Ekonomi China Bakal Kalahkan AS dan Menjadi Terbesar di Dunia pada 2028
Pusat Riset Ekonomi dan Bisnis di London, Inggris, menyoroti kemampuan China dalam menangani pandemi sehingga ekonominya cepat bangkit.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
LONDON, SABTU — Ekonomi China diperkirakan akan melampaui ekonomi Amerika Serikat sekaligus menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada 2028, lima tahun lebih cepat dari perkiraan. Pemulihan yang kontras kedua negara dari kondisi pandemi Covid-19 menjadi alasan perbedaan tingkat pertumbuhan dan akselerasi.
Proyeksi itu disampaikan lembaga riset yang berbasis di London, Pusat Riset Ekonomi dan Bisnis (CEBR), dalam laporan akhir tahun yang dirilis pada Sabtu (26/12/2020).
”Untuk beberapa waktu, tema umum ekonomi global telah menjadi perebutan secara lunak dan di bidang ekonomi antara Amerika Serikat dan China,” demikian CEBR dalam laporannya. ”Pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi yang terkait tentu saja membuat persaingan ini menguntungkan China.”
CEBR menyoroti ”manajemen pandemi China yang terampil” dalam menghadapi pandemi. Hal itu mencakup pelaksanaan penguncian atau penutupan wilayah secara ketat pada awal-awal pandemi.
Proyeksi pertumbuhan dalam jangka panjang yang diperkirakan lebih lama di negara-negara Barat berarti menjadikan China dapat mengambil kesempatan untuk tumbuh lebih tinggi dan lebih cepat.
Ekonomi China diperkirakan dapat tumbuh dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5,7 persen per tahun tahun 2021-2025 sebelum melambat menjadi 4,5 persen secara rata-rata per tahun dari 2026-2030.
Sementara itu, ekonomi AS justru akan cenderung melambat setelah diproyeksikan mengalami pertumbuhan kuat pascapandemi tahun 2021.
Pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan berada di level 1,9 persen per tahun antara 2022 dan 2024. Ekonomi AS selanjutnya diperkirakan rata-rata tumbuh secara tahunan di level 1,6 persen.
Jepang akan tetap menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia dalam periode yang sama, minimal hingga dekade awal 2030-an. India selanjutnya diperkirakan akan mengambil alih posisi yang diduduki Jepang itu.
Kondisi itu akan mendorong posisi Jerman turun dari peringkat keempat saat-saat ini ke posisi kelima negara dengan perekonomian terbesar pada saat-saat itu. Sementara Inggris, yang kini merupakan negara dengan ekonomi terbesar kelima menurut perhitungan CEBR, akan turun ke posisi keenam mulai 2024.
Namun, meskipun ekonominya terpukul pada 2021 karena pandemi Covid-19 dan keluar dari pasar tunggal Uni Eropa, produk domestik bruto Inggris dalam hitungan menggunakan mata uang dollar AS diperkirakan akan menjadi 23 persen lebih tinggi daripada Perancis tahun 2035. Hal itu diperkirakan bakal dibantu oleh kepemimpinan Inggris dalam ekonomi digital yang semakin penting.
CEBR juga memperkirakan ekonomi Eropa menyumbang 19 persen dari total output di 10 negara dengan perekonomian terbesar secara global pada 2020. Namun, hal itu akan turun menjadi 12 persen pada 2035 atau bahkan lebih rendah jika terjadi perselisihan perdagangan antara Uni Eropa dan Inggris.
Terkait pandemi saat-saat ini, CEBR juga mengatakan bahwa dampak pandemi pada ekonomi global kemungkinan akan muncul dalam inflasi yang lebih tinggi, bukan pertumbuhan yang lebih lambat.
”Kami memperkirakan siklus ekonomi dengan kenaikan suku bunga pada pertengahan dekade 2020-an,” menurut CEBR.
Kondisi itu dapat menimbulkan tantangan bagi pemerintah-pemerintah negara-negara yang telah meminjam secara besar-besaran untuk mendanai respons mereka atas krisis akibat Covid-19.
Namun, yang mendasari tren pembangunan selanjutnya diperkirakan cukup positif, khususnya menuju kondisi dunia yang lebih ramah lingkungan dan lebih berbasis pada teknologi saat kita memasuki era 2030-an kelak.
Kebutuhan infrastruktur
Lembaga PricewaterhouseCoopers dalam penelitiannya pasca-penandatanganan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) lalu mengatakan, China telah membuat kemajuan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, tetapi pertumbuhan ekonominya telah melambat dalam beberapa tahun terakhir.
Krisis global akibat Covid-19 diperkirakan memicu China untuk mendorong lagi pertumbuhan dengan rancangan pijakan lebih kuat.
China juga menghadapi masalah demografi yang menua dengan rasio ketergantungan usia tua untuk negara tersebut diproyeksikan mencapai 25 persen pada 2030. Hal itu diperkirakan melebihi rata-rata dunia sebesar 18 persen. Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga menyentuh 44 persen pada 2050.
Kondisi tersebut menghadirkan tantangan ekonomi yang berkembang dalam bentuk pertumbuhan yang lebih lambat dalam produktivitas tenaga kerja dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan dan pensiun.
Penduduk China yang besar dan terus berkembang serta urbanisasi yang meningkat pesat juga membutuhkan dukungan infrastruktur yang signifikan di masa depan.
China diperkirakan membutuhkan 28 triliun dollar AS dalam investasi infrastruktur selama 2016 hingga 2040, terhitung lebih dari 50 persen dari kebutuhan Asia Pasifik. Lebih dari dua pertiga dari investasi itu dibutuhkan di sektor energi dan transportasi.
China memasuki Rencana Lima Tahun ke-14 (2021-25) dengan strategi ”sirkulasi ganda”. Ini pertama kali dilontarkan oleh Presiden Xi Jinping pada Mei 2020. Ia berencana untuk permintaan eksternal dan domestik dapat dikombinasikan.
Hal ini sebagian mencerminkan dampak dari perang dagang China dengan AS dan di tempat lain yang memengaruhi posisi perdagangan China. Pandemi diperkirakan akan membuat China mendorong pertumbuhan via permintaan domestik.
China berambisi menjadi negara dengan ekonomi berpenghasilan tinggi pada 2025. Untuk itu, besaran PDB per kapita di negara itu harus melampaui 12.536 dollar AS.
CEBR memperkirakan target itu akan terlampaui dengan proyeksi PDB per kapita China sebesar 14.406 dollar AS pada akhir 2025. Target China sebagai negara dengan ekonomi berpenghasilan tinggi diperkirakan akan tercapai pada tahun 2023. (REUTERS)