ASEAN Gelar Pertemuan Khusus Tingkat Menlu, Minta Penjelasan Junta Myanmar
Para menteri luar negeri ASEAN akan menggelar pertemuan khusus guna membahas isu kudeta militer di Myanmar, Selasa (2/3/2021). Pertemuan itu diikuti perwakilan junta militer. Menlu ASEAN akan mendengar penjelasan junta.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
SINGAPURA, SENIN -- Singapura dan Malaysia mendesak semua pihak di Myanmar, terutama junta militer, untuk menahan diri dan menghentikan kekerasan guna mencegah pertumpahan darah lebih parah. Untuk membahas krisis Myanmar, para menteri luar negeri ASEAN akan mengadakan pertemuan khusus sekaligus meminta penjelasan dari perwakilan junta militer Myanmar, Selasa (2/3/2021).
Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein menilai, ASEAN harus lebih proaktif membantu memulihkan situasi keamanan di Myanmar yang bergejolak sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. ”Semua pihak di Myanmar harus menahan diri tidak menggunakan kekerasan,” sebut Hishammuddin dalam pernyataan tertulisnya, Senin (1/3/2021).
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan juga meminta pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, segera dibebaskan. Ia juga meminta junta militer menghentikan penggunaan kekerasan dalam menghadapi para pengunjuk rasa dan segera mengendalikan situasi untuk menghindari pertumpahan darah, kekerasan, dan kematian. Sedikitnya 18 orang tewas dalam unjuk rasa di sejumlah kota di Myanmar, Minggu.
Balakrishnan juga mendorong semua pihak untuk berdialog mencari solusi politik jangka panjang, termasuk cara untuk kembali ke jalur transisi demokrasi. ”Ini semua akan bisa dilakukan hanya jika Presiden Win Myint, Penasihat Negara dan Menlu Aung San Suu Kyi, serta semua tahanan politik segera dibebaskan,” ujarnya.
Balakrishnan kepada parlemen Singapura mengungkapkan, para menteri luar negeri ASEAN akan menggelar pertemuan khusus tentang isu Myanmar melalui video konferensi, Selasa (2/3/2021). Para menlu ASEAN, kata Balakrishnan, akan ”mendengar (penjelasan) otoritas militer Myanmar”.
Tuduhan tambahan
Namun, setelah lama tak muncul di publik, Suu Kyi akhirnya muncul dalam sidang pertamanya meski hanya melalui video konferensi, Senin. Suu Kyi terlihat dalam kondisi sehat. Perempuan berusia 75 tahun itu meminta agar diperbolehkan bertemu dengan tim pengacaranya.
Pengacara Suu Kyi, Min Min Soe, mengatakan bahwa dalam sidang itu Suu Kyi dikenai dua tuduhan tambahan, yakni menyebarkan informasi yang bisa memicu ketakutan atau mengganggu ketenangan publik. Sebelumnya, Suu Kyi sudah dituduh mengimpor enam alat telekomunikasi jarak pendek secara ilegal. Selain itu, ia juga dituduh melanggar undang-undang bencana alam dengan melanggar protokol pandemi Covid-19.
Sidang berikutnya rencananya akan digelar 15 Maret mendatang. ”Kita tidak tahu akan ada berapa banyak kasus lagi yang dituduhkan pada Suu Kyi. Apa pun bisa terjadi di negeri ini, apalagi di saat seperti ini,” kata Min Min Soe.
Gelombang unjuk rasa kembali berlanjut, Senin, dengan ratusan orang turun ke jalan di sejumlah kota. Para pengunjuk rasa di Yangon menggunakan batang bambu, sofa, dan cabang-cabang pohon untuk membongkar barikade polisi.
”Kami akan tetap berunjuk rasa, apa pun yang terjadi,” kata salah seorang pengunjuk rasa. ”Ini kampung saya. Dulu damai, tetapi sekarang di mana-mana terdengar suara tembakan dan tidak ada rasa aman,” ujar Thar Nge, pengunjuk rasa lainnya.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, khawatir kekerasan oleh junta militer akan terus berlanjut. Untuk itu, komunitas internasional didorong untuk bersikap tegas.
Ia mengusulkan embargo persenjataan global dan sanksi yang tegas, terutama kepada para jenderal yang mendalangi kudeta dan sanksi pada bisnis junta militer. ”Kita harus bertindak. Mimpi buruk di Myanmar semakin parah,” sebut Andrews dalam pernyataan tertulisnya.
Asosiasi Bantuan Tahanan Politik menyebutkan, sedikitnya 270 orang ditahan dari 1.132 orang yang ditangkap dan dihukum sejak kudeta. Beberapa negara Barat sudah menjatuhkan sanksi terbatas pada para jenderal, tetapi banyak pihak tidak yakin itu akan efektif. Pasalnya, selama ini para jenderal juga tidak terganggu dengan sanksi itu karena masih mendapat dukungan dari China dan Rusia. (REUTERS/AFP/AP)