Susun Peta Jalan Pemulihan, China Coba Tangkis Stagnasi Ekonomi Pascapandemi
Pulih lebih cepat dari pandemi Covid-19 memberikan kesempatan kepada China agar ekonomi negara itu kembali tumbuh. Untuk bisa berlari lebih kencang, China harus mampu lepas dari kondisi jebakan negara kelas menengah.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — China mencoba bergegas di tengah-tengah upayanya melawan pandemi Covid-19. Melalui sidang tahunan parlemen, Pemerintah China akan memetakan jalan pemulihan ekonominya pascapandemi dan mengungkap rencana lima tahunnya. China kembali fokus pada langkah-langkah laten, yakni menangkis stagnasi ekonomi. Persaingan strategis dengan Amerika Serikat mendorong pergeseran ketergantungan Beijing pada konsumsi dan pertumbuhan teknologi di dalam negeri.
Kongres Rakyat Nasional (NPC) menurut rencana dibuka pada Jumat (5/3/2021) pekan ini. Dalam forum itu Perdana Menteri Li Keqiang akan menyampaikan laporan kerja tahun 2021. Untuk tahun kedua berturut-turut, merujuk sejumlah sumber, Pemerintah China diperkirakan tidak akan memasukkan target pertumbuhan ekonominya secara eksplisit. Tekanan ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 melatarbelakangi pilihan sekaligus strategi itu.
Pada pembukaan kongres itu pula, China akan merilis rencana pembangunan lima tahunnya yang ke-14. Rencana pembangunan itu menjadi cetak biru untuk 2021-2025, berisi seruan reformasi yang dipercepat untuk mempertegas pendorong pertumbuhan baru dan membuat ekonominya lebih inovatif.
Salah satu sumber mengatakan, tujuan rencana tersebut adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5 persen secara tahunan. ”Rencana 5 tahun ke-14 akan memprioritaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi,” demikian dinyatakan lembaga Kebijakan China, lembaga konsultan yang berbasis di Beijing, dalam sebuah laporan baru-baru ini.
Melalui forum itu, China juga dapat mengatur reformasi pemilu di Hong Kong. Di Hong Kong, Beijing terlihat telah memperketat cengkeramannya sejak memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional tahun lalu setelah berbulan-bulan Hong Kong mengalami demonstrasi dengan dinamika kerusuhan pada tahun 2019. Reformasi tersebut akan memperkuat ambisi Beijing agar wilayah China dijalankan secara terpusat dan akan semakin meminggirkan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Kegiatan akbar NPC tahun ini, menurut rencana, digelar kembali secara besar-besaran sesuai dengan gaya tradisionalnya. Kegiatan itu akan berlangsung di gedung Bali Agung Rakyat yang menghadap ke Lapangan Tiananmen di pusat kota Beijing. Acara tersebut terakhir digelar dua tahun lalu. Pada tahun lalu acara itu urung digelar secara besar-besaran karena bersamaan dengan kondisi pandemi Covid-19.
Perang dagang antara China dan Amerika Serikat telah mengungkapkan fakta menarik tentang perdagangan China. Pada saat ketegangan antara Beijing dan Washington meningkat, larangan AS atas pasokan semikonduktor ke perusahaan pembuat peralatan telekomunikasi terkemuka China, Huawei, telah mengungkap ketergantungan China pada impor teknologi.
”Selain meningkatkan produktivitas, meningkatkan konsumsi, merevitalisasi perdesaan dan membersihkan lingkungan, mewujudkan pembangkit tenaga listrik berteknologi ilmiah menjadi sebuah masalah keamanan nasional (bagi China),” kata lembaga Kebijakan China.
Ambisi Xi
Presiden Xi Jinping berambisi menjadikan China sebagai negara dengan status negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2025 dan negara maju secara moderat pada tahun 2035. Itu artinya besaran ekonomi China diharapkan mencapai dua kali lipat dari level tahun 2020.
Xi tampaknya bergeming dengan ambisi tersebut. Kepemimpinannya mendapatkan dukungan di dalam negeri lewat pemulihan China dari Covid-19 meskipun ada kritik atas penanganan awal pandemi.
Untuk memenuhi ambisi Xi menjadikan China kekuatan global, rencana lima tahun baru pemerintahnya harus mengarahkan ekonomi China melewati fase jebakan negara dengan status pendapatan menengah. Itu mengacu pada kondisi sebuah negara gagal untuk memacu produktivitas dan meningkatkan rantai nilai pasokan secara global.
”China perlu mencapai terobosan di bidang utama yang rentan terhadap ’cengkeraman teknologi asing’, seperti cip, mesin litografi, dan sistem operasi,” kata Jia Kang, Kepala Lembaga Akademi Ekonomi Sisi Suplai Baru China.
”Menurut rencana tidak akan terbatas pada periode lima tahun ke-14, hal itu akan dihubungkan dengan tahun 2035; yakni bagaimana kita bisa mencapai pembangunan berkelanjutan setelah melewati ’jebakan pendapatan menengah’.”
Lompati AS tahun 2028
Pusat Penelitian Ekonomi dan Bisnis yang berbasis di London memperkirakan China akan melompati AS sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2028. Dari sisi waktu, hal itu artinya akan menjadi capaian lima tahun lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Penyebab utama kondisi itu adalah pemulihan yang kontras dari kedua negara itu dari pandemi Covid-19.
Sumber di kalangan Pemerintah China mengungkapkan, pembuat kebijakan di negerinya akan mengurangi dukungan untuk ekonomi tahun ini setelah serangkaian langkah stimulus tahun lalu. Beijing memilih bersikap hati-hati karena takut menggagalkan pemulihan yang tetap tidak merata. Sebab, hingga kini konsumsi dan juga usaha mikro kecil dan menengah di negara itu belum juga pulih dalam taraf yang diharapkan sebelumnya.
Sebelum kongres, penasihat kebijakan China merekomendasikan defisit anggaran 2021 berkisar 3,5 persen dari produk domestik bruto negara itu. Tingkat defisit tahun ini mengecil dari tahun lalu yang mencapai lebih dari 3,6 persen.
Politbiro China, badan pembuat keputusan tertinggi Partai Komunis yang berkuasa, mengatakan pada Jumat (26/2/2021) pekan lalu bahwa pemulihan China belum mencapai pijakan yang kokoh. Penasihat kebijakan bank sentral China, Liu Shijin, mengatakan, ekonomi China dapat tumbuh 8-9 persen tahun ini, tetapi pemulihan dari basis yang rendah pada 2020 berarti China belum akan kembali ke periode pertumbuhan optimalnya. (REUTERS/BEN)