Perdana Menteri Australia Scott Morrison menginformasikan manajemen Facebook bersedia kembali ke meja perundingan. Tapi, Facebook bergeming dari posisinya menentang aturan baru hubungan industrial Facebook-media.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
SYDNEY, SABTU – Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan bahwa manajemen Facebook akan kembali ke meja perundingan, bersama Google, untuk merundingkan berbagai persoalan yang terkait dengan rancangan undang-undang yang ditengah digodok oleh Parlemen Australia, yaitu News Media Bargaining Code. Meski bersedia kembali ke meja perundingan, Facebook bergeming dengan posisinya saat ini.
Informasi mengenai kembalinya manajemen Facebook ke meja perundingan disampaikan PM Morrison, Sabtu (20/2).
“Perusahaan itu untuk sementara berteman lagi dengan kami. Yang membuat saya senang adalah bahwa Facebook kembali ke meja perundingan lagi,” kata Morrison.
Keputusan Facebook untuk kembali ke meja perundingan tidak bisa dikonfirmasi ke manajemen. Juru bicara Facebook tidak mengonfirmasi pernyataan Morrison soal ini. Tapi, sehari sebelumnya, Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg mengatakan, timnya terus berkomunikasi dengan manajemen perusahaan teknologi digital ini setelah pekan sebelumnya pemerintah melakukan pembicaraan langsung dengan CEO Facebook Mark Zuckerberg.
Meski ada informasi manajemen Facebook kembali ke meja perundingan, perusahaan yang didirikan oleh Zuckerberg itu mengindikasikan tidak ada perubahan pada sikap dan posisinya terhadap RUU yang tengah digodok di parlemen itu.
Simon Milner, Wakil Presiden Kebijakan Publik Facebook untuk wilayah Asia Pasifik, dikutip dari laman Sydney Morning Herald mengatakan, ada tiga keberatan utama terhadap undang-undang tersebut.
Keberatan pertama adalah Facebook menolak untuk melakukan diskriminasi antara berbagai outlet berita yang meminta kompensasi dana atas penggunaan berita di platform media sosial mereka. Keberatan kedua adalah model arbitrase yang memungkinkan badan independen untuk memilih satu pembayaran di atas pembayaran lainnya dan yang terakhir adalah keberatan soal kewajiban untuk memasuki negosiasi komersial dengan perusahaan media Australia.
Milner mengatakan, dalam pandangan Facebook, RUU itu terlalu berpihak kepada perusahaan media dan lembaga penyiaran. “Skala terlalu condong ke arah penerbit dalam apa yang seharusnya menjadi kerangka kerja yang memungkinkan hubungan komersial,” kata Milner.
Namun, Facebook menolak untuk memberikan kantor berita Reuters kesempatan mewawancarai Milner secara langsung.
Pemerintah Amerika Serikat, sekutu dekat Australia, menolak menyampaikan sikap mereka secara terbuka meski kedua perusahaan itu menjalankan bisnisnya dari AS. "Ini adalah negosiasi bisnis antara beberapa perusahaan swasta dan pemerintah Australia," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Dia mengatakan, meski pemerintah AS secara teratur terlibat dalam memberi dukungan berusaha pada perusahaan-perusahaan asal AS, pada umumnya mereka tidak menyebarluaskan dukungan secara spesifik.
Ketua Eksekutif News Corp Australia Michael Miller, berbicara dalam penyelidikan terpisah Senat di Canberra, mengatakan dampak penuh dari keputusan Facebook memblokir semua pemberitaan dari Australia belum dirasakan oleh perusahaan media. Bahkan, bagi News Corp, pemblokiran itu memiliki sisi baik, yaitu kunjungan ke situs perusahaan naik hingga dua digit.
Miller juga mendorong raksasa media sosial itu untuk kembali melakukan negosiasi langsung dengan outlet media. "Pintunya masih terbuka untuk Facebook," kata Miller.
Larangan besar-besaran Facebook menuai kritik luas karena secara tidak sengaja memblokir akses ke beberapa halaman penting pemerintah, termasuk layanan darurat, departemen kesehatan, dan layanan cuaca nasional - dengan sebagian besar pulih beberapa jam setelah diberlakukan.
Terlepas dari ancaman sebelumnya untuk menarik layanannya dari Australia karena undang-undang tersebut, Google melunakkan pendiriannya dan sebagai gantinya menjadi perantara beberapa kesepakatan dengan perusahaan media besar, termasuk News Corp milik Rupert Murdoch. (AFP/Reuters)