ASEAN menegaskan pentingnya mplementasi Piagam ASEAN secara utuh serta menjaga perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan. Jika persoalan di Myanmar gagal diselesaikan melalui dialog, itu akan mengancam semua.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN berhasil mengambil langkah maju di tengah kecamuk kudeta militer di Myanmar. Ke-10 negara anggota ASEAN, Selasa (2/3/2021), mendialogkan persoalan itu serta sejumlah isu lain, seperti pandemi, vaksin, dan isu Laut China Selatan, secara daring.
Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam secara khusus menggalang diplomasi untuk mewujudkan dialog itu. Pertemuan Informal Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN itu—digelar di luar jadwal pertemuan rutin tahunan—menjadi pertemuan pertama ASEAN setelah militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dari tangan sipil pada 1 Februari.
Dalam pertemuan itu, Indonesia, yang diwakili Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, menegaskan pentingnya setiap negara anggota ASEAN mengimplementasikan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam ASEAN secara utuh.
Retno menegaskan, prinsip non-intervensi bagi negara ASEAN adalah wajib. Ia meyakini, tak ada satu negara anggota ASEAN pun yang memiliki intensi untuk melanggar prinsip itu.
”Meski demikian, pada saat yang sama, menghormati dan menjalankan prinsip dan nilai lain dalam Piagam ASEAN, termasuk demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, supremasi hukum, dan pemerintahan yang konstitusional, adalah sama pentingnya. Saya ulangi, sama pentingnya,” kata Retno.
Nilai dan prinsip-prinsip tersebut, tambah Retno, merupakan fondasi, dasar, dan platform yang diperlukan ASEAN untuk dapat membangun Komunitas ASEAN.
Prioritas Indonesia
Retno juga mengatakan, bagi Indonesia, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Myanmar adalah prioritas nomor satu. Oleh karena itu, Indonesia mendesak militer Myanmar untuk menahan diri serta tidak menggunakan kekuatan dan kekerasan. Pada saat yang sama, pemulihan situasi harus terus didorong serta kepentingan dan suara rakyat Myanmar harus dihormati. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat dan menuntut adanya komunikasi dan dialog, termasuk melepaskan tahanan politik.
Pentingnya pembebasan tahanan politik juga diserukan Singapura, Malaysia, dan Filipina. Senada dengan Retno, Menlu Singapura Vivian Balakrishnan mengingatkan, ketidakmampuan untuk menemukan posisi bersama di dalam ASEAN akan merongrong kesatuan serta merusak kredibilitas dan relevansi ASEAN sebagai sebuah organisasi. Menurut dia, penggunaan kekuatan mematikan terhadap warga sipil tak bersenjata tidak bisa dimaafkan.
Sehari menjelang pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein menegaskan, kudeta militer adalah kemunduran transisi demokrasi Myanmar. ”Sangat penting bahwa ASEAN memimpin diskusi yang tulus dan terlibat secara konstruktif dengan Myanmar dan semua pemangku kepentingan untuk menunjukkan bahwa ASEAN efektif sebagai organisasi kawasan yang kohesif,” katanya.
Dalam pernyataannya, Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN juga mengingatkan pentingnya stabilitas di kawasan untuk mencapai Komunitas ASEAN yang damai dan sejahtera. Untuk itu, penting bagi negara anggota ASEAN untuk menghadapi tantangan bersama di kawasan secara kolektif.
Peneliti kajian ASEAN Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lidya C Sinaga, melihat, pertemuan informal tingkat menlu ASEAN itu adalah upaya untuk mengingatkan junta militer Myanmar. Pasalnya, dinamika di Myanmar tak hanya berdampak di kawasan. Apa yang dilakukan junta militer juga mencederai prinsip yang disepakati bersama oleh negara ASEAN. (AP/Reuters/JOS)