Militer Semakin ”Meradang”, Merusak Kantor Partai Suu Kyi
Setelah menahan Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan ratusan politisi NLD, militer menghancurkan kantor partai itu, Selasa malam.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, RABU — Setelah bentrok dengan pengunjuk rasa dan menembakkan meriam air, gas air mata, serta peluru karet ke arah pengunjuk rasa, militer Myanmar lalu menggerebek dan menghancurkan markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di Yangon, Selasa malam.
Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengecam kekerasan militer terhadap pengunjuk rasa.
Partai NLD dipimpin Aung San Suu Kyi, tokoh pejuang demokrasi Myanmar. Setelah menahan Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan ratusan politisi NLD, militer menghancurkan kantor partai itu Selasa malam.
Di sejumlah kota, seperti Naypyidaw dan Mandalay, aparat kepolisian Myanmar menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa yang sudah turun ke jalan selama empat hari.
Junta militer beralasan, tindakan tegas itu harus dilakukan karena pengunjuk rasa melanggar peringatan yang sudah diberikan.
Selain mengeluarkan larangan berkumpul lebih dari lima orang, militer juga akan bertindak jika unjuk rasa itu mengancam stabilitas.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menegaskan, Pemerintah AS mengecam kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan rakyat Myanmar memiliki hak dan kebebasan untuk berkumpul dan berekspresi secara damai.
”Permintaan AS untuk berbicara dengan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi ditolak,” ujarnya.
Koordinator Kemanusiaan PBB di Myanmar, Ola Almgren, juga mengecam penggunaan kekerasan untuk membubarkan massa. Ia menerima laporan di Naypyidaw bahwa aparat polisi antihuru-hara menembakkan proyektil ke arah pengunjuk rasa setelah sebelumnya menembakkan meriam air.
”Mereka memberi tembakan peringatan dua kali ke atas lalu menembak ke arah pengunjuk rasa dengan peluru karet,” kata seorang saksi.
Seorang dokter di ruang gawat darurat juga mengungkapkan, ternyata militer memakai peluru asli karena ada dua korban berusia 23 tahun dan 19 tahun yang kondisinya kritis terkena tembakan. ”Dilihat dari lukanya, itu luka bekas tembakan peluru asli,” ujarnya.
Gelombang unjuk rasa ribuan orang di sejumlah kota di Myanmar membuat militer gerah hingga pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing berpidato di TV dan menegaskan alasan militer mengudeta karena adanya kecurangan dalam pemilu. Ia lalu mengumumkan pemberlakuan jam malam dan larangan berkumpul. Namun, pengunjuk rasa tetap turun ke jalan.
Ribuan orang membawa payung dan memakai jas hujan saat berhadapan dengan polisi yang memakai kendaraan meriam air untuk memblokade pergerakan pengunjuk rasa.
”Tentu saja kita khawatir dengan militer. Tetapi, kita cuma punya kesempatan hidup sekali ini saja dan kita tidak mau hidup sia-sia. Demi masa depan anak-anak,” kata salah satu pengunjuk rasa yang juga seorang guru, Khin Thida Nyein.
Hlaing menegaskan, setelah masa darurat selama satu tahun, militer akan menepati janjinya dengan memulihkan demokrasi. Caranya dengan mengadakan pemilu lagi.
Ia juga berjanji kepemimpinan militer kali ini akan berbeda daripada kekuasaan militer sebelumnya selama 50 tahun yang berakhir 2011.
Para pengunjuk rasa menuntut kekuasaan dikembalikan pada pemerintahan sipil, menuntut Suu Kyi dan tahanan lain dibebaskan. Unjuk rasa seperti yang terjadi sekarang juga pernah terjadi di masa lalu.
Militer juga menggunakan kekerasan saat menangani pengunjuk rasa melawan junta militer pada tahun 1988 dan revolusi tahun 2007 yang dipimpin biksu Buddha.
Kali ini, jika warga melanggar larangan berkumpul akan dikenai hukuman hingga enam bulan penjara atau denda.
”Demokrasi akan bisa hancur jika tidak ada disiplin. Harus ada tindakan hukum untuk mencegah tindakan-tindakan yang melanggar stabilitas negara, keamanan publik, dan penegakan hukum,” sebut pernyataan tertulis Departemen Informasi Myanmar. (REUTERS/AFP/AP/LUK)