Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun jadi ”pahlawan” bagi pengunjuk raksa, tetapi dicap ”pengkhianat” oleh junta. Gerakan antijunta mendapat angin di PBB.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Pernyataan Kyaw Moe Tun di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jumat (26/2/2021) waktu setempat, tak sampai 15 menit. Dibuka dengan penegasan dirinya mewakili pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, hasil pilihan rakyat Myanmar dalam pemilu, November lalu, ia menyampaikan pesan kepada komunitas internasional terkait situasi sebulan terakhir di Myanmar.
Kyaw Moe Tun meminta semua negara mengeluarkan pernyataan terbuka mengecam kudeta militer, 1 Februari lalu. Ia juga mengimbau semua negara tak mengakui rezim militer Myanmar serta mengharapkan pemimpin dunia menghormati hasil pemilu yang dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi.
Pesan itu hampir sebulan ini bergaung di ruas jalan di nyaris seluruh Myanmar melalui unjuk rasa penentang kudeta militer. Menjadi istimewa, mengejutkan, dan memiliki getaran berbeda saat pesan itu menggema di ruang sidang Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat, yang kerap disebut sebagai pusat dan jantung diplomasi internasional. Bagi para pengunjuk rasa, ini adalah kemenangan diplomatik, sekaligus memperlihatkan rezim militer ”kecolongan” diplomasi.
Dalam hitungan jam, junta militer mengumumkan pemecatan Kyaw Moe Tun sebagai Dubes Myanmar melalui televisi pemerintah. Namun, pesan telah disampaikan. Pesan itu ingin memperlihatkan adanya pemerintahan sipil hasil pemilu, November 2020, meskipun de facto pemerintahan di Myanmar kini dikendalikan militer.
Menurut pejabat PBB, yang dikutip kantor berita Reuters, Sabtu (27/2/2021), PBB secara resmi belum mengakui junta sebagai pemerintahan baru. Belum ada pemberitahuan resmi terkait perubahan pemerintahan di Myanmar. Kyaw Moe Tun masih sebagai Dubes Myanmar di PBB. Andai junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing berupaya meraih pengakuan internasional dengan mengirim dubes baru, hal itu tentu akan mendapatkan penentangan luas.
Bagi junta Myanmar, isolasi internasional bukan hal baru. Mereka juga terbiasa dengan sanksi internasional. Mereka merapat ke Thailand, yang sekitar 6,5 tahun lalu mengalami kudeta militer dan kini dipimpin pensiunan jenderal militer.
Di luar pertarungan diplomasi di Markas PBB, ada jalur lain upaya penyelesaian melalui mekanisme ASEAN, yang dimotori Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam sebulan terakhir menjalankan apa yang kerap disebut sebagai shuttle diplomacy. Selain berkomunikasi dengan negara ASEAN dan mitranya, Retno juga menjalin komunikasi dengan militer Myanmar dan Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), yang digagas anggota parlemen dari NLD dan pesannya dibacakan Dubes Kyaw Moe Tun.
Cara ASEAN ini berbeda dari atmosfer diplomasi di Markas Besar PBB. Prosesnya makan waktu. Dibutuhkan upaya membangun kepercayaan masing-masing pihak terhadap pihak lain agar terwujud dialog dan rekonsiliasi.