Butuh Dukungan Dunia? Yes, Demo Pakai Bahasa Inggris Saja
Kata-kata protes dalam bahasa Inggris mendominasi slogan dan plakat demonstrasi. Tujuannya agar aspirasi dan protes anti-kudeta militer mereka didengar seluruh dunia.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
”Kami ingin demokrasi”, ”Keadilan untuk Myanmar”, ”Tolak Militer”. Tulisan-tulisan berhuruf besar tercantum di spanduk, kertas, dan papan yang dibawa para pengunjuk rasa di kota Yangon, Myanmar.
Ada juga yang menuliskan kata-kata protesnya dengan diukir di buah semangka oleh para koki yang ikut memprotes kudeta militer pada 1 Februari lalu itu. Bahkan, tulisan-tulisan senada juga disablon di kaus, topi, dan masker yang dikenakan.
Semuanya itu menggunakan bahasa Inggris. Padahal bahasa Inggris hanya digunakan sedikit orang di negara yang berpenduduk 53 juta jiwa itu.
Meski tak banyak yang berbahasa Inggris, kata-kata protes dalam bahasa Inggris mendominasi slogan dan plakat yang dibawa. Tujuannya agar suara, aspirasi, tuntutan, dan protes anti-kudeta mereka didengar oleh seluruh dunia.
”Tulisan dalam bahasa Inggris lebih efektif ketimbang bahasa Myanmar. Kami butuh bantuan dari komunitas internasional,” kata Ko Ko Lwin (21), salah satu siswa yang ikut protes sejak hari pertama.
Unjuk rasa memprotes kudeta militer menarik simpati dan dukungan dari ratusan ribu warga yang turun ke jalan setiap harinya selama hampir tiga pekan terakhir ini. ”Bebaskan pemimpin kami,” tulisan berbahasa Inggris terpampang di ribuan plakat yang merujuk pada Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi menjadi simbol perlawanan terhadap rezim junta militer yang sebelumnya pernah berkuasa selama 50 tahun.
Namun, penggunaan bahasa Inggris oleh para pengunjuk rasa itu justru ditanggapi sinis oleh Menteri Penerangan Myanmar yang ditunjuk oleh junta militer, Chit Naing.
”Menulis dalam bahasa Inggris, meminta tolong kepada orang lain, dan meminta asing mencampuri urusan dalam negeri kita? Seperti orang bodoh dan tidak berdaya saja,” kata Naing seperti dikutip di media nasional berbahasa Myanmar.
Naing mengingatkan para pengunjuk rasa agar tidak merendahkan ras dan martabat orangtua masing-masing serta merendahkan martabat kebangsaan.
Rakyat Myanmar memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa dari etnis mayoritas Bamar yang menjadi bahasa nasional sejak Myanmar merdeka dari Inggris tahun 1948. Di Myanmar terdapat 130 kelompok etnis.
Bahasa Inggris di Myanmar mulai digunakan sedikit warga Myanmar semasa rezim junta militer. Namun, penggunaannya mulai banyak ketika Suu Kyi berkuasa karena pemerintahan Suu Kyi memprioritaskan pendidikan disampaikan dalam semua bahasa.
Bahasa kedua
Meski Myanmar kian terbuka dan terhubung dengan dunia luar semasa transisi demokrasi yang dimulai tahun 2011, keterampilan berbahasa Inggris masih rendah. Salah satu survei tahun 2020 menunjukkan keterampilan berbahasa Inggris di Myanmar berada di peringkat ke-93 dan 100 negara yang disurvei.
Seruan para pengunjuk rasa yang meminta dukungan internasional juga sama seperti yang pernah dilakukan Suu Kyi selama puluhan tahun. Bahkan ketika berada dalam masa tahanan rumah selama 15 tahun pun seruan melawan junta militer tetap gencar dilakukan. Namun, upaya itu tetap tak mampu membuat junta militer mundur dan kali ini pun sepertinya akan begitu.
”Reaksi internasional dan sanksi apa pun tidak akan memengaruhi junta militer,” tulis sejarawan dan penulis buku, Thant Myint-U, di Twitter.
Meski demikian, para pengunjuk rasa tetap berkeyakinan bahwa dukungan asing akan bisa menjadi pendorong semangat dan merendahkan kredibilitas junta militer serta aparat keamanan yang selama ini kerap menggunakan kekerasan dalam menghadapi protes.
Para pengunjuk rasa berharap komunitas internasional menjatuhkan sanksi yang lebih berat dari yang sudah diberikan Amerika Serikat dan beberapa negara Barat.
”Kami butuh tentara AS untuk menyelamatkan kami,” tertulis dalam salah satu plakat yang dipasang di luar kantor kedutaan AS di Myanmar.
Pararel dengan gelombang unjuk rasa di jalanan, kampanye di media sosial pun menggunakan bahasa Inggris. Tujuannya, sama, menarik perhatian dunia. Kampanye dilakukan di, misalnya, media sosial Facebook yang sudah digunakan oleh hampir separuh rakyat Myanmar dan juga melalui Twitter.
Meme-meme dalam bahasa Inggris juga dengan cepat menjadi tema pada hari itu dan para pengunjuk rasa dengan cepat menanggapi reaksi pemerintah asing terhadap apa yang terjadi di Myanmar.
”Terima kasih Indonesia karena sudah menerima permintaan kami dan mendengarkan aspirasi kami,” tulis seorang bernama Thandar Htun di Twitter setelah Indonesia meminta junta militer untuk tidak menyelenggarakan pemilu baru. Ini sesuai dengan tuntutan para pengunjuk rasa yang juga menolak pemilu baru.