Massa prodemokrasi Myanmar berteriak mengecam kudeta militer dan menuntut pemulihan pemerintahan sipil hasil pemilihan umum yang demokratis.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
YANGON, MINGGU — Ribuan orang menggelar unjuk rasa besar hari kedua di Yangon, kota terbesar di Myanmar, Minggu (7/2/2021). Mereka menolak kudeta junta militer yang dinilai diktator dan menuntut pembebasan tokoh pejuang demokrasi sekaligus pemimpin pemerintahan sipil, Aung San Suu Kyi.
Massa pengunjuk rasa di Yangon membawa balon-balon merah, warna yang mewakili Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi. Mereka berteriak mengecam kudeta militer dan menuntut pemulihan demokrasi. ”Kami tidak ingin kediktatoran militer! Kami ingin demokrasi!” seru pengunjuk rasa.
Kelompok massa prodemokrasi sekaligus antiotorianisme militer itu beraksi di bawah terik matahari di tengah jalan sambil mengibarkan bendera NLD. Mereka mengacungkan tiga jari, simbol protes terhadap kudeta. Para pengemudi membunyikan klakson dan penumpang mengangkat foto Suu Kyi.
Unjuk rasa disiarkan lewat Facebook. Namun, informasi yang beredar di media sosial itu sangat terbatas untuk diakses karena junta militer telah menutup jaringan internet dan membatasi saluran telepon.
”Kami menolak kudeta,” kata seorang pria berusia 22 tahun yang datang dengan 10 temannya. Dia meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan oleh militer yang dinilainya otoriter. ”Ini untuk masa depan kita. Kita harus bebas (dari cengkeraman militer),” katanya.
Seorang wanita berusia awal tiga puluhan tahun, yang membawa keluarganya dalam aksi unjuk rasa itu, mengatakan bahwa mereka tidak ikut protes sehari sebelumnya. Namun, dirinya menegaskan bahwa mereka tidak takut militer.
”Kami harus bergabung dengan rakyat. Kami menginginkan demokrasi,” katanya.
Di luar Yangon, sekitar 100 orang turun ke jalan dengan sepeda motor di kota pesisir Mawlamyine, Myanmar tenggara. Para mahasiswa dan dokter berkumpul di kota Mandalay, Myanmar tengah.
Ratusan kerumunan lainnya bermalam di luar kantor polisi di kota Payathonzu, kota di negara Karen, Myanmar tenggara. Massa berdiri di luar rumah dan menyanyikan lagu-lagu prodemokrasi.
Kemarahan publik terhadap aksi kudeta militer terus meningkat seiring dengan membesarnya kelompok aksi-aksi protes. Puluhan ribu orang berunjuk rasa di seluruh negeri Sabtu ini. Mereka menuntut pembebasan Suu Kyi dan kabinetnya, yang ditangkap oleh militer pada Senin (1/2/2021) dini hari.
Dari tahun 1962 hingga 2011, rezim militer berturut-turut memerintah Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Birma, dengan tangan besi. Menurut situs berita CNN, militer selama berkuasa menegaskan kekuasaan absolut mereka atas rakyat melalui ketakutan dan kebrutalan.
Namun, enam tahun lalu, ada harapan perubahan ketika Aung San Suu Kyi, tokoh demokrasi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan mantan tahanan politik, membentuk pemerintahan sipil pertama pada 2016. Dia tentu didukung partainya, NLD, setelah menang telak dalam pemilu 2015.
Sementara media pemerintah di Myanmar melaporkan, Sabtu, tokoh-tokoh junta telah berbicara dengan para diplomat sehari sebelumnya. Militer menggelar pertemuan itu untuk menanggapi protes internasional dan meminta mereka untuk bekerja dengan para pemimpin baru di Myanmar.
Tekanan internasional terhadap militer Myanmar kencang. Presiden AS Joe Biden, misalnya, mengancam akan menjatuhkan sanksi lagi pada Myanmar. (REUTERS/AFP)