kaleng gas air mata ke arah aparat keamanan.
Tiarap, tiarap!
”Ketika polisi mulai menembak, dia suruh saya untuk segera tiarap. ’Tiarap! Tiarap! Nanti kena peluru’, begitu katanya. Dia peduli dan melindungi orang lain,” kata Thu.
Sebelum ia tewas ditembak, suara teriakan Angel sempat terdengar di video: ”Kami tidak akan lari” dan ”Jangan ada pertumpahan darah”. Polisi pertama-tama melempar kaleng-kaleng gas air mata ke arah mereka. Lalu, diikuti peluru-peluru yang beterbangan.
Dari foto-foto yang diambil sebelum Angel tewas, ia terlihat sedang terbaring berlindung di samping spanduk protes dengan kepala sedikit terangkat. Pada saat aparat keamanan mulai mengeluarkan tembakan, kata Thu, semua orang kocar-kacir berlarian ke segala arah. Thu kemudian menerima pesan: Ada satu perempuan yang tewas.
”Saya tidak tahu kalau itu Angel,” kata Thu. Namun, kemudian banyak foto beredar di Facebook yang menunjukkan Angel terbaring kaku di samping korban tewas yang lain.
Junta militer Myanmar sejak awal menegaskan akan bertindak keras terhadap siapa saja pengunjuk rasa yang berbuat kerusuhan. Namun, mereka lebih memperlihatkan tindakan brutal. Berbagai kalangan mengecam keras tindakan aparat Myanmar terhadap pengunjuk rasa.
”Aparat keamanan Myanmar kini terlihat sengaja ingin mematahkan gerakan antikudeta dengan kekerasan serampangan dan kebrutalan,” ujar Richard Weir, peneliti pada lembaga Human Rights Watch.
Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet mendesak aparat keamanan Myanmar ”menghentikan tindakan kejam” terhadap para pengunjuk rasa damai. ”Militer Myanmar harus menghentikan pembunuhan dan pemenjaraan para pengunjuk rasa,” kata Bachelet melalui pernyataan tertulis.
”Benar-benar mengerikan, aparat keamanan itu menembakkan amunisi tajam terhadap para pengunjuk rasa di berbagai penjuru negeri (Myanmar),” lanjut Bachelet.
Dukungan mengalir
Tulisan di kaus Angel menjadi viral di media sosial dan menjadi simbol perlawanan terhadap aparat keamanan yang membunuh puluhan pengunjuk rasa tak bersenjata. Dukungan mengalir deras kepada Angel yang pernah dengan bangga mengunggah foto dirinya seusai mengikuti pemilu pertamanya, 8 November tahun lalu itu.
”Ini pemilu pertama saya dan saya memilih dari lubuk hati yang terdalam. Saya sudah memenuhi kewajiban saya kepada negara saya,” tulis Angel di Facebook.
Myat Thu pertama kali mengenal Angel ketika kursus taekwondo. Angel dikenal sebagai ahli bela diri, pelatih taekwondo, dan penari di Klub Tari DA-Star di Mandalay. Teman Angel yang lain, Kyaw Zin Hein, menyebarkan isi pesan Angel kepadanya di media sosial: ”Ini mungkin untuk terakhir kalinya saya mengatakan ini padamu. Aku sangat mencintaimu. Jangan pernah lupa itu”.
”Angel itu orang yang bahagia, mencintai keluarganya, dan ayahnya sangat mencintainya. Kami ini tidak sedang berperang. Jadi, tidak ada alasan menembak orang dengan peluru sungguhan. Kalau mereka itu manusia, mereka tidak akan melakukannya,” kata Myat Thu.
Puluhan pengunjuk rasa mengenang Angel dengan menyanyikan lagu revolusi yang terkenal di Myanmar ”We Won’t Forget Until the End of the World” sambil memberikan karangan bunga putih di atas peti jenazahnya.
Teman sekolah Angel, Linlae Waddy (19), mengingat Angel suka menyanyi dan menari. ”Sangat menyedihkan kehilangan teman seperti dia. Saya ingat dia sangat marah dengan yang terjadi di negara ini. Itu kenapa dia selalu ikut protes,” ujar Linlae Waddy.
Dukungan pun membanjir secara daring. Banyak yang menganggapnya sebagai martir. Sai Tun (32) yang ikut hadir di pemakaman Angel marah dengan aparat keamanan yang tidak manusiawi.
”Istirahat dalam damai, temanku. Kita tidak akan menyerah. Kita akan terus melawan hingga titik darah penghabisan,” ujarnya. (REUTERS/AFP)