Gerakan prodemokrasi di Myanmar tidak memedulikan larangan junta militer untuk tidak berunjuk rasa. Mereka tetap turun ke jalan dan menyerukan pemulihan demokrasi di negara itu.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, SENIN —Rezim junta militer Myanmar memperingatkan pengunjuk rasa antikudeta akan bisa kehilangan nyawa jika tetap bersikeras turun ke jalan untuk protes. Namun, ribuan pengunjuk rasa tak peduli bahkan kian meradang turun ke jalan lagi, Senin (22/2/2021), setelah empat pengunjuk rasa tewas ditembak aparat kepolisian di Mandalay dan Yangon.
”Pengunjuk rasa sekarang sengaja memancing rakyat, terutama anak muda, yang emosional ke cara-cara konfrontatif rusuh dan anarkis yang bisa mengakibatkan hilang nyawa,” sebut junta militer dalam pernyataan tertulis yang dibacakan di stasiun TV milik pemerintah, MRTV, Minggu (21/2/2021).
Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Myanmar, Tom Andrews, khawatir dengan ancaman baru junta militer itu. ”Saya peringatkan junta, tidak seperti tahun 1988 dulu, semua tindakan aparat keamanan sekarang akan direkam dan akan dimintai pertanggungjawaban,” tulis Andrews di Twitter.
Tak peduli ancaman junta militer, ribuan pengunjuk rasa tetap turun ke jalanan membawa spanduk dan bendera berwarna kuning dan merah sebagai tanda dukungan untuk Aung San Suu Kyi. Padahal, pengamanan relatif ketat dengan truk tentara dan polisi yang membuat barikade di jalanan. Semua pasar, pertokoan, dan restoran atau warung makan akan tutup sebagai bentuk solidaritas dengan pengunjuk rasa.
”Semua orang ikut bergabung dengan perlawanan ini. Kita semua harus keluar turun ke jalan,” kata San San Maw (46), warga Yangon.
Htet Htet Hlaing (22) mengaku takut ikut protes karena tentara dan polisi memakai gas air mata, meriam air, peluru karet, bahkan peluru sungguhan tetapi ia tidak mau tinggal diam. ”Kami tidak mau junta, kami mau demokrasi. Kami mau menentukan masa depan sendiri,” ujarnya.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar menyebutkan, sedikitnya 640 orang ditahan sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. Rezim junta militer menyasar pegawai jawatan kereta api, pegawai negeri sipil, pegawai bank, atau pegawai apa saja yang membolos kerja untuk ikut unjuk rasa antikudeta. Junta militer juga memblokir akses internet selama delapan hari terakhir ini.
Kecaman internasional
Kementerian Luar Negeri Myanmar membenarkan perlakuan yang tegas pada pengunjuk rasa dan menuding PBB serta negara lain mencampuri urusan dalam negeri Myanmar. ”Meski menghadapi demonstrasi yang melanggar hukum, penghasutan kerusuhan dan kekerasan, pihak berwenang tetap menahan diri memakai kekuatan minimal untuk mengatasi gangguan,” sebut pernyataan tertulis Kemenlu Myanmar.
Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris telah menjatuhkan sanksi terhadap para jenderal di Myanmar. Menlu AS Anthony Blinken juga menegaskan, AS akan tetap menindak tegas siapa saja yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Myanmar yang menghendaki kembalinya pemerintahan yang dipilih secara demokratis. ”Kami mendukung rakyat Myanmar,” ujarnya.
Presiden AS Joe Biden menyetujui sanksi terhadap mereka yang bertanggung jawab menggulingkan pemerintahan sipil Myanmar, termasuk menteri pertahanan dan tiga perusahaan di sektor giok dan permata. Departemen Keuangan AS juga menjatuhkan sanksi kepada dua pejabat militer Myanmar karena dituding menjadi dalang kudeta.
”Kalau aparat keamanan masih melakukan tindakan kekerasan terhadap unjuk rasa yang damai, sanksi para pejabat militer akan terus berlanjut,” kata Menteri Keuangan AS Janet Yellen. (REUTERS/AFP/AP)