Pentagon Prihatin Ada Peningkatan Aktivitas Nuklir Korut
Peningkatan aktivitas nuklir dilakukan di dua situs nuklir Korera Utara, yakni di Yongbyong dan Kangson, membuat sejumlah pihak khawatir.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
WASHINGTON, RABU — Pentagon prihatin dengan peningkatan aktivitas nuklir Korea Utara menyusul adanya laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tentang aktivitas di situs nuklir Yongbyong dan Kangson. Hal ini dapat menyulut ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara serta ketegangan di Semenanjung Korea.
Laksamana Muda Michael Studeman, Kepala Intelejen untuk Komando Indo-Pasifik Amerika Serikat, Selasa (2/3/2021) waktu Washington DC, mengatakan, aktivitas nuklir Korut, yang menjadi sorotan IAEA, mungkin menjadi alat untuk menarik perhatian Presiden AS Joe Biden. Juga menjadi alat tawar-menawar mendapatkan keringanan sanksi dari AS.
Pemerintah AS saat ini tengah meninjau kebijakan AS terhadap Korut. ”Kami terus memperhatikan hal ini dengan saksama. Dan, hal ini sangat mengkhawatirkan langkah yang akan diambil oleh Korut,” kata Studeman dalam konferensi tentang teknologi dan keamanan yang berlangsung secara virtual.
Keprihatinan Studeman itu terkait dengan informasi yang disampaikan Direktur IAEA Rafael Mariano Grossi, Senin (1/3/2021), yang menyebutkan adanya aktivitas di dua fasilitas nuklir Korut, yakni di Yongbyong dan Kangson.
Diduga, kedua fasilitas nuklir itu tengah memroses ulang bahan bakar nuklir yang mungkin dimanfaatkan untuk mengembangkan bom. Grossi mengatakan, IAEA menemukan adanya indikasi pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap untuk kegiatan operasional laboratorium radio kimia.
Ilmuwan nuklir Korut menggunakan laboratorium radio kimia yang terletak di Yongbyon untuk memproses kembai plutonium dari reaktor untuk dijadikan bom nuklir.
Yongbyon memiliki reaktor nuklir, pabrik pemrosesan ulang bahan bakar, dan fasilitas pengayaan uranium yang telah dikaitkan dengan program senjata nuklir negara tersebut.
Grossi menyebutkan, kelanjutan aktivitas nuklir Korut sebagai pelanggaran nyata sanksi PBB dan sangat disesalkan.
Mengacu pada pernyataan Grossi, Studeman menyatakan, jika hal itu benar, kondisi itu akan menempatka mereka pada tingkat ketegangan yang berbeda dengan Korut.
Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden, yang mulai menjabat pada Januari, kini tengah melakukan peninjauan penuh atas kebijakannya di Korut.
Peninjauan ini dilakukan karena mantan presiden AS Donald Trump terlibat langsung dalam beberapa kali pembicaraan dengan pemimpin Korut Kim Jong Un yang berakhir dengan kegagalan.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan, pendekatan ke Korut dapat melibatkan lebih banyak sanksi atau insentif diplomatik yang tidak ditentukan.
Jenny Town, Wakil Direktur Progam Pemantauan Korut ”38 North” yang berbasis di Washington, mengatakan, gambar satelit yang diterima dari Yongbyon antara 17 Februari dan 2 Maret menunjukkan uap keluar dari laboratorium di sana.
Laboratorium ini diketahui sudah sejak dua tahun lalu tidak pernah beroperasi. ”Belum tentu proses reprocessing sudah dimulai, tetapi bisa jadi indikasi persiapan untuk itu,” ucapnya.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Grossin mengatakan, IAEA tengah mengupayakan verifikasi program nuklir Korut, seperti halnya proses yang dilakukan terhadap Iran.
Korut terakhir kali melakukan uji coba nuklir pada 2017 dan tahun 2018 setelah meledakkan terowongan di situs nuklir utama Punggye-ri. Saat itu, Korut mengklaim bahwa tindakan meledakkan terowongan adalah sebagai bukti komitmennya mengakhir uji coba nuklir.
Akan tetapi, meski telah mengumumkan jeda uji coba nuklirnya, Kim Jong Un menarik komitmennya dengan menyatakan bahwa Korut akan melanjutkan produksi senjata nuklirnya.
Pada Januari lalu, Korut telah meluncurkan serangkaian rudal yang lebih kecil. Bahkan, Kim juga menjanjikan pertahanan yang lebih kuat dengan pengembangan rudal balistik baru yang bisa diluncurkan dari kapal selam. (REUTERS)